Sinuhun Paku Buwana II, “Bapak Pendiri” Kota Surakarta Hadiningrat Pada 20 Februari 1745 (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:February 17, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Sinuhun Paku Buwana II, “Bapak Pendiri” Kota Surakarta Hadiningrat Pada 20 Februari 1745 (seri 1 – bersambung)
ADEGING NAGARI : Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat) menjelaskan soal ritual peringatan "adeging nagari" Surakarta Hadiningrat saat diwawancarai para aawak media, pada doa wilujengan tepat tanggal 17 Sura di tahun 2023 lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

17 Sura Tahun Je 1670, Nama Kota Dideklarasikan untuk Mengganti Nama “Desa Sala”

IMNEWS.ID – UNTUK kesekian kali sebuah peristiwa peringatan dan perayaan terjadi di Kota Surakarta sejak menjelang tahun 2000 lalu. Kesibukan peringatan dan perayaan itu, banyak terpusat di lingkungan Pemkot Surakarta. Dan kesibukan itu, adalah peringatan Hari Jadi Kota Surakarta, dengan mengambil tanggal 17 Februari yang dianggap sebagai tanggal kelahirannya.

Yang banyak muncul melalui media, peringatan itu ditandai dengan upacara bendera di halaman Balai Kota, yang diikuti segenap jajaran ASN setempat yang mengenakan busana adat Jawa. Sedikitnya dalam 20 tahun terakhir Pemkot melakukan peringatan hari jadi dengan mengambil tanggal 17 Februari itu, yang terkesan terpusat di lingkungan Balai Kota.

Terpusatnya peringatan dan perayaan Hari Kelahiran Kota Surakarta hanya di lingkungan Pemkot tiap tanggal 17 Februari itu, menjadi indikator bahwa masyarakat sampai di lapisan paling bawah, terkesan kurang paham soal asal-usul Kota Surakarta, asal-usul tanggal 17 Februari dan segala macam simbol serta makna yang berkait dengan hari kelahiran kota yang diperingati.

PUNYA LANDASAN : Kraton Mataram Surakarta punya tanggal Hari Kelahiran (nagari) Surakarta Hadiningrat, yaitu 20 Februari. Tetapi, bagi kraton yang diperingati tanggal 17 Sura sebagai hari kelahiran Surakarta dalam kalender Jawa, karena Surakarta dideklarasikan pada tanggal 17 Sura tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ketidak-pahaman warga Kota Surakarta pada umumnya terhadap tanggal kelahiran atau hari jadi kotanya, memang sangat masuk akal, mengingat baru menjelang abad milenial tanggal kelahiran itu disosialisasikan pemerintah kepada warganya. Bila dihitung sampai sekarang, itu berarti baru sekitar 25-an tahun, sesuatu yang dianggap penting dan bermakna itu disosialisasikan.

Bila ditelaah lebih jauh, waktu 25-an tahun ternyata waktu yang belum cukup untuk menyosialisasikan sesuatu yang penting dan bermakna serta menyangkut sikap spiritual kehidupan memang perlu waktu yang panjang untuk menjadikan memori kolektif bagi banyak orang, yaitu warga Kota Surakarta, atau lebih luas lagi.

Itu terbukti karena tidak semua warga Kota Surakarta, mengetahui tanggal Hari Jadi Kota Surakarta. Kalaupun tahu, mereka belum tentu menyakini Hari Jadi Kota Surakarta yang sudah dilandasi dengan Perda itu, sebagai benar-benar hari kelahiran Kota Budaya ini. Apalagi, karena ada sebagian masyarakat kota yang meyakini hari jadi kota ini beda dari 17 Februari itu.

LANDASAN HISTORIS : Hari Jadi atau kelahiran Kota Surakarta, tentu lebih rasional berkait dengan eksistensi Kraton Mataram Surakarta yang memiliki naskah manuskrip Babad Boyong Kedhaton yang di dalamnya tertulis tanggal 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745, sebagai tanggal deklarasi Surakarta menjadi pengganti nama Desa Sala. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Adanya sebagian masyarakat kota yang meyakini hari jadi Kota Pujangga bukan 17 Februari, adalah catatan besar, atau bisa dianggap sebagai tanda-tanda kegagalan menanamkan tanggal 17 Februari itu dalam memori kolektif warga Surakarta. Tetapi itu juga berarti, bahwa proses sosialisasi yang dilakukan mungkin belum masuk level terstruktur, masif dan sistemik.

