Gunungan dan Gamelan, Komponen Penting Ritual Garebeg Mulud
IMNEWS.ID – KALAU mencermati salah satu esensi diakuinya gamelan Indonesia sebagai warisan dunia (tak benda) oleh Unesco (iMNews.id, 17/9), terletak pada unsur musik etniknya yang bisa dinikmati melalui indera pendengaran atau unsur auditifnya. Tetapi, rangkaian peristiwa ritual Sekaten beserta hajad dalem Garebeg Mulud yang digelar Kraton Mataram Surakarta rutin tiap tahun saat datang bulan Mulud seperti yang sekarang ini, tak hanya menyajikan konser musik untuk dinikmati indera pendengaran, tetapi juga ada unsur-unsur sajian untuk sejumlah fungsi yang lain.
Gamelan Sekaten yang terdiri perangkat Kiai Gunturmadu dan Kiai Guntursari, menjadi salah satu bagian penting dari upacara adat Sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Mulud (kalender Jawa) atau Rabiulawal (Hijriyah) yang sudah ada di zaman Kraton Demak (abad 15) dan Mataram Islam (abad 16). Dan bagian penting lain dari satu-kesatuan upacara adat Sekaten, adalah adanya sepasang gunungan yang melambangkan gender lelaki dan perempuan, yang dikeluarkan kraton pada puncak upacara adat Garebeg Mulud.
Jadi, esensi upacara adat Sekaten, adalah tampilnya dua komponen penting itu untuk keperluan memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, kedua komponen pokok itu ditampilkan di kagungandalem Masjid Agung di tempat masing-masing sesuai fungsinya. Gamelan Kiai Gunturmadu di Bangsal Pagongan Kidul dan Kiai Guntursari di Bangsal Pagongan Lor, yang ditata pada pagi hari dan mulai ditabuh siang hari pada seminggu sebelum puncak upacara, yaitu prosesi mengarak gunungan hajad dalem Garebeg Mulud.
Tak Berubah
Istana Mataram News.Id (iMNews.id) yang mengikuti upacara adat perayaan Sekaten yang diselenggarakan Kraton Mataram Surakarta sejak tahun 1982 (Suara Merdeka-Red), merekam penampilan pelaksanaan dari tahun ke tahun yang nyaris tidak ada perubahan pada susunan dan format upacara bakunya. Yaitu berupa turunnya atau keluarnya sepasang gamelan Sekaten, Kiai Guturmadu dan Kiai Guntursari dari tempat khusus di dalam kraton, untuk dibawa dengan dipikul beramai-ramai oleh para abdidalem keparak dan abdidalem karawitan Mandra Budaya.
Gamelan beserta “rancakan” dan alat untuk memikul, termasuk beberapa jenis gamelan lain yang diperlukan untuk perayaan Sekaten, sehari sebelumnya
dicuci atau dijamas sebelum dibawa ke halaman Masjid Agung, dan ditata di dua bangsal yang ada di selatan dan utara halaman masjid, pada pagi hari yang biasanya jatuh pada tanggal 1 Mulud (Rabulawal). Baru siangnya sehabis shalat Dhuhur (Luhur), gamelan Kiai Gunturmadu lebih dulu ditabuh menyajikan gending “Rambu”, lalu berganti gamelan Kiai Guntursari ditabuh menyajikan gending “Rangkung”, sebagai tanda ritual Sekaten resmi dimulai.
Sejak siang tanggal 1 Mulud sepasang gamelan Sekaten diperdengarkan secara manual atau tanpa sound system (pengeras suara), kemudian berhenti saat shalat Ashar tiba, kemudian berlanjut dan berhenti saat shalat Magrib tiba, berlanjut sampai shalat Imsak dan berlanjut sampai kurang lebih pukul 21.00 WIB. Demikian seterusnya, setiap hari gamelan Sekaten ditabuh bergantian pada jeda interval waktu shalat itu, sampai pagi menjelang datang prosesi arak-arakan hajad dalem gunungan di siang hari, gamelan kembali dibawa masuk ke kraton.
