”Pergi” Setelah Mencoba Menyiasati ”Pageblug Mayangkara”
IMNEWS.ID – RABU Wage 7 Juli hari ini, adalah genap tujuh hari peringatan meninggalnya ”Sang Maestro Sabet” wayang kulit, Ki Manteb Soedarsono di usianya yang hampir genap 73 tahun pada 31 Agustus 1948 nanti. Doa tahlil selama tujuh hari mulai malam setelah meninggal dalam suasana isolasi mandiri di kediamannya, Jumat Wage pagi (2/7) hingga terakhir Rabu malam ini, terus dikumandangkan di rumah duka, Desa Doplang Sekiteran, Kecamatan Karangpandan, Karanganyar.
Sampai tujuh hari, ucapan duka-cita dan simpati masih terus berdatangan dari banyak pihak dan berbagai kalangan, baik yang memberanikan datang secara langsung ke rumah duka, maupun lewat telepon, SMS dan aplikasi WA. Sementara, keluarga juga belum punya rencana apapun untuk memaknai kepergian sang pemimpin keluarga, mengingat situasi dan kondisinya masih dalam suasana pandemi Corona ”Pageblug Mayangkara” kelas berat.
Mengingat suasananya pula, hingga kini juga belum terdengar dari berbagai kalangan yang pernah bergaul akrab, atau punya hubungan kerja/kekaryaan dengan Sang Maestro Sabet, untuk mengadakan semacam ekspresi untuk mengenang dan menghormati kekaryaan serta jasa-jasanya di bidang pelestarian seni tradisional wayang kulit. Dalam suasana pageblug ini, memang sempat menghilangkan kelumrahan-kelumrahan yang biasa tampak dalam pergaulan masyarakat etnik Jawa atau publik secara luas, seperti ketika terjadi suasana duka meninggalnya seniman yang punya nama besar itu, yang seakan hanya lewat begitu saja, dan ”dingin”.
Tetapi, itulah realitasnya yang terjadi hampir dua tahun Nusantara dilanda pageblug Corona, termasuk Ki Manteb sendiri yang meninggal akibat keganasan virus yang membuat dirinya terdeteksi positif dan harus menjalani isolasi mandiri di rumahnya, sampai akhirnya menghembuskan nafas terakhir, Jumat pagi (2/7) itu. Padahal, dalam satu sisi kesadarannya, Ki Manteb pernah berterus-terang kepada iMNews.id yang mengunjunginya di bulan Juni 2020.
Dalam diskusi itu Ki Manteb menyatakan bahwa dirinya menjadi salah seorang dalang senior yang beruntung, karena bisa mengalami suasana ”Pageblug Mayangkara”, padahal sebelumnya hanya mendengar ceritanya saja dari kalangan orangtua dan para leluhurnya. Dan dari berita-berita yang didengarnya menyebutkan, bahwa ”bencana” seperti ini sangat langka, mengingat dalam sejarah hanya menyebutkan datangnya minimal 100 tahun sekali sejak flu Eropa melanda Nusantara di tahun 1917-1921.
Beruntung Mengalami Pageblug
”Ternyata, sing diarani Pageblug Mayangkara ki eneng tenan ya. Merga ndisik aku mung krungu saka critane simbah-simbah, sing wis tahu ngalami eneng pageblug. Dadi, sing dicritakne neng nggon wayang ki jane ya eneng lelakon sing wis dadi kasunyatan. Kira-kira apa ya kaya pandemi Corona ngene iki ya….? Yen nonton gelagate kok bener ngono. Merga, akeh sing wis mati merga virus Corona, biange pageblug kuwi,” papar Ki Manteb mencoba meyakinkan pendapatnya sendiri, ketika berbincang-bincang dengan iMNews.id yang bertanya : ”Apa yang bisa dimaknai mas Manteb (sapaan akrab almarhum) dalam suasana pandemi seperti sekarang ini…?”.
Salah satu pertanyaan itu dilontarkan penulis saat ”jagongan” dalam pertemuan kedua di awal Juni 2020, beberapa saat menjelang Ki Manteb menggelar pentas wayang ”climen” di kediamannya. Tentu saja, situasi dan kondisi saat itu belum seberat sekarang, atau sekitar setahun kemudian setelah ”jagongan” itu. Pentas wayang ”atas pesanan” seseorang untuk menyambut Hari Lahir Pancasila, 1 Juni itu malam itu, hanya menggunakan gudang tempat menyimpan gamelan yang berukuran kecil, karena hanya melibatkan separo kru sekitar 15 orang, karena harus mematuhi pembatasan protokol Covid secara ketat, waktu itu.
