Sarasehan Membahas Soal Mataram, Jadi Ajang Gusti Moeng Sosialisasikan Lembaga Dewan Adat
IMNEWS.ID – RABU Legi malam (24/4) lalu, bisa disebut dan dicatat sebagai hari bersejarah bagi “Bebadan Kabinet 2004”, Kraton Mataram Surakarta, Dinasti Mataram dan bagi masyarakat Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul (DIY). Karena di malam itu, ada peristiwa bersejarah yang terjadi setelah 500-tahun kemudian.
Malam itu, sebuah kelompok pecinta budaya yang tergabung dalam Komunitas Purnaman Gilanglipuro, Bantul, DIY, menggelar sarasehan budaya yang juga disebut “Gendu-gendu Rasa”, di kompleks cungkup prasasti Sela Gilanglipuro. Di situ terdapat sebuah batu prasasti, yang diyakini sebagai tempat meditasi Panembahan Senapati.
Panembahan Senapati adalah putra Ki Ageng Pemanahan, yang mendirikan Dinasti Mataram sekaligus Raja-1 Kraton Mataram (1588-1601). Di awal-awal jumeneng nata itu, Sinuhun Panembahan Senapati mendapat “wahyu” dalam rangkaian “lelaku” atau meditasinya yang dilakukan di sebuah batu besar yang ada di sebuah desa.
Batu berukuran besar yang dulunya diyakini berada di tengah-tengah “sendang” atau danau kecil itu, kemudian diberi nama Sela Gilanglipuro, dan disebut sebagai sebuah batu prasati serta kini dilindungi UU Cagar Budaya No 11/2010. Batu prasasti di wilayah yang kemudian masuk Kelurahan Gilangharjo, Kecamatan Pandak itu, disebut “petilasan”.
Batu prasati yang diberi nama Sela Gilanglipura dan berada dalam bangunan cungkup itu, adalah bagian dari kompleks yang sekelilingnya sudah bukan sendang atau danau kecil, tetapi berupa daratan atau mirip pekarangan. Di kanan-kirinya sudah padat pemukiman penduduk, tetapi kompleks prasasti itu sudah dibatasi pagar keliling.
“Informasi dari berbagai sumber yang saya dapat, ‘sela gilang’ itu disebut berada di tengah sendang atau danau kecil. Tetapi sudah tidak ada ya..? Saya tidak tahu, mengapa di depan sudah ada identitas Kraton Jogja yang menempel. Padahal, banyak tanah-tanah di sini milik Kraton Mataram Surakarta sebagai penerus Mataram”.
“Tetapi enggak apa-apa. Itu (bisa dianggap sebagai) bentuk penyelamatan. Yang sebelah, nanti kita tempeli tanda identitas bahwa ini adalah aset Kraton Mataram Surakarta. Karena, sekarang sudah ada Lembaga Dewan Adat (LDA), lembaga yang punya landasan hukum nasional untuk menyelamatkan aset-aset kraton itu, di mana saja”.
“Baik itu aset bergerak dan yang tidak bergerak, yang sudah dikuasai maupun yang dikuasai orang lain, yang dikelola sendiri maupun dikelola orang lain, di dalam maupun yang ada di luar negeri. Ini karena, LDA sudah mendapatkan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang ditetapkan Pengadilan Negeri Surakarta,” ujar Gusti Moeng.
GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng, malam itu didaulat memberi “sesorah” panjang-lebar di forum “Gendu-gendu Rasa” yang digelar Komunitas Purnaman Gilanglipuro. Meski belum semuanya yang berkait dengan Dinasti Mataram dibeberkan, tetapi giliran berbicara terakhir yang diterimanya bisa memberi pemahaman tentang banyak hal.
Waktu yang sediakan penyelenggara termasuk ideal, yaitu dimulai pukul 20.00 WIB dan diakhiri pukul 22.00 WIB lewat. Acara dimulai dengan pengantar dari Supriyanto SE dari komunitas sebagai pemandu sarasehan, yang terpaksa banyak bernarasi karena beberapa tokoh pejabat yang diharapkan berbicara di forum, datang terlambat.
Akhirnya, Gusti Moeng dan rombongan sekitar 25 orang memanfaatkan waktu kosong menunggu kehadiran para pembicara lain dengan bergiliran berdoa dan berziarah di prasati “Watu Gilang” tersebut. Ketika menyebut “Watu Gilang”, pasti ingat drama ketoprak, yang sering menyajikan lakon Ki Ageng Mangir Wonoboyo yang “cukup menyesatkan” itu.
Kira-kira 30 menit kemudian, datang Lurah Gilangharjo, Drs Mardiyono dan Slamet Pamuji selaku Kepala Kundo Kebudayaan Pemkab Bantul serta sejumlah peserta sarasehan lainnya. Ada lebih 100-an peserta sarasehan, sebagian besar warga Bantul dan sekitar, yang terpaksa mengikuti dari luar pagar karena ruang di dalam tidak muat.
Dua tokoh di atas, yang ditunggu-tunggu untuk berbicara di forum itu. Selain itu, intelektual kampus dari UGM yaitu Dr Sriyono juga diminta berbicara di giliran awal. Sedang Dr Purwadi, peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja, secara singkat menguraikan karya Panembahan Senapati dan raja-raja Mataram setelahnya.
Hal yang menarik dari ungkapan Dr Purwadi, adalah selama “jumeneng nata” di Kraton Mataram, Panembahan Senapati berhasil membangun “Gedung Hanyakrawati” yang kemudian (sejak NKRI lahir-Red), dijadikan Istana Negara. Ungkapan intelektual kampus ini mengejutkan bagi beberapa gelintir orang, tetapi banyak yang tidak “ngeh” dengan itu.
Tak banyak yang diungkapkan dosen pengajar, peneliti sejarah yang juga seniman dalang wayang kulit itu, karena waktunya diberikan kepada tokoh seniman Jogja, KRT Dalijo Renggowacono. Tokoh ini diminta “nembang Macapat” yang isinya diambil dari “Serat Wulangreh” karya Sinuhun PB IV, yaitu “Sekar Gambuh”. (Won Poerwono-bersambung/i1).