BERBHAKTI PADA LELUHUR : Nyadran saat bulan Ruwah yang jadi agenda Gusti Moeng (Ketua LDA) di bulan Ruwah, menjadi teladan yang baik bagi publik secara luas untuk berbhakti kepada leluhur. Dalam perkembangannya, masyarakat Jawa juga meneladani ziarah atau nyekar ke makam leluhur, setelah mudik dan merayakan Lebaran dan berhalal-bihalal. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)
Sejak Dulu Ada Hubungannya Dengan “Mulih Disik” atau “Pulang ke Udik”
SURAKARTA, iMNews.id – Tradisi halal-bihalal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia dan tidak saja di kalangan muslim, hingga kini memang tidak diketemukan dokumen bersejarah dalam bentuk apapun utamanya yang tertulis atau manuskrip yang menyebutkan awal-mula diciptakan, termasuk yang kali pertama menciptakannya. Bersamaan itu, banyak ahli sejarah agama yang menyatakan bahwa istilah yang selalu muncul di saat perayaan Idhul Fitri atau Lebaran itu, sama sekali tidak pernah diketemukan di tempat asal Islam maupun negara-negara di sekitarnya.
“Betul sekali. Selama saya mempelajari, belum pernah ada ahli sejarah yang menemukan asal-mula kata halal-bihalal itu, walau dari asal agama ini sekalipun. Yang saya dapatkan, justru dari penjelasan kakek saya, bahwa kata halal-bihalal pertama kali didengarnya dari Sinuhun Paku Buwono (PB) X (1893-1939). Katanya itu ungkapan spontan. Tetapi diyakini pasti meneladani yang pernah disabdakan para leluhur. Mengingat Keraton Mataram Surakarta adalah keraton Islam, yang banyak melahirkan kearifan lokal karena berakulturasi dengan budaya Jawa,” jelas KRRA Budayaningrat ketika diminta penjelasan iMNews.id tentang hubungan antara tradisi mudik dan halal-bihalal, yang kini menjadi tradisi masyarakat secara luas secara nasional.
Tetapi, lanjut dwija dari Sanggar pasinaon Pambiwara Keraton Surakarta itu, Sinuhun PB X disebutkan justru memperingatkan sejumlah orang yang beberapa berkumpul dan akhirnya ketahuan Gubernur Belanda, agar tidak menggunakan istilah itu dan lebih menjaga kerahasiaan pertemuan agar kata halal-bihalal tidak dicurigai hanya sebagai kedok. Pertemuan antara sejumlah tokoh perintis kemerdekaan di Gedung Habipraya yang kini ditempati Matahari, Singosaren, adalah pertemuan atas seizin Raja Keraton Mataram Surakarta Sinuhun PB X yang selalu menyeponsori upaya-upaya merintis kemerdekaan.
Untuk Merahasiakan Perlawanan
Disebutkan Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng itu, lama-lama pertemuan yang antara lain dihadiri dr Radjiman Wedyadiningrat itu dicurigai Belanda sebagai upaya menggalang perlawanan dan Gubernur Belanda sampai meminta konfirmasi pada Sinuhun PB X. Tetapi ketika ditanya, Sinuhun ingkang Minulya lan ingkang Wicaksana itu menjawab bahwa pertemuan itu hanya sekadar “halal-bihalal”, atau pertemuan rutin tiap karena lama tidak bertemu, kangen dan kebetulan dalam suasana Hari raya Idhul Fitri.
“Kalau dilihat dari sisi kita, jelas sangat positif, karena halal-bihalal itu ternyata esensinya pertemuan yang terjadi karena lama tidak bertemu, terlebih terjadi di saat hari raya Lebaran. Dan sangat bisa dipahami, kalau pertemuan itu dimanfaatkan juga untuk saling memaafkan, karena merasa pernah punya kesalahan. Berada di tempat berjauhan tetapi tidak sempat saling mengabarkan, itu sudah dirasakan sebagai sebuah kesalahan yang wajib meminta maaf. Ini naluri wong Jawa. Salah satu kearifan lokalnya di situ,” jelas pengurus Yayasan Panakawan Jateng, sebuah organisasi yang menjadi mitra pemerintah dalam pelestarian budaya Jawa yang di antaranya melalui penyiapan guru-guru bahasa Jawa di berbagai tingkatan lembaga pendidikan itu.
Namun, lanjut KRRA Budayaningrat, Sinuhun PB X sempat melarang istilah itu digunakan dalam kehidupan keseharian, karena sudah dicurigai sebagai siasat menutupi kegiatan rahasia berkumpul dan menggalang kekuatan untuk melawan Belanda. Sampai Sinuhun PB wafat di tahun 1939 rintisan kemerdekaan yang disponsorinya belum membuahkan hasil, dan penggunaan kata halal-bihalal itu benar-benar tidak terjadi dalam kehidupan keseharian ataupun untuk menandai pertemuan tiap tahun saat datang Lebaran, walau kepemimpinan di Keraton Mataram Surakarta sudah berganti ke tangan Sinuhun PB XI (1939-1945).
