Karena Kondisi Luar Biasa, Sesuatu yang “Wajib” Bisa Berubah (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:June 28, 2021
  • Post category:Budaya
  • Post comments:0 Comments
  • Reading time:7 mins read

Diizikan Keluar, Agar Jadi Tontonan Sekaligus Tuntunan

IMNEWS.ID – DALAM catatan KRRA Budayaningrat, kira-kira di tahun 1950-an tatacara upacara adat perkawinan gaya Surakarta dan gaya Jogja mulai berkembang di luar keraton dan mulai dilakukan publik secara luas. Di tahun-tahun itulah Sinuhun Paku Buwono (PB) XII disebutkan telah memberi izin dengan istilah ”gelak kanca”, yang dimaksudkan agar pengetahuan tentang tatacara upacara adat perkawinan bisa digunakan masyarakat luas.

Maka, sejak tahun-tahun itu banyak di antara masyarakat etnik Jawa terutama, yang mulai menggelar tatacara upacara adat perkawinan mirip yang dilakukan di dalam keluarga Keraton Mataram Surakarta, dan disebut tatacara upacara adat perkawinan gaya Surakarta. Seperti gayung-berambut, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX-pun mengizinkan tatacara upacara adat perkawinan di dalam keraton, digunakan masyarakat luas yang seterusnya disebut gaya Ngayogyakarta atau Jogja.

Bagi Jogja, mungkin juga memiliki banyak pertimbangan sebagai alasan mengapa tatacara upacara adat perkawinan di dalam boleh digunakan di luar keraton. Tetapi satu hal yang pasti, karena sangat dimungkinkan mengikuti gaya Surakarta yang sudah lebih dulu muncul di kalangan publik secara luas. Selain itu, menjadi keniscayaan pula, di alam republik yang mulai bertiup angin kebebasan, banyak warga yang memiliki kemampuan ekonomi kuat, bisa membiayai tatacara upacara adat perkawinan seperti di keraton,  yang bisa mendatangkan kebanggaan dan kepuasan tersendiri.

Alasan dan latarbelakang berkembangnya tatacara upacara adat perkawinan gaya Surakarta, kira-kira juga seperti itu (iMNews.id, 26/6), apalagi awal berkembangnya tatacara upacara adat perkawinan di tengah masyarakat, lebih dulu dilakukan gaya Surakarta justru atas keinginan Sinuhun PB XII. Tetapi ada satu alasan lagi bagi Keraton Mataram Surakarta mengizinkan tatacara upacara adat perkawinan diadopsi publik secara luas. Dengan cara itulah bagian dari peradaban Jawa bisa lestari dalam waktu yang sangat panjang, karena telah menjadi milik warga peradaban secara luas.

”Tetapi, perkembangan yang sangat pesat terjadi selama tahun 60 hingga 70-an. Selama dua puluh tahun itu, pengetahuan tentang tatacara upacara adat perkawinan gaya Surakarta khususnya, berkembang sangat pesat. Kebetulan, pemerintah sedang memberlakukan program pembangunan jati diri bangsa. Jadi, seakan-akan penyebarluasannya dibantu pemerintah dan banyak yang dijadikan pedoman secara nasional”.

”Apalagi, pemerintah juga gencar melaksanakan program transmigrasi ke semua penjuru Nusantara, terutama di Sumatera. Di Jakarta, banyak pejabat dan orang kaya menggelar hajad perkawinan menggunakan tatacara upacara adat gaya Surakarta dan Jogja,” jelas Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa se-Jawa Tengah itu, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

SENI PERTUNJUKAN : Hadirnya suguhan seni tari-tarian seperti tari Srimpi Ludira Madu yang digelar di ajang seminar Tatacara Upacara Adat Perkawinan di Keraton Mataram Surakarta yang berlangsung di Restoran Orient, belum lama ini, kini diadopsi publik secara luas sebagai salah satu seni pertunjukan dalam mengorganisasi hajad resepsi adat perkawinan gaya Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Merasa Wajib Melestarikan

Mencermati catatan KRRA Budayaningrat perihal kearifan Sinuhun PB XII (dan juga Sultan HB IX) dalam upaya pelestarian sebagian budaya Jawa atau salah satu produk peradaban itu, memang di satu sisi bisa dipersepsikan sebagai sebuah strategi menjaga eksistensi. Tetapi di sisi lain, bisa juga sebagai bentuk kesadaran dan kemampuan untuk menjaga ketahanan (eksistensi) dari perubahan sosial, politik, budaya dan sebagainya yang terbawa saat ”negara” Mataram Surakarta sudah berakhir dan harus menyesuaikan diri terhadap perubahan, walau tinggal ”sak megaring payung”.

Khusus bagi Surakarta, merelakan berbagai hal yang diperlukan bagi sebuah kehidupan warga peradaban Jawa, justru merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan. Sebab, institusi ”negara” Mataram Surakarta sudah tidak bisa lagi menjamin eksistensi dan kelangsungan peradaban, walau hanya dalam bentuk tatacara upacara adat perkawinan (gaya Surakarta) sekalipun.

