Kalau Tak Ada Kraton Mataram Surakarta, (Mungkin) Tak Akan Ada NKRI (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 13, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:10 mins read
You are currently viewing Kalau Tak Ada Kraton Mataram Surakarta, (Mungkin) Tak Akan Ada NKRI (seri 2 – bersambung)
"HARUS MENGEKSEKUSI" : Di tahun 1945, Sinuhun PB XII masih berusia sekitar 20 tahun. Di usia semuda itu, dia harus "mengeksekusi" lahirnya NKRI. Faktanya, Kraton Mataram Surakarta merupakan "negara" yang mengakui dan mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI yang membuat pemeo itu menjadi keniscayaan. (foto : iMNews.id/Dok)

Kaya Para Pujangga, “Jadikan” Surakarta “Kota Literasi” Terbesar di Asia Tenggara,

IMNEWS.ID – KISAH perjalanan Kraton Mataram Surakarta yang telah melahirkan “pemeo konklusif” berupa “keberuntungan” dan keniscayaan dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1945, tetapi cerita tentang nasib kraton tak sebaik jasa-jasa dan “pengorbanannya”. Sampai republik berusia 80, nyaris tak ada kisah manis bagi kraton.

Walau “pemeo konkulsif” itu menjadi kenyataan dan keberuntungan bagi bangsa dan “para petingginya” hingga kini, pengorbanan atas “Kalau tak ada Kraton Mataram Surakarta, tak akan ada NKRI” itu akhirnya hanya menjadi “slogan kosong”. “Pengorbanan” Sinuhun PB X, PB XI dan PB XII dan keluarga besarnya yang tersisa hingga kini, bisa disebut “sia-sia”.

“Pengorbanan” itu bahkan kurang adil kalau hanya disebut untuk Sinuhun PB X, XI dan PB XII bersama keluarga besar yang tersisa. Karena fakta dan data sejarah menyebutkan, capaian tertinggi sebuah peradaban yang terwujud secara fisik dan nonfisik, ada Pulau Jawa. Yang merupakan proses pembentukan, aktualisasi dan penyempurnaan berabad-abad sampai Mataram.

“Negara” Mataram Surakarta dan Batavia, yang faktanya berada dalam satu pulau, yaitu Jawa, menjadi keniscayaan sebagai pusat dan pusaran politik pergerakan menuju lahirnya NKRI. Kemudian, fakta terjadinya proses penyempurnaan karya-karya fisik dan nonfisik, yang menjadi jasa-jasa Mataram sampai Mataram Surakarta, bersama sederetan para tokoh pentingnya.

BEGITULAH ADANYA : Beberapa saat setelah NKRI lahir, Sinuhun PB XII selalu tampil bersama dengan bersama Presiden RI Ir Soekarno dan Wapres RI Moh Hatta di berbagai upacara kenegaraan. Dia sangat belum matang ketika peralihan kekuasaan berlangsung ke tangan republik sesuai bunyi akhir teks Proklamasi itu. (foto : iMNews.id/Dok)

Jadi, sejak Mataram didirikan Sinuhun Panembahan Senapati, karya-karya yang bermanfaat bagi peradaban sudah banyak, karena sudah terinisiasi dan terorganisasi dalam kelembagaan pemerintahan yang bersistem. Zaman Kraton Pajang, Demak, Majapahit, Kediri dan zaman pada abad 6-11, karya peradaban nyata juga banyak, tetapi masih jauh dari “cita-cita”.

“Cita-cita” terwujudnya sebuah wadah bagi sebuah bangsa yang ada di Nusantara, dari sabang sampai Merauke dan dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote, baru mulai dirintis pada zaman Sinuhun PB X (1893-1939). Sinuhun PB XI ikut mewarnai kelahiran Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) sampai proses pembentukan lembaga tinggi negara dan UUD 45.

Sayang, Sinuhun PB XI wafat di bulan Juni 1945 atau sekitar sebulan dari peristiwa 17 Agustus 1945. Raja yang cerdas dan banyak menyempurnakan rintisan ayahandanya (Sinuhun PB X) itu, hanya jumeneng nata sekitar 6 tahun setelah ayahandanya yang wafat di tahun 1939. Maka, Sinuhun PB XII yang masih berusia sekitar 20-an tahun, “terpaksa” melakukan “eksekusi”.

Dalam usia yang “belum matang” urusan politik itu, Sinuhun PB XII harus meneruskan segala urusan besar yang ditinggalkan ayahandanya (PB XI). Dia “terpaksa” mengekesekusi semua rintisan dan capaian dua leluhur pendahulunya yang mempersiapkan sebuah wadah besar bagi bangsa di Nusantara itu. Dia harus “mengeksekusi” proses pembentukan negara.