Pangabekten dan Ujung
Setelah Sinuhun PB XI jumeneng disebutkan memaang benar-benar tak pernah terdengar kata halal-bihalal digunakan atau terdengar ke ruang publik waktu itu, walaupun diyakini KRRA Budayaningrat tetap saja digunakan di lingkungan internal dengan tingkat kerahasiaan tinggi atau tertutup rapat. Dikatakan pula, setelah Sinuhun PB XI wafat di bulan Juni 1945 dan tampuk pimpinan berganti Sinuhun PB XII (1945-2004), kata halal-bihalal tetap tidak pernah muncul, meskipun di lingkungan keraton sejak ratusan tahun lalu selalu ada tradisi pangabekten yang digelar Sinuhun Paku Buwono, juga “ujung” yang intinya berkunjung dilakukan kalangan keluarga besarnya.
“Baru di tahun 1970-an, saya mendengar lagi kata halal-bihalal itu, karena kakek saya akan bertemu teman-temannya dan keluarga besar saya. Dan di saat itulah, saya juga mendengar kata mudik. Tetapi kata itu dimaknai sebagai jarwa dhosok dari kata ‘mulih dhisik’. Karena, Surakarta dulu ‘kan Ibu Kota ‘nagari’ (negara), tempat para perantau dari berbagai daerah di sekitar Surakarta merantau, mencari pekerjaan. Jadi, lama-lama seperti menjadi satu rangkaian, bahwa mudik dan halal-bihalal itu ada hubungannya,” tutur abdidalem yang sering ditugasi sebagai juru pranatacara atau pambiwara di setiap kegiatan di lingkungan keraton itu.
Menurutnya, kata mudik juga semakin dikenal luas masyarakat bangsa ini secara nasional, sebagaimana halal-bihalal, yang dalam perjalanan waktu kemudian menjadi satu rangkaian tradisi. Namun kata mudik yang yang muncul selain “jarwa dhosok” mulih-disik, adalah sebuah kata yang merasal dari wilayah Betawi yang kini dikenal dengan Jakarta, yang menjadi tempat merantau para pencari kerja masyarakat pedesaan atau “udik” dari berbagai wilayah yang sangat luas, lintas provinsi.
Kalau mudik yang dikenal masyarakat Surakarta saat kota ini menjadi Ibu Kota Mataram Surakarta yang notabene tempat perantauan pada masa sebelum 1945 (1745-1945), tetapi mudik yang menjadi istilah terkenal setelah tahun 1970-an karena Jakarta menjadi Ibu Kota NKRI yang menyediakan lapangan kerja luas karena tumbuh pesat berbagai industri dan pabrik-pabrik di sekitar Jakarta. Menurut KRRA Budayaningrat, gelombang mudik atau pulang ke udik menjadi sangat besar, karena yang merantau ke Jakarta tidak saja dari “Jawa” (Jateng dan Jatim), melainkan dari Jabar dan sejumlah pulau dari luar Jawa.
Berbhakti pada Leluhur
“Orang yang merantau melakukan mudik, bukan hanya soal rindu kampung halaman. Tetapi rindu orang tua dan leluhurnya, juga sanak-saudaranya. Di kalangan masyarakat Jawa, sangat menghargai para leluhurnya, termasuk orangtuanya. Karena mereka sadar, tanpa mereka, dirinya tidak akan ada. Sebagai rasa berbhaktinya, para perantau mudik untuk menunjukkan rasa hormat dan berbhaktinya kepada leluhur, yaitu sungkem. Dan saat yang tepat untuk melakukan itu, yaitu pada Hari raya Idhul Fitri atau Lebaran. Karena di situ ada ajaran agama yang pas dan tepat sekali untuk saling bersilaturahmi, bermaaf-maafan dan meminta doa restu. Libur panjang dan cuti bersama juga menjadi daya dukung luar biasa untuk melakukan tradisi yang sangat baik ini,” tandasnya lagi.
Berbhakti kepada leluhur tidak hanya bisa dilakukan secara langsung, sungkem kepada figur yang dimaksudkan, karena bila leluhur sudah tiada, berziarah atau nyekar dan berdoa di pusaranya adalah cara lain berbhakti yang tetap positif dan baik untuk diteladani. Ketua Lokantara Pusat di Jogja Dr Purwadi dalam bukunya berjudul “Sejarah Budaya Kabupaten Klaten”, mengutip bahwa tradisi ritual Yaqowiyu setiap Sapar di Jatinom, Klaten yang hingga kini semakin banyak mendapat kunjungan, karena selain ngalab berkah kue “apem”, juga berziarah atau nyekar makam Ki Ageng Gribig, sebagai tanda berbhakti dan menghormati jasa-jasa guru spiritual Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma.
“Maka, saya salut dan sangat mendukung tradisi Gusti Moeng bersafari nyadran makam leluhur Dinasti Mataram sampai jauh ke Madura. Tradisi itu bisa menjadi teladan kita semua orang Jawa, juga bagi masyarakat bangsa kita. Sayapun melakukan itu dalam keluarga kecil. Karena berbhakti kepada leluhur, termasuk orangtua kita sendiri, merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Tanpa mereka, saya tidak akan pernah ada di dunia ini. Sekarang ini, saat yang baik untuk mudik dan berhalal-bihalal. Kita saling memaafkan. Kita eratkan tali silaturahmi. Tak lupa saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idhul Fitri 1443 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin”,” ujar KRAT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, pemerhati budaja Jawa dan keraton secara spiritual kebatinan itu, saat dimintai tanggapannya di tempat terpisah. (won-i1)