“Sungsuman” Setelah Selesai Peringatan Hari Jadi 91 Tahun Pakasa
SURAKARTA, iMNews.id – Untuk kali pertama setelah 5 tahun lebih sejak April 2017 berjuang di luar Kraton Mataram Surakarta, GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) menggelar upacara adat doa wilujengan atas berlangsungnya berbagai rangkaian event peringatan Hari Jadi 91 Tahun Pakasa, tanggal 16-25 Desember. Doa syukur yang dipimpin abdidalem jurusuranata MNg Irawan Wijaya Pujodiprojo juga dipanjatkan bagi lima “pangeran sentana” yang beberapa waktu lalu diwisuda, satu di antaranya Ketua Pakasa Cabang Klaten, KP Probonagoro yang juga hadir dalam pisowanan kecil di Bangsal Smarakata, siang tadi.
“Wilujengan menika dipun wontenaken kangge mujudaken raos syukur kula lan panjenengan sadaya dumateng Allh SWT, amargi anggen kula lan panjenengan ngayahi tugas ngawontenaken peringatan Hari Jadi 91 Tahun Pakasa, dipun paringi lancar lan wilujeng. Ingkang sanesipun, ugi mujudaken raos syukur para Pangeran sentana ingkang sampun dipun wisuda kala emben. Cacahipun wonten gangsal,” sebut GKR Wandansari Koes Moertiyah yang akrab disapa Gusti Moeng, saat memberi pidato sambutan tunggal sebagai penutup doa wilujengan yang digelar di Bangsal Smarakata Kraton Mataram Surakarta, sejak pukul 10.00 WIB hingga 11.00 tadi siang.
Dalam sambutannya, Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua LDA mengisahkan berbagai peristiwa terakhir sebelum akhirnya ada insiden “Gusti Moeng kondur ngedhaton” pada Sabtu sore, 17 Desember (iMNews, 17/12/2022) sampai menyinggung soal ikhwal keabsahan Lembaga Dewan Adat secara hukum nasional, karena di media sosial muncul “serangan” gencar dari “para penerjemah bahasa isyarat” Sinuhun PB XIII yang sudah dinyatakan pengadilan cacat permanen, tentang “status LDA ilegal, mirip LSM dan pantas dibubarkan”. Gusti Meminta para kerabat sentana, abdidalem, warga Pakasa dan masyarakarat adat secara keseluruhan tidak terkecoh provokasi yang menyesatkan itu.
“Intinya, mereka itu sangat ketakutan kalau kita bisa masuk (kraton) lagi. Sebab, dengan adanya Lembaga Dewan Adat yang sudah disahkan Mahkamah Agung RI dan ditetapkan Pengadilan Negeri Surakarta, sudah tidak perlu diragukan legalitasnya dalam sistem hukum nasional kita. Kenapa ditakutkan?. Karena LDA punya legal standing untuk mengurus dan mengelola semua aset kraton, baik yang sudah di tangan maupun yang dikuasai orang lain. La, oknum atau lembaga yang menguasai aset kraton inilah yang khawatir. maka, menggunakan orang-orang itu untuk terus mengganggu kita,” sebut Gusti Moeng tandas yang disaksikan sekitar 150 orang yang
sowan di Bangsal Smarakata, tadi siang.
Di sela-sela ritual tradisi “sungsuman” itu juga diceritakan berbagai hal selama 5 tahun sampai akhirnya bisa masuk kembali dalam insiden “Gusti Moeng kondur ngedhaton”, juga disinggung soal gara-gara adanya teriakan maling di Bangsal Keputren, yang tak diduga mendorong Gusti Moeng masuk kraton dengan lompat pagar tembok yang terlebih dulu minta izin petugas Polsek Pasarkliwon yang Sabtu sore sekitar pukul 15.00 WIB itu berjaga-jaga di depan Kori Talang Paten. Saat menyinggung Bangsal Keputren dan kondisinya, Gusti Moeng bertanya kepada semua yang sowan, apakah sudah pernah lihat kondisi Bangsal Keputren? dan saat itu juga mempersilakan bagi yang ingin melihat ke sana, menjadi penanda berakhirnya “pisowanan kecil” di Bangsal Smarakata, siang tadi.
Ada sekitar 50-an kerabat dan warga Pakasa yang menyatakan ingin melihat, lalu diarak KRMP Joko Wasis Sontonagoro kira-kira separonya, dan sisanya diantar KRMP Joni Sosronagoro, langsung berjalan masuk melintasi Kori Sri Manganti Lor dan teras Nguntarasana untuk menuju Bangsal Keputren yang letaknya jauh di belakang Pendapa Sasana Sewaka. Masuknya para kerabat dan warga Pakasa itu hampir bersamaan dengan para wisatawan yang tampak rata-rata dari luar kota, yang diizinkan masuk untuk melihat suasana kraton pasca 5 tahun ditutup, dari Kori Kamandungan, melalui Kori Sri Manganti Lor lalu menuju halaman Pendapa Sasana Sewaka.
Para kerabat yang berjalan sambil menyaksikan bangunan demi bangunan hingga sampai kompleks Tursinapuri dan Bangsal Keputren, menyakiksan rata-rata sudah semakin buruk dan hancur sejak Kraton Mataram Surakarta “diduduki” melalui semacam aksi “mirip operasi militer” yang melibatkan 2000 pasukan Brimob dan 400 perseonel TNI pada April 2017. Karena, sebelum tahun 2017, sudah banyak bangunan yang direnovasi termasuk kontruksi atap di atas deretan bangunan Nguntarasana, yang salah satunya adalah kantor Pengageng Sasana Wilapa.
Rata-rata para kerabat dan warga Pakasa menggerutu kesal setelah melihat di dalam kraton yang tampak lebih buruk dari sebelum ditutup pada April 2017. Terkesan sekali tidak dirawat, tak ada tanda-tanda merenovasi, bahkan sangat terkesan dibiarkan hancur. Oleh sebab itu, banyak di antara para kerabat dan warga Pakasa yang “beranjangsana” melihat langsung kondisi di dalam keraton, sampai berucap menebak-nebak tentang “ditutupnya” kraton yang mereka duga sebagai upaya untuk menutupi kehancuran dan pembiaran terjadinya proses kerusakan itu. (won-i1)