Agar Dapat Lestari Sepanjang Masa, Karena Kraton Sudah Jarang Melakukan
IMNEWS.ID – SALAH satu alasan “raja” Kraton Mataram Surakarta Sinuhun Paku Buwana (PB) XII mengizinkan empat jenis tata busana dan rias pengantin milik keluarga kerajaan kepada masyarakat luas, ternyata karena di kraton sendiri upacara adat perkawinan dengan beberapa persyaratan khusus bagi pengantinnya itu sudah jarang dilakukan. Mengapan beberapa ragam tata busana dan rias itu sudah jarang dilakukan di dalam kraton?, alasan utamanya adalah karena Sinuhun PB XII sudah tidak pernah “mantu” setelah ke-35 putra/putrinya menikah, dan Sinuhun penerusnya tidak memiliki anak sebanyak para pendahulunya.
Empat jenis gaya tata busana dan “paes” (rias) “gagrag Surakarta” yang dulu hanya diizinkan dilakukan di lingkungan keluarga raja atau hanya untuk putra/putri raja pada saat menjalani upacara adat perkawinan, adalah pengantin “kampuhan” atau “dodotan”, penganti kebaya-takwa atau pengantin “kepangeranan”, pengantin kebaya “sikepan cekak” atau pengantin “kasatriyan” dan pengantin “Langenharjan”. Empat jenis gaya tata busana dan paes ini, di zaman Sinuhun PB IX (1861-1893) hampir setiap tahun dilakukan di kraton, karena Sinuhun punya anak 58 orang.
“Apalagi Sinuhun PB X, hampir tiap tahun mantu. Karena putra/putri beliau ada 64 orang. Kalau Sinuhun PB XI hanya punya 11 putra/putri dan PB XII punya 35 putra/putri. Karena punya putra/putri banyak, secara tidak langsung adat tradisi melakukan upacara adat perkawinan menjadi sering. Bahkan rutin dalam jarak waktu yang tidak lama, dan bisa berlangsung lama jika putra/putrinya sebanyak yang dimiliki Sinuhun ingkang minulya lan ingkang wicaksana itu. Adat tradisi yang dilakukan rutin dalam waktu yang lama, tentu akan menjadi memori kolektif yang sulit hilang. Tetapi karena penerusnya seperti yang sekarang hanya punya beberapa putra/putri, maka jarang melakukan adat dan tradisi itu,” beber RM Restu Setiawan, Ketua Pasinaon Tata Busana – Paes Pengantin Jawa Kraton Mataram Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

Memang benar penjelasan Ketua Pasinaon Tata Busana – Paes Pengantin Jawa Kraton Mataram Surakarta itu, karena dalam soal kepemilikan adat tradisi upacara perkawinan yang khas Jawa gagrag Surakarta yang berasal dari lingkungan keluarga keraton, menjadi tidak sering dilakukan karena memang sudah tidak ada yang wajib dijadikan pengantin atau mantu. Padahal sebuah kebiasan yang sudah sampai menjadi adat dan mentradisi, jika tidak sering bahkan pernah dilakukan, lama-lama akan hilang dari memori publik, dan pelan-pelan akan hilang sama sekali dari kehidupan warga peradaban.
Melihat konteksnya adalah tatacara upacara adat perkawinan khas Jawa gagrag Surakarta, tetapi tidak hanya terbatas pada masalah itu potensi ancaman hilangnya memori publik dari segala macam produk peradaban yang pernah dimiliki sebagai panduan dalam kehidupannya. Banyak nilai-nilai luhur lainnya akan hilang dalam waktu cepat atau lambat, ketika warga peradaban sudah tidak mau mengenal, memahami dan melakukannya secara rutin dalam kehidupannya. Termasuk, bahasa percakapan atau bahasa ibu yaitu Bahasa Jawa dengan begitu banyak kekayaan istilahnya, begitu juga hal-hal lain yang sebelumnya menjadi bagian dari kebutuhan dalam kehidupannya sebagai warga peradaban.
“Seperti yang menjalani ujian paes dan tata busana kemarin itu, ada yang sama sekali tidak paham Bahasa Jawa. Mungkin lahir dan besar di luar Jawa. Saya sarankan agar sekalian belajar bahasa Jawa. Dari sedikit enggak apa-apa. Karena, ketrampilan yang ditekuni itu semua menggunakan istilah/bahasa Jawa. Kalau nanti sudah praktik menjalankan profesi juru paes atau rias, pasti juga menggunakan bahasa Jawa. Tetapi saya salut dan mengakui semangat mereka. Dari 14 siswa pasinaon, ada 10 yang berangkat dari nol, sama sekali tidak tahu tentang paes dan tata busana Jawa. Mereka ini bersungguh-sungguh belajar. Mereka adalah bagian yang akan menjaga kelestarian budaya Jawa,” tunjuk Gusti Moeng selaku Ketua Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta, induk Pasinaon Tata Busana – Paes Pengantin Jawa Kraton Mataram Surakarta.

