Prasasti “Sela Gilanglipuro”, Tempat Panembahan Senapati Menerima “Wahyu Mataram” (seri 6 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 4, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Prasasti “Sela Gilanglipuro”, Tempat Panembahan Senapati Menerima “Wahyu Mataram” (seri 6 – bersambung)
RATU KENTJANA : Makam Kangjeng Ratu Kentjana di koMpleks Astana Pajimatan Tegalarum, Kabupaten Slawi/Tegal, diziarahi Gusti Moeng di bulan Sura tahun 2023. Putri Bupati Semarang, Pangeran Kajor inilah yang membiayai pindahnya Ibu Kota dari Plered dan membangun Kartasura sebagai Ibu Kota baru Kraton Mataram Islam. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Persyaratan “Bibit, Bobot dan Bebet”, Akan Menentukan Kualitas Kehidupan Peradaban

IMNEWS.ID – PERAN ketokohan Sinuhun Paku Buwana (PB) II (1727-1749) setelah dicermati ternyata sangatlah penting. Karena, putra mahkota Sinuhun Amangkurat IV/Jawi yang terlahir dari garwa prameswari KR Kentjana (putri KRT Tirtakusuma-Bupati Kudus) itu, adalah tokoh yang membawa Mataram Islam mengalami banyak pembaharuan di Surakarta.

Putra mahkota yang bernama kecil Raden Mas Gusti (RMG) Prabasuyasa itu, adalah tokoh “Organizer Grand Design” sebuah “negara” dengan Ibu Kota Mataram baru, yaitu di Surakarta Hadiningrat. Sayang sisa-sisa Ibu Kota lama di Kartasura, sudah sulit diidentifikasi strukturnya dan sulit dipahami keberadaannya secara utuh oleh orang awam.

Oleh sebab itu, agak kesulitan untuk membandingkan antara plus-minus Ibu Kota lama, dengan gagasan pembaharuan Sinuhun PB II di Ibu Kota baru, yaitu Surakarta Hadiningrat. Tetapi jelas, bahwa Ibu Kota baru meneruskan kejayaan Dinasti Mataram yang didirikan Panembahan Senapati, dan meneruskan Mataram Islam yang didirikan Sultan Agung.

SANGAT BERJASA : GKR Timoer Rumbai saat menziarahi makam Sinuhun Amangkurat Agung, beberapa waktu lalu. Generasi peradaban sekarang ini hanya bisa mengirim doa sebagai rasa terima kasih, untuk memuliakan tokoh yang sangat berjasa bagi peradaban sangat luas, dari generasi ke generasi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ibu Kota baru Mataram Islam di Surakarta Hadiningrat adalah karya besar membangun Ibu Kota Negara (IKN) yang dihasilkan Sinuhun PB II. Karena, lahirnya “negara” Mataram (Islam) Surakarta, menjadi tonggak kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang banyak menjadikan aset karya di berbagai bidang sebagai pedomannya.

Dalam proses-proses kerja besar dari perencanaan hingga pelaksanaan pindah Ibu Kota mulai 17 Februari 1745 hingga deklarasi nama Surakarta Hadiningrat mengggantikan “Kutha Sala” pada 20 Februari 1745, sampai proses pembangunan Ibu Kota baru, sangat jelas dan pasti ada kerja ekstra keras seorang wanita, yaitu (Kanjeng) Ratu Mas (Emas).  

Di era modern dengan pembagian bidang tugas pemerintahan yang sudah jelas dan tegas, seorang “Ibu Negara” sangat mungkin masih terkuras energi, waktu dan pikirannya karena ikut repot dalam proses pemindahan “IKN”. Maka bisa dibayangkan, bagaimana sibuk dan repotnya  “Ibu Negara” KR Mas dalam proses pindah dan membangun Ibu Kota baru.

SYARAT MUTLAK : Gusti Moeng memperlihatkan tokoh Panji Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji sebagai gambaran pasangan yang memenuhi bibit, bobot dan bebet. Ketiga persyaratan itu mutlak perlu, karena akan menentukan nasib kehidupan peradaban sebuah negara, kini dan mendatang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Di era pemerintahan “negara” kerajaan (monarki) di abad 17 yang belum terbagi tegas bidang kekuasaan yang ada waktu itu, seorang “Ibu Negara” KR Mas atau para leluhurnya, juga istri-istri permaisuri pewaris tahta Mataram sesudahnya, jelas tidak akan luput dari kerepotan, kerja ekstra keras, dan segala bentuk energi yang terkuras.

