Diisi Gendhing-gendhing Baru Agar Pengunjung Sekaten Tetap di Tempat dan Terhibur
IMNEWS.ID – PEMBANGUNAN kagungan-dalem Masjid Agung menjadi prioritas agar segera jadi dan siap digunakan paling awal di antara berbagai sarana infrastruktur, bisa dipahami sebagai kebijaksanaan Sinuhun PB II yang hanya 4 tahun menikmati tahta di “nagari” Mataram Surakarta (1745-1749) dan Sinuhun PB III (1749-1788).
Kebijaksanaan dua pemimpin Mataram Surakarta itu juga bisa diartikan sebagai kepedulian untuk mendahulukan kepentingan umum atau orang banyak, dibanding memenuhi kepentingan pribadi dan keluarganya. Karena, dengan didahulukan bangunan Masjid Agung, berarti kebutuhan tempat ibadah orang banyak jadi prioritas pelayanan.
Dengan berfungsinya kagungan-dalem Masjid Agung paling awal, itu berarti segala bentuk kegiatan upacara adat yang berkait dengan syi’ar Islam sesuai nama besar Mataram Islam, juga bisa dilakukan paling awal. Dan itu berarti, berbagai kegiatan upacara adat untuk memeriahkan hari besar Islam, bisa secepatnya dilakukan.

Beberapa peristiwa dalam proses pindahnya Ibu Kota dan pemerintahan “nagari” Mataram yang diinisiasi Sinuhun PB II dari Kartasura ke Surakarta, bisa dianalisis bahwa sampai Sinuhun PB III tampil meneruskan tahta ayahandanya, masa-masa pembangunan sarana infrastruktur “Ibu Kota Negara” (IKN) sedang berjalan.
Bahkan, analisis berbagai peristiwa yang muncul pada terhadap perkembangan berikut ketika Sinuhun PB IV (1788-1820) menggantikan tahta ayahandanya Sinuhun PB III, juga sangat kuat menunjukkan bahwa “negara” sangat peduli terhadap kebutuhan sarana kegiatan keagamaan seluruh rakyatnya.
Pada giliran berikutnya bisa dianalisis, bahwa sejak Sinuhun PB IV, kagungan-dalem Masjid Agung bisa dimanfaatkan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat seluas-luasnya, terutama kepentingan kegiatan peribadatan.
Dalam posisi seperti itu, penyelenggaran ritual Sekaten Garebeg Mulud tentu bisa digelar secara maksimal.

Karena Sekaten Garebeg Mulud bisa dilaksanakan secara maksimal, berarti gendhing “Rambu” dan “Rangkung” mulai berkumandang dari di kagungan-dalem Masjid Agung sebagai pusat kegiatan menyambut hari besar Maulud Nabi Muhammad SAW. Keramaian pasar malam Sekaten, adalah aspek memberi kemakmuran rakyat seluas-luasnya.
Sampai pada posisi seperti itu, seorang Sinuhun PB IV masih bisa mendedikasikan kepemimpinannya untuk membuat Kraton Mataram Surakarta menjadi semakin besar, agung dan “kuncara”. Selain melengkapi wayang KK Jayengkatong yang dibawa kakeknya (Sinuhun PB II) dari Kartasura, juga punya karya-karya besar lain.
Selain wayang KK (Kangjeng Kiai) Kadung dan satu kotak wayang pusaka level 1, Sinuhun PB IV juga telah membukukan karya-karya besar di bidang karawitan yaitu sebanyak 8 gendhing. Kedelapan gendhing itu menjadi karya yang secara khusus disuguhkan saat ritual Sekaten Garebeg Mulud digelar di Masjid Agung.