Abdidalem Ulama
“Sekaten pada zaman Demak dan Mataram Sultan Agung, setiap pengunjung yang datang ke masjid untuk melihat gamelan, harus mengucapkan lafal salah satu ayat suci. Upama saat doa wilujengan hajad dalem gunungan di Masjid Agung ditambah tahlil/dzikir Sultanagungan dan syahadat Quresh, apakah memungkinkan? Karena, syair syahadat Quresh itu tafsir substansial terhadap Sultan Agung sebagai pendiri Mataram Islam,” ujar KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo, “abdidalem Kanca Kaji” yang memimpin tim penyusun “Kur’an Jawa” dan diluncurkan Gusti Moeng, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 30/7).
Karena, upacara adat Sekaten merupakan upacara keagamaan dengan tatacara budaya Jawa, maka unsur-unsur atau simbol-simbol keagamaannya sangat jelas tampak di sana, selain Masjid Agung sebagai pusat upacaranya juga ada elemen lain sebagai daya dukung yang menjalankan ritual keagamaan itu, yaitu keberadaan “abdidalem juru suranata” dan “Kanca Kaji” sebagai abdidalem ulama. Mereka ini yang bersinergi dengan abdidalem takmir masjid, sangat berkepentingan dalam pelaksanaan doa wilujengan pada puncak acara, maupun menginisiasi acara semacam tausyah, tiap hari di sela-sela sepasang gamelan di tabuh.
Oleh sebab itu, perayaan Sekaten di zaman republik terutama di awal masa reformasi atau setelah 1998, selama tujuh hari Garebeg Mulud, ada keterlibatan dari Kantor Kemenag setempat secara sinergis, untuk mengisi acara kerohanian di sela-sela gamelan ditabuh. Juga pameran-pameran edukatif bernafaskan Islam yang ditempatkan di arena basar dan pameran aneka produk, seperti yang sejak 16 September lalu digelar Lembaga Dewan Adat (LDA) di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa.
Besalen di Nonongan
Dalam catatan Dr Joko Daryanto, abdidalem karawitan yang juga dosen di FKIP UNS, gamelan Sekaten memang menjadi komponen penting secara esensial selain prosesi gunungan Garebeg Mulud. Tetapi, ada bagian dari elemen gamelan Sekaten yang juga penting, karena menjadi pelengkap dan satu-kesatuan upacara adatnya, yaitu keberadaan tiga jenis gamelan “pakurmatan” yang terdiri gamelan Kodhok Ngorek, Monggang dan gamelan Cara Balen.
Tiga jenis gamelan yang secara khusus dibuat sesuai fungsinya itu, hanya dimiliki Kraton Mataram Surakarta, dan hanya dikeluarkan untuk ditabuh pada saat-saat tertentu, misalnya Sekaten, Garebeg Pasa (Idhul Fitri), garebeg Besar (Idhul Adha) dan tingalan jumenengan. Pada ritual Sekaten, ketiga jenis gamelan itu ditabuh saat prosesi mengarak sepasang gunungan hajad dalem garebeg Mulud berjalan dari dalam kraton menuju kagungandalem Masjid Agung.
“Gamelan Kodhok Ngorek ditabuh di Bangsal Pradangga (dalam kraton). Gamelan Monggang ditabuh di sisi timur Sitinggil Lor. Gamelan Cara Balen ditabuh sambil dipikul, untuk memandu langkah prajurit Panyutra. Karena, prosesi membawa gunungan dari kraton menuju masjid, harus dikawal prajurit Panyutra. Gamelan Kiai Gunturmadu dan gamelan pelengkap upacara adat, sangat mungkin dibuat pandhe gangsa (besalen) di Nonongan atau Kemlayan. Karena riwayatnya, Kiai Gunturmadu dan gong KK Kumitir baru ada pada masa Sinuhun PB IV,” sebut Dr Joko yang dihubungi iMNews.id di tempat terpisah, kemarin. (Won Poerwono-bersambung/i1).