Gusti Moeng Pembuka Tabir Peran Wanita di Balik Sukses Para Raja Mataram
IMNEWS.ID – MOMENTUM sarasehan budaya di lokasi kompleks prasasti “Sela Gilanglipuro”, Kabupaten Bantul (DIY), beberapa waktu lalu (iMNews.id, 25/4), menjadi awal untuk membuka cakrawala pandang warga peradaban secara luas. Karena, seorang tokoh wanita Mataram, yaitu Gusti Moeng hadir di sana dan berbicara panjang-lebar soal Mataram.
Prasasti “watu gilang” atau “sela gilang” adalah tempat tokoh Panembahan Senapati menerima “wahyu Mataram”, yang kemudian mendirikan Dinasti mataram, sekaligus menjadi Raja pertama Kraton mataram yang berIbu-Kota di Kutha Gedhe. Dari situ, terkuak peran tokoh wanita, yaitu garwa prameswari, di balik sukses karya besar seorang Raja.
Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA) dihadirkan di forum sarasehan itu sebagai pembicara. Eks anggota DPR-RI dua periode terpisah, yang memiliki sejumlah kapasitas lengkap sebagai seorang pemimpin itu, berani mengungkap tabir tentang Mataram secara blak-blakan di wilayah salah satu pewaris Mataram.

Dari kajian sejarah Dr Purwadi khusus tentang Mataram ada beberapa tokoh fenomenal menarik. Dari sejarah Mataram dan zaman para leluhur Mataram seperti yang tertulis dalam silsilah raja-raja di Jawa sejak Majapahit, baik dari jalur kanan (panengen) dan kiri (pangiwa), Gusti Moeng muncul sebagai tokoh wanita Mataram fenomenal yang kuat.
Ratu Kalinyamat adalah tokoh wanita leluhur Dinasti Mataram yang fenomenal, karena kuat hampir segalanya, dari garis keturunan Brawijaya V, melalui silsilah jalur kanan yaitu Ki Ageng Tarub. Ketokohan pendiri Kabupaten Jepara sekaligus Bupati pertama Jepara ini sukses, karena Pangeran Hadlirin (suaminya) adalah pengusaha kaya-raya.
Tokoh wanita berikut adalah Ratu Wandansari, adik kandung Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645) yang mengenyam pendidikan di berbagai bidang dan menguasai berbagai kesenian tradisional. Keturunan Raja ke-2 Kraton Mataram, Prabu Hanyakrawati (1601-1613) ini, lahir dari garwa prameswari Dyah Ayu Banuwati.

Cucu Pangeran Benawa (Pajang) yang diperistri Bupati Surabaya, Pangeran Pekik itu, berarti menjadi wanita Mataram kuat kedua setelah Ratu Kalinyamat. Karena kaya-raya dengan berbagai jenis/bidang usaha yang dimiliki keluarga, boleh dikatakan Ratu Wandansari menjadi wanita konglomerat yang sukses waktu itu.
Karya-karya besar sang kakak, yaitu Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, banyak dibantu sang adik dan keluarganya dari Kabupaten Surabaya itu. Tokoh wanita kuat Mataram yang fenomenal berikutnya, adalah Kanjeng Ratu Mas Balitar, putri Bupati Madiun bernama Pangeran Timur, pendiri Kabupaten Madiun adalah putra Sultan Trenggana, Raja Demak.
“Ratu Mas Balitar itu mengalami pemerintahan empat raja Mataram. bahkan baru meninggal di usia lebih 100 tahun, pada zaman Sinuhun PB III. Tokoh wanita Mataram itu, kuat segalanya. Beliau menjadi pepunden dan tempat bertanya para Raja Mataram waktu itu, termasuk Adipati (KGPAA) Mangkunagara I atau Pangeran Sambernyawa.

“Di saat KR Mas Balitar masih produktif kuat segalanya, muncullah garwa pramewari KR Emas dan keluarga Bupati Lamongan yaitu Pangeran Purbaya. Dukungan modal kedua tokoh wanita itu, untuk mewujudkan maha karya mega proyek Ibu Kota Mataram di Surakarta Hadiningrat. Jangan lupa, KR Mas Balitar itu juga Pujangga,” tunjuk Dr Purwadi.
Setelah KR Emas, putri Bupati Lamongan itu, baru muncul tokoh wanita Mataram berikut, yaitu KR Handaya dan KR Sakaptinah, yang keduanya adalah putri Bupati Pamekasan (Madura), RT Adipati Tjakra Adiningrat. Karena orangtua kedua garwa prameswari ini sukses sebagai pengusaha yang kaya-raya, Sinuhun PB IV memiliki banyak karya besar.
Sinuhun PB IV selama jumeneng nata (1788-1820), tidak ada mega proyek pindah dan membangun Ibu Kota baru, tetapi banyak mengisi waktu dengan “membangun dan terus membangun” untuk meneruskan hanya meneruskan karya-karya leluhur pendahulunya. Karena ada “semacam jaminan”, Ibu Kota Surakarta sudah diprediksi berusia 200 tahun setelah 1745.

Oleh sebab itu, ketersediaan dana yang besar dari dua permaisuri itu banyak dimanfaatkan untuk mewujudkan karya untuk kebesaran nama Kraton Mataram Surakarta. Misalnya melalui karya-karya sastra, seni pedalangan, seni tari, karawitan, menyempurnakan bangunan Masjid Agung dan mendukung putra mahkota (calon PB V) untuk berkarya.
“Setelah itu, para tokoh wanita di balik Raja, untuk keperluan berkarya. Karena tidak ada peristiwa pindah Ibu Kota dan kegiatan perang. Tetapi, situasi dan kondisi dunia mulai banyak pergolakan dan perubahan. Walaupun, Sinuhun PB X masih bisa menghasilkan pendapatan besar dari sewa tanah dan perusahaan-perusahaan milik kraton”.
“Saya memandang, sejak itu baru muncul Gusti Moeng. Beliau tokoh sekaliber Ratu Kalinyamat, KR Ratu Mas Balitar dan KR Emas garwa Sinuhun PB II. Beliau bukan hanya tokoh nasional, tetapi internasional,” tandas Dr Purwadi. Pengakuan seperti ini, juga muncul di forum sarasehan di situs prasasti “Watu Gilang”, Rabu malam (24/4) itu. (Won Poerwono-habis/i1).