Desa Sala Dijual 3.500 Gulden, Diganti Surakarta Hadiningrat Pada 17 Sura Tahun Je 1670
IMNEWS.ID – PERILAKU penguasa sejak zaman Orde Reformasi hingga kini berusia 25 tahunan itu, memang beda dengan penguasa zaman Orde lama (Orla) apalagi zaman Orde Baru (Orba). Penguasa di zaman orde reformasi terasa hanya melanjutkan yang sudah dilakukan orde-orde sebelumnya, karena tidak mendesain cara-cara “brain wash” untuk rakyatnya, khususnya di Surakarta.
Jadi, perlakuan menyimpang, jauh dari rasa keadilan dan tak ada komitmen apapun terhadap jasa-jasa peradaban dan pemerintahan sebelum 1945, tidak didesain secara khusus oleh penguasa yang datang-pergi tiap lima tahunan Pemilu. Tetapi, yang dilakukan hanya membiarkan realitas sebagai hasil akhir proses sebuah desain yang terstruktur, masif dan sistemik itu.
“Tetapi, pekerjaan untuk mengembalikan sesuatu yang sudah terlanjur dianggap menjadi sebuah kebenaran oleh masyarakat luas, sungguh berat dan sulit. Karena, yang digunakan untuk mengkondisikan itu, kekuasaan dan kekuatan politik. Saya sampai ‘judheg’, cara apalagi untuk meluruskan anggapan yang salah tentang Hari Jadi Kota Surakarta itu?,” tandas KP Budayaningrat.

KP Budayaningrat, adalah salah seorang “dwija” dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta, yang juga menjadi juru penerang budaya Jawa, saat dimintai konfirmasi iMNews.id menyatakan dirinya sering diundang berbicara di berbagai kesempatan, termasuk forum sarasehan yang membahas tentang Hari Jadi Kota Surakarta (iMNews.id, 17/2).
Tetapi, Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng itu hampir-hampir “judheg” karena sulit menemukan solusi atas realitas dalam kehidupan masyarakat di Kota Surakarta yang dirasakan dan dilihatnya. Karena, setiap datang suasana peringatan Hari Jadi Kota Surakarta, seperti menghadapi problem sosial inkonsistensi, yaitu kesalahan yang sama datang secara ajeg.
Pemkot Surakarta yang selalu mengadakan peringatan tiap datang Hari Jadi Kota Surakarta pada 17 Februari, selalu diikuti dengan kesan eforia penyambutan dan perayaan terutama di media sosial. Di sana, “tag-line” yang salah tentang tanggal 17 Februari sebagai Hari Jadi Kota Surakarta, “sudah berkembang kesalahannya” menjadi Hari Jadi Kota “Solo”.

“Saya membaca tulisan-tulisan di beberapa media, la wong Kota Surakarta kok memperingati adeging Kutha Sala. Ini terus bagaimana? La wong Babad Sri Radya Laksana jelas-jelas menyebut, Sinuhun PB II mengambil Desa Sala dan diganti menjadi Kutha Surakarta pada 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745. Desa Sala sudah hilang, diganti Kutha Surakarta,” tandasnya.
KP Budayaningrat menegaskan, terkesan ada faktor kesengajaan upaya menghilangkan nama Kota Surakarta dengan menggunakan kekuatan politik. Padahal, nama itu juga sudah menjadi label pemerintahan wilayah secara administratif. Oleh sebab itu, nama Desa Sala menjadi “Kutha Sala” dan nama Solo dalam “Bengawan Solo”, hanya dalam syair beberapa lagu saja.
Memang benar data manuskrip Babad Sala menyebut, ada sebuah wilayah desa yang ditunggu seorang sesepuh bernama Ki Gedhe Sala. Tetapi, ketika sudah dibeli Sinuhun Paku Buwana (PB) II (1727-1749) seharga 3.500 gulden, nama Desa Sala sudah diubah dengan nama Surakarta Hadiningrat pada tanggal 20 Februari 1745, yang waktu itu jatuh pada 17 Sura Tahun Je 1670.

“Tetapi dalam data manuskrip Babad Sri Radya Laksana, Desa Sala yang banyak tertutup rawa itu, sudah dibeli Sinuhun PB II. Dan pada tanggal 20 Februari, diumumkan nama Surakarta Hadiningrat sebagai nama ‘negara’ sekaligus kota, untuk mengganti nama Desa Sala. Jadi, tanggal 20 Februari itu adalah hari kelahiran dan hari jadi Kota Surakarta, bukan Kutha Sala,” tegasnya.
Desa Sala apalagi Kutha Sala, sudah tidak ada sejak 20 Februari itu. Kota Solo juga tidak pernah ada dalam sejarah perjalanan “negara” terakhir sebelum 1945. Kata “Solo” hanya sebagai sebutan karena salah mengucap kata “Soroh” yang makna harafiahnya “rela/merelakan”, karena lidah (Belanda-Red) tidak bisa mengucapkan sempurna seperti lidah “bangsa” Jawa.
Dalam beberapa kali soal penggunaan tanggal yang salah untuk memperingati hari jadi Kota Surakarta beberapa tahun lalu, Gusti Moeng banyak disibukkan untuk menanggapi dan meluruskannya. Meski kesal dan merasa tidak habis pikir dengan klaim tanpa dasar itu, Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa lembaga Dewan Adat tetap konsisten untuk terus berusaha mengedukasi publik secara luas.

“Betul Kanjeng Yus (Yusdianto, nama kecil KP Budayaningrat) itu. Desa Sala sudah tidak ada sejak Kota Surakarta diumumkan Sinuhun PB II pada 20 Februari 1745. Karena, desa berawa-rawa yang dikuasai Ki Gedhe Sala, sudah dibeli Sinuhun, 3.500 gulden. Selama tiga tahun (1742-1745), rawa-rawa itu diurug tanah, sebagai tempat mendirikan Ibu Kota Surakarta”.
“Ki Gedhe Sala adalah eks pejabat Kraton Pajang (1550-1587), setingkat lurah yang ditugasi mengelola desa itu. Sinuhun PB II membeli desa itu, dan dilakukan pengurugan selam tiga tahun. Saat ‘nagari’ Surakarta dideklarasikan untuk mengganti Desa Sala, bangunan kraton atau Ibu Kota ‘negara’ Mataram Surakarta, baru beberapa,” ujar Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id.
Dalam beberapa kesempatan wawancara, Gusti Moeng menyebut, bangunan infrastruktur Ibu Kota Mataram di Surakarta Hadiningrat ini, baru beberapa buah dan belum jadi ketika Ibu Kota Kraton Mataram dipindah dari Kartasura ke Surakarta, serta nama Surakarta dideklarasikan. Yang fokus ingin diselesaikan lebih cepat, justru bangunan Masjid Agung. (Won Poerwono-bersambung/i1).