Karena Awam dan Asing Tembang Macapat, 17 Sura Diyakini Sebagai 17 Februari
IMNEWS.ID – MENCERMATI hukum kausal atau sebab-akibat yang bercampur berbagai faktor yang berpengaruh dalam kehidupan (iMNews.id, 26/4), maka ketika membaca banner bertuliskan “Aja Adigang, Adigung, Adiguna” di sebuah kampus, juga Hari Jadi Kota Surakarta yang hingga kini ada dua versi, bisa berkesan karena memang awam dan asing dengan sumber informasi yang dijadikan dasar, atau bisa juga sudah paham tetapi ada sebuah skenario kekuatan (politis) yang sengaja “memlesetkan” fakta dan datanya.
Ketika memilah dan mengidentifikasi, posisi awam dan asing bisa digolonklan menjadi satu variabel dan unsur kesengajaan “memlesetkan” menjadi variabel lain, sedangkan adanya fakta bahwa tembang macapat karya-karya para Pujangga mengandung data dan fakta yang lebih bisa dipertanggungjawabkan, menjadi alat untuk mengindentifikasi terjadinya kesalahan. Soal data dan fakta yang tersimpan dalam lirik-lirik tembang macapat, lebih bisa dipertanggungjawabkan dibanding data sejarah berupa buku karya penulis asing atau yang disusun atas “pesanan” untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Sedangkan kesalahan yang diidentifikasi menggunakan data dan fakta tembang macapat, adalah banner bertuliskan “Aja Adigang, Adigung, Adiguna” yang disandingkan dengan kalimat “Kependidikan Keyogyakartaan….” yang sangat multi tafsir, bahkan membuat bingung dan sesat bagi masyarakat awam dan asing. Seandainya di bawah slogan itu ditulis “Serat Wulangreh: Karya Sinuhun PB IV”, multi tafsir tidak akan terjadi dan bisa menghindarkan lembaga yang memasang banner dari kesan “sengaja” ingin “memlesetkan” atau “menyesatkan”.
Bukan Selalu Benar
Kesalahan yang lebih fatal, justru terjadi di wilayah Surakarta sendiri yang bersumber dari Peraturan daerah (Perda) tentang Hari Jadi Kota Surakarta yang disebut tanggal 17 Februari. Produk DPRD Surakarta di awal-awal era reformasi ini, sungguh kontroversial dan menimbulkan pro-kontra di kalangan publik secara luas, hingga kini tidak berkesudahan. Karena, Keraton Mataram Surakarta tetap pada pendirian dengan berpegang pada data sejarah yang tersimpan dalam tembang macapat Dhandhanggula dari Serat Pindhah Kedhaton, satu di antara beberapa data sejarah yang paling bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dwija pada Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta, KRRA Budayaningrat sangat menyesalkan pengambilan keputusan yang menghasilkan kesalahan fatal itu. Karena, kalaulah ada sejumlah sumber yang dijadikan dasar penentuannya, sumber-sumber dari data sejarah manuskrip yang tersimpan di Sasana Pustaka Keraton Mataram Surakarta, Museum Radya Pustaka dan tempat lain, tentu banyak yang memunculkan tanggal 20 Februari 1745 (M) ketika dirunut data berbahasa dan beraksara Jawa yang menyebut tanggal 17 Sura 1670 (Jawa), tentang hari lahir atau Hari Jadi Kota Surakarta.
“Terlebih, tembang macapat Dhandhanggula Serat Pindah Kedhaton itu sangat menguatkan data dan fakta sejarah yang ada. Karena, tembang itu ditulis oleh carikdalem (notulen/penulis khusus) yang selalu mencatat segala kegiatan raja (Sinuhun PB II-Red), khususnya peristiwa besar bersejarah pindahnya keraton dan deklarasi nagari Mataram Surakarta sekaligus Surakarta sebagai Ibu Kotanya itu. Mosok malah tanggal 17 Februari? (Diperoleh) dari mana itu?. Angka 17 memang keramat dan baik, tetapi bukan berarti selalu benar untuk memaknai sesuatu yang ternyata tidak sesuai dengan fakta-fakta riilnya,” tunjuk Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng yang juga pengurus Yayasan Panakawan Jateng itu, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Aksara dan Bahasa Jawa
Menurut praktisi budaya Jawa di lembaga pendidikan formal dan nonformal itu, kesalahan menentukan Hari Jadi Kota Surakarta tanggal 17 Februari itu jelas akibat siapa saja yang terlibat dalam proses penentuannya diyakini tidak paham atau awam dan asing terhadap tembang macapat yang hampir semuanya adalah karya cerdas para Pujangga Jawa, bahkan Pujangga Surakarta. Pemerhati sejarah RM Restu Setiawan bahkan meyakini, banyak kalangan intelektual kampus yang terjebak oleh keyakinan berlebih terhadap data dan fakta sejarah yang disusun para peneliti asing melalui buku-buku yang diterbitkan.