Dengan kearifan Sinuhun PB XII (dan juga Sultan HB IX) mengizinkan pengetahuan tatacara upacara adat perkawinan gaya keraton yang sudah diadaptasi di luar keraton, itu juga berati berarti sebuah peluang bagi publik secara luas khususnya masyarakat adat dan warga peradaban untuk (merasa) memiliki. Dengan begitu, warga peradaban inilah yang akan merasa memiliki dan tentu saja menyadari sepenuhnya konsekuensi untuk tetap menjaga dan melestarikan produk-produk peradaban itu.

Keraton Mataram Surakarta yang sudah tidak lagi menjadi ”negara”, mengingat sejak 17 Agustus 1945 sudah tidak lagi berdaulat, justru bisa berbagi tugas, tanggungjawab dan kewajiban dalam menjaga eksistensi dan kelangsungan peradaban Jawa tersebut. Karena bentuk-bentuk produk peradaban yang bisa diadaptasi publik secara luas, akan lebih terjamin kelestariannya jika dimiliki warga peradaban (Jawa) secara luas.

”Karena itu, keraton cukup sebagai pengayom sekaligus tetap menjaga posisinya sebagai sumber dan pusat peradaban (Jawa) saja. Tinggal hubungan baik antara masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta dengan warga peradaban secara luas, yang perlu terus dijaga secara harmonis. Karena, senyatanya kita sama-sama memerlukan, sama-sama merasa nyaman
sebagai warga peradaban dan sama-sama memiliki tugas, tanggungjawab dan kewajiban untuk menjaga eksistensi dan kelangsungannya,” ujar GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Mataram Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id di tempat terpisah, beberapa waktu lalu.

MULTI TAFSIR : KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito yang hadir pada tatacara upacara adat perkawinan salah seorang putri Sri Sultan HB X pada tahun 2011 lalu, merupakan salah satu contoh berlangsungnya sebuah pesta/resepsi/hajad perkawinan yang kebetulan terjadi di Keraton Jogja, telah menjadi ajang multi fungsi sekaligus melahirkan multitafsir. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ajang Dialog Politik

Dalam catatan KRRA Budayaningrat, produk peradaban Mataram dan Jawa yang tadinya hanya berlaku di dalam keraton, ketika diizinkan (Sinuhun PB XII) diadaptasi menjadi tatacara upacara adat perkawinan gaya Surakarta  (di luar keraton-Red), dimaksudkan agar bentuk tatacara adat/tradisi itu bisa menjadi tontonan sekaligus tuntunan. Dalam perkembangannya, tatacara upacara adat perkawinan gaya Surakarta, misalnya, semakin berkembang benar-benar menjadi tontonan atau hiburan di satu sisi, tetapi sekaligus juga bisa menjadi tuntunan hidup bagi warga peradaban di sisi lain.

Mengapa demikian? Karena faktanya, sebuah hajad tatacara upacara adat perkawinan yang kini menjadi kemasan resepsi, telah digarap sedemikian rupa hingga padat kreativitas, padat teknologi, padat biaya dan sebagainya seperti sebuah karya seni dengan segala kaidahnya sebagai sebuah pertunjukan seni. Dalam sebuah pesta/resepsi perkawinan di kalangan orang kaya di masa kini, termasuk yang menggunakan gaya Surakarta, tidak ubahnya seperti panggung pertunjukan seni yang glamour dan bergengsi, yang bisa dijadikan ajang dialog keperluan apa saja, misalnya politik, walau tampak simbolik.

Melihat perkembangan di atas, hajad tatacara upacara adat yang dirangkai menjadi kemasan pesta/resepsi perkawinan, jelas menunjukkan suguhan tontonan yang ”full” hiburan. Karena, selain ada musik berbagai genre (Jawa, dangdut, pop), juga disajikan drama kecil bernuansa lawakan atau parodi, yang bisa disajikan mandiri tetapi banyak juga yang dirangkai dengan sajian tari (lagu dan gerak).

”Selain tatacara upacaranya sendiri kalau dilakukan secara lengkap dan urut, akan membentuk rangkaian yang bermakna filosofis berkonten spiritual religius, banyak juga yang menghadirkan acara siraman rohani atau tausyiah atau pesan-pesan moral yang disampaikan secara mandiri oleh seorang rohaniawan atau ustadz. Di sinilah nilai tuntunan itu bisa ditampilkan secara seimbang, arif dan mengedukasi. Saya kira, Sinuhun PB XII memberi izin dengan harapan-harapan ideal itu, kurang-lebih seperti yang berkembang sekarang ini,” ujar KRRA Budayaningrat mengupas di balik kearifan Sinuhun PB XII mengizinkan tatacara upacara adat perkawinan gaya ”keraton” dilakukan di luar keraton. (Won Poerwono-bersambung)

Leave a Reply