NKRI Dikagumi Bangsa-bangsa Lain Karena Budaya dan Kebhinekaannya
IMNEWS.ID – DALAM sebuah pidatonya di depan para nahdliyin di lingkungan PB NU yang menggelar sebuah acara, beberapa waktu lalu, Ketua PB NU KH Said Aqil Siradj menyebut, ”…Indonesia dikagumi dan dikenal bangsa-bangsa lain di dunia karena budayanya (yang bhineka), bukan……”. Tentu saja, pernyataan seorang ketua pemimpin agama dengan anggota sangat besar di Tanah Air ini, membuat Gusti Moeng terkesima sekejab, lalu berucap lirih ”masya Allah….alhamdullillah…. subkhanallah…” yang mungkin bisa berlanjut sampai mata berkaca-kaca trenyuh bercampur gembira dan bangga, bahkan bisa sampai ”mbrebes-mili” air matanya.
Mengapa respon GKR Wandansari Koes Moertiyah yang notabene salah seorang tokoh masyarakat adat dari Keraton Mataram Surakarta bisa seperti itu? Kalaulah sekilas isi pidato itu dianalisis dan ditelaah lebih jauh, ada faktor yang membuat Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta itu bisa begitu responsif dan sensitif, yaitu karena faktor sosok figur ulama besar NU itu di satu sisi dan potensi (kebhinekaan) budaya Nusantara yang disebut sebagai cirikhas dan identik dengan NKRI, adalah sebuah fakta yang sudah tidak terbantahkan.
Kesan yang ditangkap Gusti Moeng tentang inti pesan itu, pertama karena pesan itu merupakan pernyataan seorang ulama besar NU yang boleh jadi ”mewakili keberanian” komponen bangsa utuk menyatakan kebenaran yang apa adanya, bahwa budaya yang bhineka adalah cirikhas asli milik bangsa Indonesia. Itu juga berarti, budaya yang sangat majemuk itu, realitas apa adanya yang justru menjadikan bangsa ini besar dan dikenal, karena bisa hidup rukun dan damai.
Pemimpin kaum nahdliyin itu bahkan sempat membandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang hampir sepanjang waktu hanya berselisih dan konflik, karena menjadikan identitas dan cirikhas bangsanya bukan budayanya. Dia seakan berharap NKRI dan semua komponen bangsanya tidak menjadikan selain budaya aslinya dan kebhinekaannya sebagai identitas dan cirikhasnya, karena sudah terbukti bangsa ini dikenal dan dikagumi karena budayanya yang berbhineka.
Gusti Moeng memang boleh trenyuh, karena faktanya memang belakangan bangsa ini nyaris kehilangan jatidirinya sebagai bangsa yang berbudaya dan berbhineka. Sementara, lembaga masyarakat adat yang terwadahi dalam LDA Keraton Mataram Surakarta yang dipimpinnya, benar-benar terpinggirkan dari ”road map” arah perjalanan bangsa, dari skala nasional hingga lokal.
Oleh sebab itu, KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito sangat setuju ajakan Ketua DPD RI AA LaNyala Mattalitti yang sedang menggerakkan potensi dukungan untuk mengembalikan andil dan keterlibatan para raja dan sultan pemilik saham negeri ini melalui proses politik, di satu sisi. Kemudian mendukung gerak langkah nyata Pakasa dengan kegiatan-kegiatan yang membangkitkan rasa cinta seni budaya melalui organisasinya lebih masif lagi, di sisi lain.
Organisasi Pakasa dan Juga Putri Narpa Wandawa, dalam beberapa tahun ini makin berkembang di berbagai daerah, mulai dari tingkat cabang untuk kabupaten atau kota maupun sampai ke tingkat anak cabang di tiap kecamatan. Melalui cabang dan anak cabang yang tersebar di sejumlah wilayah terutama Jateng dan Jatim itu, sudah dibuktikan telah memperlihatkan potensi kekuatan jenis seni budayanya maupun potensi yang dibutuhkan bangsa dan negara ini untuk menjaga keutuhan NKRI.
Pengurus Pakasa Cabang dan anak cabang yang terbentuk di dua wilayah provinsi itu, jelas merupakan wadah para insan cinta damai dan cinta seni budaya sekaligus cinta NKRI. Karena, setiap ada pelantikan dan penetapan pengurus cabang dan anak cabang, selalu disodorkan pertanyaan ”Menapa panjenengan saestu ngrungkebi lan saestu njagi tetep lestantunipun NKRI….?”, yang harus dijawab dengan segenap ucapan serta tindakan nyata dalam kehidupan kesehariannya.
Kualitas rasa nasionalisme kalangan pengurus Pakasa dan warganya yang sudah tidak perlu diragukan lagi, adalah sumpah pribadi-pribadi maupun masyarakat adat secara kelembagaan. Ini yang menjadi fundamental SDM yang diharapkan akan merawat segala potensi seni budaya di tingkat lokal, bahkan potensi ekonomi (kreatif) yang lahir dari kearifan lokal, agar menjadi pihak/lembaga proporsional dan profesional dalam pelestarian potensi budaya di tingkat lokal.
Keberadaan lembaga Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Surakarta yang diketuai KPH Raditya Lintang Sasangka dan dikelola Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta yang diketuai Gusti Moeng, menjadi mata rantai yang strategis dan sangat penting dalam memperkuat lembaga Pakasa sampai di tingkat anak cabang, maupun memperkuat basis ketahanan budaya publik secara luas sampai di tingkat nasional. ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa” yang baru saja digelar di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, belum lama ini (iMNews.id, 1/12), adalah bukti ketersediaan banyak potensi yang diperlukan bangsa dan negara saat ini.
Bahkan, Sanggar Pasinaon Rias Pengantin yang belum lama dibuka Gusti Moeng di Bale Agung, semakin menambah luas cakupan dan memantabkan langkah dalam upaya pelestarian seni budaya peninggalan peradaban Mataram dan Jawa. Sanggar ini bahkan semakin meyakinkan posisi Pakasa cabang dan anak cabang yang kelak akan mewadahi para ahli pelestari paes pengantin gaya Surakarta sebagai menu utama dan gaya-gaya lain sebagai keahlian tambahan.
Lembaga-lembaga sanggar sesuai bidang keahlian yang berbasis produk budaya/peradaban (Jawa), akan semakin menjanjikan lahirnya banyak keahlian di bidang ekonomi kreatif apabila bisa bersinergi dengan berbagai jenis kesenian tradisional yang berkembang di berbagai daerah bekas sebaran peradaban Mataram/Jawa. Sebab, sinergitas itu juga bisa menjadi matarantai yang saling menghidupi, memberdayakan dan meleghitimasi satu sama lain, yang dalam skala besar akan menjadi potensi ketahanan budaya dan ekonomi (kreatif) berbasis budaya seperti yang dihadapkan Kemenpar Ekraf. (Won Poerwono-habis)