Cara Pandang “Tata Batin” Adalah Makna Filosofi, Bukan Makna dan Asumsi yang Serba Klenik
IMNEWS.ID – BAGIAN dari sesorah Gusti Moeng yang menyatakan agar warga peradaban tidak hanya melihat kraton secara “tata lahir” atau wujud fisiknya, tetapi perlu juga memahami secara “tata batin” atau wujud nonfisik, sungguh merupakan bentuk ajakan agar siapa saja menjadi arif dan bijaksana melihat kraton-kraton yang pernah ada di Jawa.
Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat itu mengajak warga peradaban secara luas kapanpun dan sampai kapanpun, ketika melihat kraton jangan dari sisi wujud bangunan fisik yang tampak dan masih bertahan sampai sekarang. Maknanya, siapa saja yang melihat jangan sampai terjebak pada wujud benda secara parsial terpisah.
Namun, harus dilihat dan dipahami sebagai satu-kesatuan sebuah struktur bangunan yang satu-sama lain punya kaitan makna filosofi secara utuh dan lengkap. Misalnya struktur bangunan Kraton Mataram Surakarta yang batas fisiknya dari pintu masuk Gladag, berlanjut ke Alun-alun Lor, Pendapa Pagelaran, Sitinggil Lor dan seterusnya.
“Semua bagian sejak dari Gladag ada makna filosofinya, yang satu sama lain berkaitan sebagai urutan. Karena struktur bangunan itu melukiskan perjalanan hidup manusia, mulai dari kandungan, lahir, dewasa, menjalani kehidupan hingga persiapan diri menghadapi kematian yang simbolnya Alun-alun Kidul”.
“Jadi, kalau memahami kraton hanya sebatas wujud bangunannya saja, apalagi hanya dilihat sebagian saja, pasti akan melahirkan anggapan yang keliru. Itu yang disebut melihat kraton dari ‘tata batin’, dalam konteks kehidupan. Kalau dipandang dalam makna lain, salah besar. Semua bisa dianggap klenik, musyrik dan syirik,” tandas KP Budayaningrat.
“Dwija” (guru) pada Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta itu, dalam beberapa kali percakapan dengan iMNews.id banyak mengungkapkan bahwa generasi masyarakat yang sudah jauh dari era legitimasi yang mengarah pada era delegitimasi sekarang ini, karena tidak mendapatkan informasi dan ruang edukasi yang cukup.
Baik Gusti Moeng (iMNews.id, 30/4) maupun KP Budayaningrat hendak menunjukkan konsep struktur bangunan kraton dari Gladag hingga Gading itu, punya makna filosofi teologis seperti sabda bijak Sinuhun PB X “Kraton … Haywa kongsi dinulu wewangunan kewala. Nanging sira sumurupana marang wewarah kang sinandi, dimen tinuntun wajibing urip…”.
Dari pernyataan-pernyataan itu, ketika dianalisis ternyata ada kegagalan masyarakat dalam menangkap dan memahaminya. Cara pandang dengan ‘tata batin’ yang dilihat dan didengarnya, sangat mungkin diasumsikan dalam konteks yang salah, yang dianggap sebagai perilaku kultus yang berkategori musyrik, syirik dan bit’ah.
Dari sisi yang salah inilah, sangat mungkin yang terjadi di kalangan masyarakat selama ini. Atau setidaknya sejak Kraton Mataram Surakarta tidak mampu menghadapi “kesengajaan menyimpangkan”, karena segala kedaulatannya lenyap “dirampas”. Pemahaman dalam konteks yang salah itu, patut diduga sengaja dibangun di berbagai lini kehidupan.
Karena masyarakat luas terutama generasi yang lahir menjelang dan sejak milenium berganti sudah memiliki anggapan umum yang keliru terhadap kraton-kraton di Jawa, terutama Kraton Mataram Surakarta, bahkan kraton-kraton di Nusantara, tidak aneh kalau memori kolektif yang terus terbangun adalah ketidakpercayaan terhadap adanya kraton.
Pemahaman umum yang bersifat delegitimatif seperti inilah, yang menurut Dr Purwadi perlu dikikis sedikit demi sedikit. Menurut peneliti sejarah yang juga Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) Pusat di Jogja ini, cara-cara dan konsep komunikasi publik atau “content public speaking”-nya yang harus mulai dirubah.
Melalui caranya, memperoduksi karya tulis berdasar penelitian dan kajian sejarah, baik dalam bentuk verbal manual maupun menggunakan jasa internet, merupakan salah satu cara memperbaiki komunikasi publik dan “content public speaking”. Kalau dulu masyarakat lebih bangga disuguhi karya tulis orang asing, itu harus dihentikan.
“Para penulis asing, tidak mungkin bisa mendapat informasi yang riil tentang objek dan peristiwa sejarah faktual yang ditulis. Karena, mereka tidak memahami tembang Macapat, tidak paham aksara Jawa dan tidak paham bahasa Kawi. Padahal, kebanyakan data dan fakta sejarah, tertulis dengan cara-cara itu”.
“Karena yang menjadi landasan dan pegangan karya tulis bangsa asing (Belanda dsb-Red), orientasi tulisannya tentu berpihak atau dari sudut pandang bangsa asing, terutama yang pernah datang ke Indonesia sejak abad 16. Maka pantas saja, cara pandang itu justru “ditiru” bangsa kita sendiri untuk ikut membenci dan menghancurkan kraton”.
“Itu sangat merugikan kita. Karena, semua dianggap warisan penjajah yang harus dihancurkan dan dimusnakan. Termasuk kraton dan aset-asetnya, dianggap warisan penjajah yang harus dimusnakan. Mosok demikian…? cara pandang dan anggapan ini harus dibalik pelan-pelan. Karena itu salah besar. Menyesatkan,” tunjuk tandas Dr Purwadi. (Won Poerwono-bersambung/i1).