“Data dan fakta sejarah dari tembang macapat karya-karya Pujangga Jawa, mencatat peristiwanya sangat lengkap. Termasuk suasana yang terjadi saat itu. Kalaupun ada kesalahan, sangat kecil persentasenya. Tetapi, secara umum lebih bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, dibanding data dan fakta dari buku karya penulis-penulis asing. Karena, mereka tidak paham tembang macapat dan dokumen lain yang menggunakan aksara dan bahasa Jawa. Apalagi diungkapkan dengan bahasa kiasan atau semu, misalnya sengkalan yang menunjuk angka tahun suatu peristiwa terjadi. Jadi, yang tidak paham aksara dan bahasa Jawa, apalagi kata-kata kiasan yang semu, enggak bakal bisa menangkap makna secara benar dan utuh, baik global maupun esensinya,” tandas anggota komunitas pemerhati sejarah Solo Societeit di Surakarta itu, di tempat terpisah.
Dalam buku “Sejarah Budaya Kabupaten Klaten” yang sedang disusun Ketua Lembaga Olah kajian Nusantara (Lokantara) Pusat di Jogja, Dr Purwadi, di situ banyak diungkapkan berbagai jenis tembang macapat dan uraian ringkas isinya, karya para Pujangga Jawa notabene Surakarta. Hampir semuanya berisi catatan sejarah atau peristiwa dan tokoh-tokoh pelaku dalam peristiwa itu, yang banyak menyimpan data dan fakta sejarah peradaban, dan tentu juga menyebut tembang Gambuh sebagai format Serat Wulangreh karya Sinuhun PB IV yang berisi ajaran tentang “Adigang, Adigung dan Adiguna” itu.
Realitas yang Kontradiktif
Mengidentifikasi kesalahan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan literasi tembang macapat dari kasus Hari Jadi Kota Surakarta 17 Februari itu, akan banyak menemukan kasus kesalahan di berbagai bidang yang terjadi khususnya di Surakarta. Dan ketika kasus-kasus itu ditemukan, muncullah keprihatinan betapa masyarakat Surakarta khususnya, warga peradaban Jawa pada umumnya, serta NKRI sebagai wadah bangsa yang besar dan dikenal dari ciri kepribadian budayanya, ternyata telah melahirkan perkembangan yang kontradiktif dan sangat merugikan antara masa lalu sebelum 1945 dengan zaman-zaman setelah itu.
Karena, hasil-hasil penelitian Dr Purwadi tentang karya-karya sastra para Pujangga Jawa notabene Surakarta, telah menunjukkan betapa besarnya Surakarta yang lebih dulu pantas disebut Kota Literasi terbesar di Asia. Pernyataan Ketua Lokantara Pusat itu ditegaskan saat menjadi pembicara sarasehan Sumpah Pemuda, akhir November 2021 dan Memperingati Pindahnya Keraton dari Kartasura ke Surakarta, akhir Februari 2022, yang menegaskan bahwa sejak beberapa abad lalu Surakarta sudah menjadi Kota Literasi terbesar di Asia, karena banyaknya produk penulisan berupa naskah dan sastra para karya pujangga.
Pernyataan Dr Purwadi di forum sarasehan dan diskusi publik yang digelar di kantor DPD Partai Golkar Surakarta itu tentu bisa membuat cengang banyak pihak, bahkan seharusnya membuat malu para pemimpin negara yang lahir di Surakarta dan pernah menjadi pejabat di Kota Surakarta. Karena, temuan Dr Purwadi itu menjadikan realitas yang ironis, karena Surakarta yang kaya literasi di berbagai bidang keilmuan, tetapi tidak menghasilkan manusia yang jujur, berpikir cerdas, limpat, lantip, wasis tetapi andhap-asor, yang selalu mengedepankan bidang edukasi untuk menjadikan Surakarta sebagai kota yang sejahtera, maju dan unggul karena kekayaan literasinya. (Won Poerwono-bersambung/i1)