Kedelapan gendhing “Bonangan” itu adalah, Gendhing Bremara, Gendhing Babarlayar, Gendhing Pangrawit, Gendhing Jalaga, Gendhing Gondrong, Gendhing Majemuk, Gendhing Klenthung dan Gendhing Salebrak. Semua gendhing “Bonangan” ini mengambil “kunci nada” Laras Pelog 5.
“Ini sebenarnya karya putra mahkota (GRM Soegandi) saat masih menjadi Pangeran Adipati Anom, atau sebelum menggantikan tahta ayahandanya sebagai Sinuhun PB V. Karena dibuat pada masa Sinuhun PB IV jumeneng, maka karya itu bisa disebut karya PB IV. Ini jelas luar biasa.”
“Jadi, cukup banyak karya gendhing pada zaman Sinuhun PB IV yang diproduksi oleh putranya, calon Sinuhun PB V. Karya-karya itu diproduksi oleh kalangan abdi-dalem atas permintaan (perintah-Red) Pangeran Adipati Anom. Beliau menunggui setiap latihannya, sampai disajikan di arena Sekaten,” ujar KPP Nanang kepada iMNews.id.

Sentana-dalem “sutresna budaya” yang punya nama lengkap KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro, saat dimintai konfirmasi pagi tadi menuturkan data yang didapat dari buku berjudul “Sunan Sugih”. Dari buku yang mengisahkan sejarah Sinuhun PB V itu, juga tertulis kisah sejak masih bergelar Pangeran Adipati Anom.
Di antaranya, dikisahkan proses produksi “gendhing-gendhing Bonangan” sampai berjumlah 8 buah itu. Awalnya, ada laporan yang diterima “Raja” Mataram Surakarta itu, bahwa di arena Sekaten tidak hanya diperdengarkan gendhing “Rambu” dan “Rangkung”. Melainkan ada juga sajian Gendhing-gendhing tambahan yang bukan baku.
Akhirnya, Sinuhun benar-benar mendapatkan bukti dari fakta yang menyebutkan, bahwa sajian “Gendhing-gendhing Bonangan” itu justru atas permintaan/perintah Pangeran Adipati Anom. Putra mahkota ini selalu menunggui saat gamelan Sekaten ditabuh, terutama saat disajikan di antara 8 Gendhing-gendhing tambahan secara bergantian.

“Gendhing-gendhing ‘Bonangan’ atau gendhing tambahan itu, disajikan agar para pengunjung Sekaten tidak jenuh dan nglangut tetapi betah di tempat, menikmati dan terhibur. Karena, ada jeda lama setelah gendhing Rambu disajikan gamelan Kiai Guntur Sari dan gamelan Kiai Guntur Madu selesai mengajikan gendhing Rangkung”.
“Sebelum ada ‘gendhing-gendhing bonangan’, setelah masing-masing gamelan menyajikan satu gendhing baku, berhenti lumayan lama, sampai disajikan lagi gendhing baku itu. Jarak jedanya, bisa berjam-jam di antara periode waktu gamelan Sekaten ditabuh. Maka, diisi gendhing-gendhing bonangan,” ujar KPP Nanang.
KPP Nanang kembali tidak mempersoalkan banyaknya produk konten YouTube yang isinya mengambil karya-karya Sinuhun PB IV tanpa ada penyebutan nama figur/lembaga penciptanya. Tetapi pecinta berat seni karawitan khususnya gendhing-gendhing karya leluhur itu, mengaku banyak mengikuti perkembangan produk konten seni.

Di temat terpisah, Dr Joko Daryanto, dosen yang juga abdi-dalem karawitan Kantor Pengageng Mandra Budaya membenarkan bahwa sejak teknologi internat berkembang, marak sekali krator konten YouTube yang menayangkan gending-gending Jawa, yang di antaranya karya Sinuhun PB IV, tetapi tidak menyebutkan penciptanya.
Dia juga menyatakan setuju ketika sikap tidak fair atau culas banyak melatar-belakangi para konten kreator YouTube yang mengadopsi karya-karya gendhing Jawa, karena digunakan untuk mencari uang atau untuk kepentingan pribadi. Walau tidak ada hak ciptanya, tetapi harus punya etika menyebut siapa penciptanya.
Dari praktik-praktik semacam itu, di satu sisi perkembangan teknologi memang bisa membuat satu beruntung, tetapi bisa merugikan pihak lain, terutama karena tidak mendapatkan rasa keadilan tidak. Nasib gendhing-gendhing Jawa, nyaris sama dengan nasib produk motif batik yang membuat lembaganya tak berkutik. (Won Poerwono-habis/i1).