Ditemui iMNews.id saat melakukan wawancara kepada 12 siswa yang mengikuti ujian atau pendadaran tata busana dan paes pengantin Jawa gagrag Surakarta hari kedua, Minggu siang (26/6), ketua yayasan yang sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Mataram Surakarta dengan nama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu membenarkan bahwa ada 4 jenis tata busana dan paes dari lingkungan keluarga yang diizinkan Sinuhun PB XII dimiliki masyarakat luas. Tujuan dari sikap mulia Sinuhun itu, agar bagian dari produk peradaban Jawa ini tetap lestari sampai akhir zaman kalau menjadi milik masyarakat secara luas, dan selalu dilakukan dalam kehidupannya.
Sekilas, ketika mencermati bagaimana adat tradisi 4 jenis tata busana dan paes atau mungkin lebih banyak lagi yang bercirikhas gagrag Surakarta yang masih sering dilakukan di dalam lingkungan kraton lalu melahirkan kesimpulan dengan memiliki banyak anak, adat tradisi yang dimiliki bisa lestari. Rasanya kesimpulan ini kurang tepat, karena titik sentral upaya pelestarian tidak tergantung dari banyak atau sedikitnya anak, tetapi cara pemahaman yang tepat dan melakukannya dengan proses adaptasi yang bijak, sekalipun sudah diizinkan oleh Sinuhun PB XII untuk dimiliki publik secara luas.
“Bagaimanapun, masyarakat Jawa yang tersebar di mana-mana sampai ke luar negeri, sangat menginginkan bisa mewujudkan menggelar pesta perkawinan dengan adat tradisi semegah itu. Tidak salah kalau masyarakat terutama generasi mudanya, bercita-cita menjadi pengantin dengan rias dan tata busana seperti yang ada di kraton. Karena masyarakat sampai sekarang punya persepsi, apa saja yang dari kraton dan budaya Jawa, punya nilai estetika dan etika tinggi. Mereka ingin menjadi raja dan ratu semalam. Itu bagus, karena meneladani yang bagus. Itu bagian dari pelestarian budaya Jawa. Karena tujuannya memang itu,” tunjuk RM Restu Setiawan yang juga anggota Komunitas Societeit Surakarta itu.

Di saat menyampaikan penilaiannya terhadap karya para peserta pendadaran, Gusti Moeng sempat menyinggung bagian esensial dari didirikannya lembaga Pasinaon Tata Busana – Paes Pengantin Jawa Kraton Mataram Surakarta ini, yaitu upaya pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari kraton. Karena, belakangan ini ancaman potensi anasir intoleransi yang datang dari luar, semakin serius dan gejalanya ke arah memecah-belah persatuan, kebhinekaan dan keutuhan NKRI, bahkan ingin menghapus nilai-nilai kearifan lokal yang berasal dari ketahanan budaya.
Salah satu tantangan yang dihadapi lembaga pendidikan non formal ini, kini sudah berada di depan mata. Tetapi semangat untuk terus menggali nilai-nilai luhur peninggalan peradaban, seperti yang dilakukan para siswa angkatan I Pasinaon Tata Busana – Paes Pengantin Jawa Kraton Mataram Surakarta itu, harus dilihat para pemangku kebijakan dan pemerintah secara keseluruhan. Masih banyak elemen-elemen bagian masyarakat adat Mataram Surakarta yang bisa diajak bekerja-sama untuk menghadapi segala potensi yang akan merusak kebhinekaan, ideologi Pancasila, UUD 45 dan keutuhan NKRI.
Merapatnya paguyuban Pasinaon Pambiwara Jawa yang berisikan profesi pranatacara atau MC Jawa (pambiwara), perias dan jaringannya yang sudah meluas secara nasional masuk ke dalam elemen LDA Kraton Mataram Surakarta (iMNews.id, 26/6), perlu diakomodasi sebagai tambahan kekuatan kebersamaan dalam menghadapi potensi ancaman anasir radikalisme dan intoleransi yang sudah banyak dikeluhkan para pimpinan daerah dan petinggi negara. Karena benar kata KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua MAKN, cinta budaya berarti mencintai NKRI. Dan menurut pemerhati budaya Jawa/kraton KRAT Hendri Rosyad Reksodiningrat, syi’ar budaya adalah senjata paling soft untuk menghadapi ancaman radikalisme dan intoleransi. (Won Poerwono-i1)