Karena Kondisi Luar Biasa, Sesuatu yang “Wajib” Bisa Berubah (1-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:June 25, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read

Untuk Efisiensi, Peran dan Fungsi Gamelan Diambil-alih MC

IMNEWS.ID – Di antara semua kelengkapan yang menjadi satu-kesatuan berlakunya budaya Jawa sebagai produk peradaban yang dibangun dan disusun sejak awal abad (kalender Jawa), tatacara upacara adat perkawinan yang masih diadopsi dan dipelihara warga peradaban hingga kini. Dan dengan menampilkan peristiwa upacara adat perkawinan itu, bagian-bagian lain pendukungnya yang merupakan kelengkapannya (subkultur), secara tidak langsung juga ikut terawat atau terjaga kelestariannya.

Bagian-bagian yang merupakan daya dukung itu antara lain, bahasa pengantar atau komunikasi yang tetap diupayakan menggunakan bahasa Jawa, bahkan ”krama madaya” dan ”krama inggil”. Selain itu, juga semua tatacaranya yang berkait dengan uba-rampe yang sudah terangkai menjadi satu-kesatuan, simbol-simbol yang bermakna filosofis dan macam-ragam busananya, bahkan masih pula disertai perhitungan waktu termasuk ”weton”.

Rangkaian tatacara upacara adat perkawinan itu, dari berbagai sumber terutama beberapa tokoh dari lembaga Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta menyebutkan, bahwa semua bersumber dari yang sudah pernah dilakukan terus-menerus di keraton, dalam waktu yang sangat panjang sehingga disebut adat tradisi. Dan dalam pandangan para tokoh yang terhimpun dalam Sanggar Pasinaon Pambiwara maupun tokoh-tokoh adat lainnya di keraton, tatacara upacara adat perkawinan di keraton merupakan satu di antara sejumlah bagian yang mengalami proses ”Nut jaman kelakone”.

Sebab, sebuah konsep tatacara upacara adat perkawinan yang dianggap paling lengkap karena sering digelar selama Sinuhun PB X jumeneng (1893-1939), lalu ”dibakukan” untuk wajib dilakukan para penerusnya, tetap tidak bisa terhindar dari proses ”Nut jaman kelakone”. Meskipun dianggap sudah mencapai puncak bentuk paling ideal lalu dibakukan, tetap saja mengadopsi perkembangan, perubahan dan penyusunan kembali dari waktu ke waktu.

BUKAN PUTRI RAJA : Meski bukan putri raja, tetapi wayahdalem BRA Salindri saat menjalani upacara pernikahan jauh sebelum tahun 2017, tetap mengikuti semua tatacara  adat yang berlaku di Keraton Mataram Surakarta. Pengantin wanita diarak dengan kereta kuda seperti ini, mungkin juga sudah tidak mungkin dilakukan masyarakat di zaman ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Proses pembentukan, pembakuan hingga penyusunan kembali tatacara upacara adat perkawinan Jawa yang berlaku di dalam keluarga kerajaan, jelas menempuh waktu yang sangat panjang. Dan apa yang selama 200 tahun dimiliki Keraton Mataram Surakarta (1745-1945) hingga di alam republik sekarang ini, tak hanya dibentuk saat itu, tetapi proses sudah didahului Karena para leluhur pendahulunya pada masa Mataram Surakarta (sejak 1745), Kartasura (sejak  1703), Mataram Sultan Agung (1613), Pajang (1550), Demak (1478), Majapahit (abad 14), Kediri (abad 12) atau jauh sebelumnya.

Begitu memasuki alam republik atau berakhirnya pemerintahan ”negara” monarki yang begitu banyak di Nusantara terutama di Mataram Surakarta, kebebasan individu semakin berhembus kencang, apalagi dengan berlakunya Konvensi Hak Asazi (HAM) oleh PBB yang diratifikasi oleh bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia sebagai salah satu anggota PBB. Kebebasan memiliki hak yang sangat mendasar itu, juga diartikan sebagai milik semua rakyat NKRI, termasuk dalam mengadopsi berbagai hal yang dianggapnya menjadi identitas peradaban yang membanggakan dan ideal.

Termasuk pula, mengadopsi tatacara upacara adat perkawinan yang sebelumnya hanya berlaku di lingkungan keluarga besar Keraton Mataram Surakarta. Selain dianggap sebagai bentuk mendapatkan kesetaraan, tatacara upacara adat perkawinan gaya Keraton Mataram Surakarta, diadopsi sebagai salah satu bentuk ekspresi rakyat yang memiliki kemampuan secara ekonomis cukup, bahkan berlebih untuk membiayai seluruh kegiatan adat itu.

Karena tatacara upacara adat perkawinan diadopsi publik secara luas khususnya warga peradaban etnik Jawa dalam rangka meniru, mewarisi dan melestarikan perilaku dan tradisi para pendahulu atau nenek-moyangnya, maka pada perkembangannya tatacara upacara adat ini menjadi ladang nafkah yang bernilai ekonomis bahkan tinggi. Dan karena bisa melibatkan banyak pihak berdasar aneka-ragam komponen serta keahlian yang dibutuhkan, maka kemudian lahirlah usaha jasa ketrampilan mengorganisasi tatacara upacara perkawinan yang kini dikenal dengan unit usaha jasa ”wedding organizer” (WO) yang kini masuk ranah ekonomi kreatif.

NAIK KUDA : Pengantin lelaki yang menjadi menantu Sinuhun Paku Buwono atau Keraton Mataram Surakarta, masih melakukan tradisi menunggang kuda seusai mengikuti upacara ”panggih” dengan BRA Salindri selaku mempelai wanita di Pendapa Sasanamulya, jauh sebelum 2017 lalu. Bagian ini juga mungkin sudah sulit dilakukan publik secara luas, kini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam tahapan dan bentuk perkembangan yang paling sesuai diadopsi publik secara luas, maka jasa WO atau bidang ekonomi kreatif ini juga semakin terbuka terhadap perkembangan teknologi serta perubahan sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Dalam posisi seperti itu pula, jasa WO yang menangani secara khusus tatacara upacara adat perkawinan Jawa gaya Surakarta, dewasa ini telah menempatkan lembaga masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta di satu sisi dan ”bisnis” jasa WO tatacara upacara adat pengantin Jawa gaya Surakarta di sisi lain.

”Kalau sekarang bicara soal tatacara upacara adat perkawinan Jawa gaya Surakarta, yang mana dulu?. Sebab, yang dialakukan di di dalam keraton hingga sekarang, jelas banyak perbedaannya dengan yang dijadikan bisnis usaha jasa WO di tengah masyarakat, atau yang langsung dilakukan masyarakat. Meskipun, yang terjadi di dalam keraton sendiri, dari waktu ke waktu juga ada perbedaan karena terjadi perubahan”.

”Sekalipun berubah, tetapi hal yang baku tetap utuh, dan perubahan itu mungkin karena kondisi luar biasa. Hal yang baku itu, diupayakan tetap dipertahankan karena berada dalam ranah paugeran adat. Dan urut-urutan tacara upacara adat pengantin di keraton, masing-masing punya makna filosofi yang urut dan utuh dalam satu kesatuan adat,” jelas KRRA Budayaningrat, salah seorang dwijo Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin. (Won Poerwono-bersambung)