“CARA BERBHAKTI” : “Tak ada kraton, tak akan ada NKRI”. Pemeo konklusif hubungan kraton dan NKRI ini terkesan menjadi “pemeo kosong” dan pengorbanaa para tokoh Mataram Surakarta menjadi “sia-sia”. Karena, kompleks kantor Kepatihan justru lenyap karena keliru memahami “cara berbhakti”. (foto : iMNews.id/Dok)

Sinuhun PB XII “terpaksa” mengeksekusi sebuah proses untuk mewujudkan cita-cita bersama seluruh komponen dan elemen bangsa di Nusantara, walaupun segala urusannya sudah pindah ke tangan pihak lain. Karena sepeninggal Sinuhun PB XI, BPUPK secara sepihak “diubah” menjadi PPK (Panitia Persiapan Kemerdekaan), tanpa belasan tokoh yang pernah ditunjuk PB XI.

Tetapi, keniscayaan peran dan jasa Kraton Mataram Surakarta tetap ada dan melekat pada setiap proses kelahiran bagian-bagian penting NKRI. Di belakang Sinuhun PB XII masih ada para tokoh bangsawan senior yang pernah aktif di “pemerintahan kraton” dan berbagai kegiatan eksternal, yang mendorong saat PB XII menyatakan “mendukung” Proklamasi Kemerdekaan RI.

Tanggal 18 Agustus 1945, Sinuhun PB XII mengucapkan “selamat” atas Kemerdekaan RI dan menyatakan “mendukung” Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu. Sinuhun PB XII menegaskan, “Kraton (Mataram) Surakarta Berdiri di Belakang Republik”. Itu berarti, “negara” (monarki) Mataram Surakarta adalah “negara” pertama yang mendukung dan mengakui Kemerdekaan RI.

Fakta dan data sejarah di atas, langsung atau tidak langsung menunjukkan, bahwa pemeo konklusif “Tak ada kraton, tak akan ada NKRI” itu semakin terjawab nyata. Data dan fakta sejarah maupun pemeo konklusif itu “undebatable”, sudah tidak bisa dibantah. Itulah puncak karya-karya dan jasa-jasa Kraton Mataram Surakarta serta para tokoh pentingnya, yang juga nyata.

RASA KEADILAN : Memasang pengumuman atau berbagai bentuk tanda pengingat terhadap peristiwa yang dialami Kraton Mataram Surakarta saat kelahiran NKRI, akan selalu hadir di setiap saat di lingkungan kraton, selama rasa keadilan belum didapat dari republik ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Secara nyata, Sinuhun PB XII telah mengeksekusi penggabungan wilayah kedaulatan Kraton Mataram Surakarta yang meliputi 2/3 Pulau Jawa itu ke dalam NKRI. Karya-karya “knowledge” dan “culture” serta “intangile” lainnya, sudah jauh lebih dulu, karena Pujangga Kyai Jasadipoera sudah menyebarkan karya “Piwulang Luhur” sejak Ibu Kota Mataram berada di Kartasura.

Karya-karya “Piwulang Luhur” yang dipedomani setiap peradaban hingga kini, masih diteruskan oleh Pujangga Jasadipoera II dan III, Ranggawarsita, Padmasusastra, Ranggasutrasna dan sebagainya. Karya-karya para pujangga ini, menjadikan Surakarta layak disebut sebagai “Kota Literasi” terbesar di Asia Tenggara, walau lembaga UNS tak pernah “mengapresiasi” soal ini.

KARYA PUJANGGA : Banyak dokumen sejarah manuskrip seperti karya para Pujangg Surakarta, tersimpan di Sasana Pustaka Kraton Mataram Surakarta. Karya-karya itu adalah bagian jasa-jasa di bidang knowlegde dan culture intangible yang telah membentuk karakter perdaban hingga kini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pemeo “Tak ada kraton, tak akan ada NKRI”, tidak hanya terjadi pada peristiwa 17 Agustus 1945. Dukungan logistik saat darurat perang revolusi, dukungan keuangan dan barang-barang untuk modal kesekretariatan negara (NKRI) juga diberikan kraton. Bahkan, transfer knowledge berupa pelatihan juga diberikan Patih Sasradiningrat V di rumah-tangga istana RI.

Masih banyak catatan tentang dukungan riil kraton berupa apapun kepada NKRI, seperti dicatat dalam buku “Suara Nurani Kraton Surakarta”, puluhan judul karya Dr Purwadi dan sejumlah penulis lain. Termasuk dukungan untuk RI yang jadi modal Depag, yang mengambil satu departemen utuh “abdi-dalem ulama”, yang pernah jadi simbol ikonik Mataram Islam Surakarta. (Won Poerwono – bersambung/i1)