Tetapi, untuk bisa meningkatkan derajat sosialisasi kalau tidak boleh disebut “cuci otak” sampai level terstruktur, masif dan sistemik/sistematis, rupanya semakin sulit dilakukan. Karena, salah satu syarat suksesnya melakukan proses melalui level itu, harus “memangkas” memori kolektif setidaknya satu generasi, seperti yang dilakukan penguasa Orde Lama hingga Orde Baru.

Perubahan zaman akibat kemajuan teknologi modern khususnya digital dan internet (IT), sangat sulit bisa menyembunyikan informasi data-data sejarah zaman berabad-abad lalu, yang sudah diunggah di berbagai situs web di internet. Setidaknya, generasi yang lahir setelah tahun 1960-an, bisa melakukan pelacakan segala macam informasi di internet melalui HP-nya.

TUGU PEMANDENGAN : Kota Surakarta (1745) yang lebih tua 10 tahun dari Kota Jogja (1755), lebih dulu punya sebuah bangunan monumen Tugu di tengah kota, yang tepat di depan kompleks kantor Balai Kota Surakarta. Monumen itu juga menjadi saksi lahirnya Kota Surakarta pada 20 Februari 1745 atau 17 Sura Tahun Je 1670. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pembentukan memori kolektif tentang tanggal 17 Februari sebagai hari kelahiran Kota Surakarta di satu sisi, tetapi ada fakta sebagian masyarakat kota yang meyakini hari kelahiran Kota Surakarta tanggal 20 Februari, mungkin tinggal menunggu waktu finalisasi secara alamiah, kalau prosesnya “diserahkan” pada kearifan dan kebijaksanaan zaman.

Sebab, kini semua bisa diuji secara ilimiah yang bisa melibatkan berbagai disiplin ilmu dan tokoh intelektual multi disiplin. Artinya, tanggal 17 Februari 1745 yang diakui sepihak dengan Perda dan dianggap sebagai hari kelahiran Kota Surakarta, kecil kemungkinannya bisa menjadi “memori kolektif” yang diyakini sebagai sebuah kebenaran masyarakat yang melegitimasinya.

Sementara itu, di sisi lain ada sebagian masyarakat kota yang lebih meyakini bahwa hari kelahiran Kota Surakarta tanggal 20 Februari. Sebagian masyarakat itu adalah lembaga masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, yang nota bene memiliki kaitan rasional, kultural dan emosional dengan nama Surakarta, apalagi nama Kota Surakarta.

TAK BERKAIT : Di depan sepasang gapura pintu gerbang ke arah kawasan Kraton Mataram Surakarta, baru setelah tahun 2000-an berdiri sebuah patung monumen. Patung itu, justru bisa membuat bingung publik karena sama sekali tidak berkait dengan eksistensi kawasan kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tanggal 20 Februari itu sangat diyakini sebagai saat kelahiran Kota Surakarta, karena ada landasan fakta sejarahnya, meskipun ada lima versi dari data manuskrip yang ada, tetapi tiga di antaranya menyebut bahwa pada tanggal 17 Sura Tahun Je 1670 yang waktu itu jatuh tanggal 20 Februari tahun 1745 (M), Sinuhun PB II mendeklarasikan berdirinya “nagari” Surakarta Hadiningrat.

Mengapa sebuah negara atau “nagari” itu diberi nama Surakarta Hadiningrat? Karena sebuah desa penuh rawa bernama “Sala”, milik seorang “Demang” bernama Ki Gedhe Sala, yang dibangun menjadi Ibu Kota negara Mataram setelah dipindah dari Ibu Kota lama Kartasura itu, pada tanggal 20 Februari itu dideklarasikan menjadi nama Ibu Kota yaitu Surakarta Hadiningrat.

“Artinya, sejak tanggal 20 Februari (1745) atau 17 Sura (tahun Je 1670) itu, nama Desa Sala sudah tidak ada atau berubah dan diganti menjadi Surakarta Hadiningrat. Oleh sebab itu, tanggal 20 Februari itu, adalah hari kelahiran Kota Surakarta, atas landasan bukti-bukti sejarah itu,” tandas KP Budayaningrat menunjuk bukti-bukti tersebut, menjawab pertanyaan iMNews.id. (Won Poerwono-bersambung/i1).