Karya Pemikiran dan Gagasannya, Nyaris tak Ditemukan Dalam Karya Para Tokoh Setelahnya
IMNEWS.ID – TAMPILNYA sosok abdi-dalem “Bupati Riya Inggil” Kangjeng Raden Arya (KRA) Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro yang selama 2023 selalu rajin hadir di setiap ada upacara adat di Kraton Mataram Surakarta, dari sisi lain sebenarnya biasa-biasa saja sebagai rutinitas yang kurang-lebih sama dilakukan para abdi-dalem lain, apalagi yang terwadahi dalam Pakasa.
Artinya, karena organisasi Paguyuban Kawula Karaton Surakarta (Pakasa) di tingkat cabang yang berada di tiap kabupaten sampai di tahun 2023 itu sudah ada 19 kepengurusan cabang yang dikukuhkan resmi dan sekitar 20-an berstatus rintisan embriyo cabang, kegiatan para abdi-dalem Pakasa hadir di pisowanan di kraton, juga terlihat sebagai rutinitas biasa-biasa saja.
Terkadang bisa datang bersamaan semua cabang, baik pengurusnya yang lengkap dengan rombongan, tetapi ada kalanya hanya rombongan utusan ketua cabangnya. Di lain kesempatan pisowanan upacara adat berikutnya, bisa saja datang bergantian, bisa lebih banyak jumlahnya, atau sebaliknya bisa lebih sedikit.
Dinamika itu sangat dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi yang sifatnya normatif, biasa-biasa saja dan sesuai dengan realitanya. Karena memang dimaklumi, situasi dan kondisi secara umum maupun secara pribadi, dari waktu ke waktu memang tidak ada yang bisa menjamin sama. Apalgi, kraton memiliki sedikitnya 9 upacara adat pisowanan yang digelar dalam setahunnya.
Dari situasi dan kondisi seperti itu, KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro tergolong sering kelihatan di Kraton Mataram Surakarta, bersama rombongannya yang paling sedikit 6 orang saat khataman Alqur’an digelar tiap Rabu Pahing. Atau bahkan sampai 70-an orang saat ritual hajad-dalem Garebeg Mulud atau HUT Pakasa, seperti yang tampak di akhir November 2023 lalu.
“Selama tahun 2023, Pakasa Cabang Kudus sedikitnya hadir pada pisowanan yang digelar kraton 10 kali. Termasuk, tingalan jumenengan, haul Sultan Agung, ritual Adeging Nagari Surakarta dan HUT Pakasa ke-92. Kami senang bisa sowan, karena kraton ‘rumah kita’. Kami ingin ikut melestarikan budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton,” tegas KRA Panembahan Didik.
Mengamati aktivitas KRA Panembahan Didik yang sejak setahun lalu dipercaya menjadi “Plt” Ketua Pakasa Cabang Kudus, ternyata ada suatu misteri di balik nama dan ketokohannya. Begitu pula, di balik aktivitasnya yang termasuk rajin mengajak rombongan Pakasa berkunjung ke Pakasa cabang tetangga, misalnya cabang (Kabupaten) Pati dan Jepara yang menggelar ritual haul.
Misteri yang berada di balik ketokohan KRA Panembahan Didik, adalah sebuah nama besar Sunan Kudus yang ada di belakangnya. Walau secara fisik dan dari sikap berinteraksi secara kekerabatan di internal kraton tak pernah memperlihatkan latar-belakang nama besar itu, tetapi pandangan-pandangan dan pemikirannya semakin kelihatan mewarisi sikap tokoh Wali Sanga itu.
Salah satu sikap yang diperlihatkan Sunan Kudus secara tegas itu, adalah keterbukaannya untuk menerima perbedaan simbol-simbol teologis keyakinan lain. Dia menganjurkan (bahkan melarang-Red), warga muslim di daerahnya (Kabupaten Kudus-Red) dan sekitar yang menjadi wilayah pengaruhnya untuk tidak menyembelih sapi/lembu saat perayaan Idhul Adha.
“Sebagai gantinya, Sunan Kudus menunjuk kerbau untuk disembelih dan daging kurbannya dikonsumsi umat Muslim di sana. Maka, sampai sekarang di banyak kabupaten di wilayah kawasan Gunung Muria, bahkan sampai ke timur, kalau hari raya Idhul Adha, banyak yang menyembelih kerbau selain sapi/lembu. Ini untuk menghormati warga Hindu”.
“Karena, Sunan Kudus sebelumnya hidup di lingkungan pemeluk Hindu. Sehari-harinya, melihat sendiri bagaimana warga Hindu setiap hari memandikan sapi/lembu yang menjadi bagian penting keyakinannya itu. Maka, tidak tega kalau sampai menyembelih sapi/lembu dijadikan hewan kurban,” ujar KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil-I yang dimintai refrensinya, kemarin.
Pengajar dan peneliti IAIN Ponorogo yang juga abdi-dalem “Kanca Kaji” di Kraton Mataram Surakarta yang dihubungi iMNews.id, selanjutnya menyebutkan, hingga kini dirinya belum melakukan kajian lebih lanjut terhadap karya-karya (sastra) Sunan Kudus secara langsung. Atau kajian dari karya-karya Pujangga dan raja-raja Mataram, untuk mengetahui sejauh mana pandangannya.
Menelusuri karya-karya Sunan Kudus dari berbagai kemungkinan peninggalan sejarah yang ada sekarang, memang sangat sulit. Padahal, ketika ditemukan di antara karya-karya sastra (manuskrip) para Pujangga atau raja-raja Mataram terutama Surakarta, biasanya akan mempermudah untuk mengetahui ada atau tidak, adanya gagasan, pandangan, ajaran dan cirikhas tokoh Sunan Kudus.
“Yang jelas, pola pemerintahan Kraton Demak (abad 15), terbuka formasi jabatan pengulu yang waktu itu dijabat Sunan Kudus. Pola ini ditiru mulai dari Mataram Islam di bawah Sultan Agung, yang dilestarikan sampai sekarang. Maka, saya ikut gembira saat Kanjeng (KRA) Panembahan Kudus (Ketua Pakasa Kudus-Red), diangkat menjadi abdi-dalem ‘Kanca-Kaji’, sangat tepat”.
“Saya percaya, Kanjeng Panembahan Kudus dan para abdi-dalem ‘Kanca Kaji’ yang diangkat, termasuk yang dari (Kabupaten) Pati dan Jepara, itu bukan kebetulan. Tetapi ada sentuhan tangan Allah SWT, Tuhan YME. Ini menjadi misteri kita, apa rencana Allah SWT terhadap kraton ke depan. Mugi-mugi, Allah tansah paring kasaenan dhateng kraton,” harap KRT Ahmad Faruq. (Won Poerwono-bersambung/i1).