Mengingat, KR Emas dan keluarga Bupati Lamongan yaitu Pangeran Purbaya adalah donatur utama “proyek” raksasa mulai dari perencanaan pemindahan, pelaksanaan pindah hingga pembangunan Ibu Kota baru Surakarta Hadiningrat. Realitas kewajaran dan fakta sejarah seperti ini, menurut Dr Purwadi sangat jarang dimunculkan ke ruang publik.

“Jadi, walau di masa lalu dikenal banyak yang pinunjul sakti, soal proses memindah Ibu Kota dan membanguan Ibu Kota baru, jelas tidak mungkin mengandalkan ‘bim-salabim, jadilah…’. Itu hanya kosong. Semua karya besar apalagi pindah Ibu Kota dan membangun yang baru, harus punya modal besar. Karena proyek raksasa itu, butuh biaya besar”.

MENJADI RAW MODEL : Prasasti Sela Gilanglipuro yang dikunjungi Gusti Moeng, beberapa waktu lalu, menjadi gambaran bagaimana Raja-raja Mataram meneladani Panembahan Senapati yang bisa mengumpulkan segala potensi untuk mewujudkan sebuah kehidupan negara yang ideal dalam “tata lahir” dan “tata batin”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Maka, di sinilah arti penting seorang Raja. Selain pemimpin negara, juga mampu melahirkan karya besar. Dan, di balik sukses maha karya itu ada siapa?. Di situlah arti penting seorang Ibu Negara yang juga garwa prameswari. Karena, KR Mas dari keluarga yang kaya-rata. Beliaulah yang membiayai proyek maha karya itu,” ujar Dr Purwadi.

“Sekali lagi, ingat bibit, bobot dan bebet,” tunjuk Ketua Lokantara Pusat (Jogja) itu, mengingatkan. Tiga syarat utama dan baku dalam perjodohan di kalangan masyarakat etnis Jawa, menjadi pedoman penting. Bahkan di lingkungan kraton, “bibit” atau unsur kualitas dan asal-usul keturunan, harus memenuhi unsur dari garis/secara adat.

“Bobot” adalah kemampuan berfikir atau kapasitas intelektual dan penguasaan budi-pekerti atau nilai-nilai etika. Unsur penting itu ikut menentukan standar etika publik masyarakat Jawa pada umumnya. “Bobot” permaisuri, pasti akan diperhatikan rakyatnya. Syarat ketiga adalah unsur “bebet”, yaitu kemampuan finansial dan kekayaan harta.

KEMAMPUAN KOMPLET : Di mata Dr Purwadi, Gusti Moeng merupakan sosok wanita Mataram yang baru muncul dalam rentang ratusan tahun setelah Ratu Kalinyamat. Walau terlahir bukan dari garwa prameswari, tetapi dia memiliki segala kemampuan yang nyaris komplet sebagai seorang pemimpin. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Melihat unsur-unsur yang menjadi syarat hadirnya seorang “garwa prameswari” yang sangat menentukan sukses seorang Raja menghasilkan karya-karya besar, tentu unsur “bebet”-nya. Hampir semua Raja terutama yang punya karya proyek pemindahan dan pembangunan Ibu Kota, rata-rata karena unsur ketiga itu bisa terpenuhi.

Tetapi unsur “bibit” juga sangat penting, secara genetika bisa menentukan kualitas keturunannya. Karena dari rahim permaisuri, sangat diharapkan lahir seorang putra mahkota, calon pemimpin (raja) penerus dinasti. Unsur “bobot” akan sama pentingnya bagi Raja, baik sebagai pendamping maupun kualitas genetik hasil perkawinannya.

Maka, dari Panembahan Senapati hingga raja-raja Mataram Surakarta, kebutuhan mendasar dari ketiga unsur itu benar-benar bisa terpenuhi. Kkhusus untuk Sinuhun PB XII, menjadi perkecualian karena tidak punya prameswari. Sinuhun PB XIII menjadi anomali, karena pendampingnya sejak datang tanpa berbekal semua unsur itu. (Won Poerwono-bersambung/i1).