Prasasti “Sela Gilanglipuro”, Tempat Panembahan Senapati Menerima “Wahyu Mataram” (seri 4 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 2, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Prasasti “Sela Gilanglipuro”, Tempat Panembahan Senapati Menerima “Wahyu Mataram” (seri 4 – bersambung)
GARIS IBU : Mungkin karena punya naluri sebagai wanita, sejak Gusti Moeng memimpin "Bebadan Kabinet 2004" selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA, dalam safarinya "Tour de Makam", banyak menemukan para leluhur Dinasti Mataram dari garis ibunya (wanita). Karena, ternyata penting sekali perannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kini Waktunya Menjelaskan Realitas Kebutuhan Fisik, Dalam Makna Sudut Pandang “Tata Lahir”

IMNEWS.ID – PRODUK pendidikan tradisional selama beratus-ratus tahun di masa lalu, secara umum kualitas hasilnya tidak kalah dibanding produk pendidikan yang sudah terlembaga, tersistem, terprogram, terformat dalam model dan segalanya yang diatur rumit dan rinci di zaman modern. Masing-masing tetap punya keunggulan dan kekurangannya.

Ketika dibutuhkan untuk memahami produk budaya sejarah peradaban masa lalu, sebenarnya bidang keilmuan, kemampuan intelektual dan teknologi modern bisa memudahkan manusia untuk mewujudkannya. Tetapi yang terjadi justru terkesan semakin sulit, semakin tidak mengenal, bahkan diposisikan sebagai sesuatu yang mengganggu dan harus “dimusnakan”.

Ada sesuatu yang hilang ketika profil pendidikan tradisional berubah menjadi pendidikan modern. Akibatnya baru terasa saat pelestarian budaya, sejarah dan peradaban masa lalu membutuhkan modal sesuatu itu. Karena ternyata, banyak produk nilai yang masih dibutuhkan, karena bermanfaat bagi masyarakat masa kini, bahkan jauh ke depan.

BUKAN KRATON : Kompleks situs “Sela Gilangkipuro” di Desa Gilanghajro, Kecamatan Pandak, Bantul, tempat Gusti Moeng sesorah, Rabu (24/4) itu hanya prasasti. Tetapi, Panembahan Senapati yang pernah menerima “Wahyu Mataram” di situ, mampu membangun kraton dan dinastnya dengan modal dari sang istri. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam analisis iMNews.id, sesuatu yang hilang dari produk pendidikan tradisional yang berubah serba modern itu, adalah ketekunan yang berkait dengan proses, kepekaan sosial dan visioner yang berkait dengan standar etika publik dan nilai-nilai kepantasan, serta berbagai ketrampilan yang tidak bisa terwadahi dalam pendidikan formal modern.

Pergeseran dan hilangnya beberapa hal dari model pendidikan tradisional ke modern itu, juga terpengaruh oleh karena visi dan misi politik serta masuknya anasir-anasir kontra-produktif ke Tanah Air. Berbagai budaya asing yang membawa semua anasir buruk itu, masuk tanpa filter sejak rezim Orde Baru jatuh di tahun 1998.

Perpaduan antara beberapa variabel itu, benar-benar merugikan upaya Kraton Mataram Surakarta dan segenap elemennya yang dipimpin “Bebadan Kabinet 2004”, Lembaga Dewan Adat dan pengurus Pakasa Punjer, yang hendak memenuhi kebutuhan bersama warga peradaban secara luas. Yaitu kebutuhan nilai-nilai yang memandu dan merawat peradaban.

MAKAM KI PENJAWI : Ki Ageng Penjawi atau mertua Panembahan Senapati, mendapat hadiah wilayah luas di kawasan (eks Karesiden) “Pathi”, (kini) Kabupaten Pati, dari Raja Kraton Pajang, Sultan Hadiwijaya. Kini, makam leluhur Dinasti Mataram itu masih tersisa di Kampung Kebonagung, Kelurahan Pati Lor, Kecamatan Kota. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kebutuhan nilai-nilai pemandu sebagai modal utama merawat peradaban itu, tidak terbatas hanya dilakukan di wilayah sebaran budaya Jawa, tetapi lebih luas lagi. Karena ada instrumen FKIKN yang mempercayakan Gusti Moeng selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen), juga DPP MAKN yang dipimpin KPH Edy Wirabhumi selaku ketua umumnya.