Banyak hal yang dibahas dalam satu pertemuan saja dengan dalang yang dikontrak menjadi bintang iklan obat sakit kepala seumur hidup dan sempat mendapat julukan ”Ki Manteb Si Dalang Oye” itu. Apalagi, ketika sering bertemu secara beruntun dan dalam waktu yang dekat, seperti ketika tiga kali menggelar pentas wayang ”climen” di kediamannya dalam rangka ”menyiasati” atau ”mengatasi” suasana pandemi.
Salah satu hal yang dibahas ngalor-ngidul diselingi guyon agak ngelantur itu adalah aktivitasnya menggelar pentas wayang secara ringkas di kediamannya, sebagai bentuk ”reaksi” terhadap situasi pandemi untuk sekadar berkelit ”menyiasati” atau ”mengatasi” keterbatasan dan himpitan suasana terhadap kebebasannya bergerak mencari nafkah lewat seni pertunjukan wayang kulit. Almarhum ”Sang Maestro Sabet” itu setuju dengan istilah ”menyiasati” untuk mengatasi suasana pandemi, yaitu dengan hanya menggelar pentas wayang ”climen” yang sangat terbatas wujud visual penampilan pementasannya.
Soal ”climen” dan terbatas, memang menunjuk pada personel kru seniman karawitan yang dilibatkan, karena hanya separo dari tim atau hanya diiringi gamelan Slendro saja yang jumlahnya hanya 15-an orang. Hal lain yang dianggap menyiasati pandemi seperti saat menggelar lakon ”Kumbakarna Senapati” tanggal 1 Juni 2020 itu, dengan pentas yang didukung hanya seorang pesinden dan beberapa pengrwati, tetapi bisa disaksikan banyak orang karean disiarkan secara virtual streaming lewat channel Youtube Ki Manteb Soedarsono.
Belum Seluruh Siasatnya Berhasil
Jumlah yang sedikit itu, sebagai bentuk penyesuaian terhadap pembatasan protokol kesehatan yang dikeluarkan Satgas Penangan Covid 19. Selain itu, pementasan yang dilakukan dalang yang paling laris sepanjang hayat itu, bisa terwujud karena dukungan pribadi beberapa tokoh untuk sekadar menolong seniman yang sedang kehilangan nafkah sudah lebih 3 bulan akibat pandemi Corona.
Bentuk-bentuk lain penyiasatan Ki Manteb terhadap pandemi, adalah menggilir kru karawitannya untuk terlibat secara bergiliran, separo-separo untuk tiap kali pentas. Mengingat, nilai job pentas ”climen” itu hanya bisa untuk sekadar uang bensin separo jumlah krunya, yang sangat jauh dari nilai honor normal yang rata-rata paling rendah Rp 500 ribu/orang.
”Kuwi wae, mung kanggo cah-cah, ben entuk pangan ora ketang sithik. Aku ora (entuk) ya ora apapa. Merga aku isih eneng sing tak pangan. Iki wae wis alhamdulillah, isih eneng sing gelem mbantu seniman. Aku ki jane arep protes, ning karo sapa? Merga, seniman kuwi dudu pegawai/karyawan perusahaan utawa pemerintah. Dadi, ora eneng sing mikirke nasibe. La terus piye yen kaya ngene terus? Apa ora mesakne? Seniman kaya aku ki apa dianggep ora eneng manfaate kanggo bangsa lan negara ta?,” ketus Ki Manteb dengan serentetan pertanyaan yang bernada protes terhadap situasi di tahun pertama pandemi.
Protes dan menyiasati seperti yang pernah dialami Ki Manteb sampai akhir hayat, Jumat Wage pagi 2 Juli 2021 itu, sebenarnya merupakan sebuah pertanyaan sekaligus mendapat jawaban yang cerdas sekaligus strategis. Artinya, di tengah kesulitan yang juga menghimpit kalangan seniman pedalangan (seniman tradisional), muncul kreativitas-kreativitas yang bisa menjadi langkah penyelamatan atau solusianya.
Persoalannya, di luar persoalan nyata yang dihadapi kalangan seniman secara umum, ada persoalan lain yang lahir dari situasi dan kondisi yang sama, tetapi tidak bisa bersinergi atau justru punya ekses memperberat persoalan yang dihadapi kalangan seniman. Persoalan lain itu misalnya yang menyangkut regulasi dan kebijakan pihak otoritas penguasa, yang tidak bisa menyentuh kehidupan kalangan seniman, hingga membuat Ki Manteb protes dan ”pergi” sebelum seluruh siasatnya ”berhasil”. (Won Poerwono-bersambung)