Sesuatu yang hilang di atas, perlu dijadikan pegangan untuk ditularkan di kalangan lembaga masyarakat adat kraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir-adat yang menjadi anggota FKIKN dan MAKN. Karena, bangsa dan negara ini masih butuh stabilitas nasional, yang harus menjaga tegaknya NKRI, Pancasila, UUD 45 dan ciri kebhinekaannya

Untuk itu, Dr Purwadi (iMNews.id, 1/5) yang mengajak membalik stigma dan struktur penalaran publik secara gradual untuk menempatkan semua bentuk peninggalan sejarah dari yang semula serba negatif, klenik dan “semua dianggap “serba warisan/berbau penjajah” yang pantas dimusnakan, menjadi mutlak, perlu dan urgen dilakukan siapa saja.

KETURUNAN PANEMBAHAN : Pangeran Puger yang makamnya berada di Desa Demaan, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, adalah salah seorang putra Panembahan Senapati yang notabene pendiri Dinasti Mataram. Masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, termasuk warga Pakasa Cabang Kudus wajib memuliakannya, walau tinggal makamnya saja. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Melalui karya-karya penulisan manual dan digital serta bentuk-bentuk “public speaking” lainnya, perlu didesain untuk menempatkan logika yang senyata mungkin dalam melakukan pendekatan sejarah masa lalu. Untuk itu sangat diperlukan “contents public speaking” yang beragam/kaya dari realitas kehidupan sesuai kewajarannya.

“Kita realistis saja, walau pada zaman kraton-kraton dulu banyak orang sakti dan linuwih dalam olah rasa dan kanuragan, tetapi untuk mewujudkan bangunan infrastruktur Ibu Kota kraton atau negara pada saat itu, pasti dibutuhkan modal uang, peralatan konstruksi, industri, kayu jati, SDM berketrampilan dan sebagainya”.

Oleh sebab itu, Panembahan Senapati yang mendirikan Dinasti Mataram dengan membangun kerajaan/negara yang berIbu Kota di Kutha Gedhe dan jumeneng nata sebagai Raja-1 Kraton Mataram (1575-1601), jelas sangat membutuhkan modal
sangat besar. Maka, menjadi masuk akal kalau Kanjeng Ratu Waskitha Jawai, menjadi “garwa prameswari”-nya.

KETOKOHANNYA DIPERLUKAN : Putra mahkota KGPH Hangabehi kini semakin diperlukan ketokohannya sebagai calon pemimpin pelestarian budaya Jawa dan Kraton Mataram Surakarta. Tokoh intelektual berkepribadian seperti Dr Purwadi, juga diperlukan ketokohannya dalam mendukung proses kerja adat untuk budaya Jawa dan kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Ratu Waskitha Jawi adalah putri Ki Ageng Penjawi, adalah keluarga pengusaha minyak tanah (Blok Cepu), mebel, kayu jati dan sukses mengelola pelabuhan Tanjung Emas (Semarang), Tanjung Perak (Surabaya) dan Tanjung Kodok (Jatim). Waktu muda, beliau ikut Ratu Kalinyamat istri Pangeran Hadlirin, keluarga pengusaha yang juga sukses”.

“Di sinilah letak logikanya, unsur materi yaitu modal uang dan segala yang diperlukan untuk membangun negara, termasuk insfrastruktur Ibu Kota, itu harus ada dan mutlak. Inilah yang dalam pertimbangan perkawinan dalam adat Jawa, disebut ‘bebet’ (kekayaan), selain ‘bobot’ (kepribadian) dan ‘bibit’ (keturunan)”, tunjuk Dr Purwadi.

Ketua Lokantara Pusat di Jogja ini mengakui, selema ini pengungkapan sejarah karaton-kraton di Jawa hanya menonjolkan tokoh laki-laki (Raja), kesaktian dan unsur “tata batin” yang malah disimpangkan menjadi serba “klenik”. Padahal, ada tokoh dari garis ibu (wanita) yang justru sangat penting, karena peran “bebet”nya. (Won Poerwono-bersambung/i1).