Pakasa Cabang Jepara Menyambung Sejarah, untuk Meneladani Semangatnya
IMNEWS.ID – KANJENG Raden Tumenggung (KRT) Citrasoma II (1745-1756), adalah pejabat Bupati (manca=luar) ke-12 di Jepara yang diangkat pada masa Sinuhun Paku Buwono (PB) II jumeneng nata di Keraton Mataram masih berIbu-Kota di Kartasura. Sedangkan Ratu Kalinyamat yang bernama kecil Nimas Retna Kencana, adalah Bupati Jepara pertama (1536-1569) yang menjadi ”aparatur pemerintahan” (raja) Sultan Trenggana, yang jumeneng nata di Keraton Demak (abad 15-16).
Antara pejabat Bupati Ratu Kalinyamat (pertama) dengan Bupati Citrasoma II (ke-12), terpaut 200-an tahun, karena dari masa-masa kerajaan Demak menuju Mataram Kartasura, melewati Keraton Pajang (1550-1588), Keraton Mataram berIbu-Kota Kutha Gedhe (1588-1677), Keraton Mataram berIbu-Kota Plered (1677-1703) hingga Mataram (Ibu Kota) Kartasura (1703-1745). Rentang waktu 200-an tahun, sangat tidak mudah bagi warga peradaban yang tertinggal di Kabupaten Jepara pada masa Bupati Citrasoma II, bisa mengindentifikasi jejak-jejak leluhurnya yang ada di Keraton Demak.
Begitu pula, sangat tidak mudah bagi warga peradaban yang hidup di zaman Sinuhun PB II jumeneng nata di Mataram Kartasura, untuk mengenal dan mengetahui adanya untaian benang-merah atau tali silaturahmi warga peradaban yang ada di Kabupaten Jepara, bahkan di Demak. Mungkin hanya beberapa gelintir figur yang memang memiliki darah keturunan langsung, karena selalu dekat dengan sumber informasi (penjaga wasiat) yang selalu berusaha menjaga keberlangsungan sebuah dinasti.
Berarti Menjaga NKRI
Sekilas lukisan ”Asal-usul Leluhur Keraton” yang disusun Ketua Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi, menunjukkan bahwa rangkaian perjalanan sejarah keraton di (Pulau) Jawa itu nyaris tanpa putus, sangatlah masuk akal. Sebab, dari serangkaian perjalanan ”napak tilas” yang dilakukan GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) lebih dari dua dekade di wilayah eks ”Nagari” Mataram Surakarta (1745-1945), mendapati banyak fakta dan data yang membuktikan kebenaran itu.
Dalam dua kali kunjungan Ketua LDA Keraton Mataram Surakarta yang akrab disapa Gusti Moeng itu di Kabupaten Jepara, tahun 2019 dan Minggu (20/2) tahun 2022, seakan menjadi babak baru bagi hubungan tali silaturahmi antara warga peradaban Kabupaten Jepara yang merupakan asal-usul para leluhur warga Mataram Surakarta. Ikatan persaudaraan yang terlahir kembali dalam suasana yang berbeda, yaitu di alam republik (NKRI) ini, justru memiliki banyak makna untuk dipahami semua warga bangsa.
”Kalau dalam upacara penetapan/pelantikan pengurus Pakasa cabang, saya selalu menanyakan ‘apakah panjenengan bersedia menjaga tetap tegaknya NKRI?’. Inilah yang sebenarnya mendasari saya ingin berbicara, bahwa upacara di Pendapa Kabupaten Jepara kali ini, berada di dalam semangat itu. Semangat melestarikan budaya (Jawa). Itu berarti semangat menjaga kebhinekaan (Jepara). Dan semangat menjaga kebhinekaan itu, berarti semangat menjaga keutuhan NKRI,” tegas KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua Pakasa Punjer, saat mendapat kesempatan memberi pidato sambutan, Minggu siang (20/2) itu.
Ternyata Punya Ikatan
Kedatangan Gusti Moeng yang pertama sekitar 4 tahun lalu bersama rombongan, di antaranya GKR Retno Dumilah (almh) waktu itu, berhasil membentuk kepengurusan Pakasa Cabang yang diketuai KRT Bambang Setiawan Hadipuro. Pengurus cabang itu masih sangat sederhana, karena belum seluruh kecamatan yang berjumlah 15 terbentuk kepengurusan anak cabang Pakasa, meski warga yang menjadi anggotanya sudah mencapai ratusan orang.
Minggu (20/2) lalu, kedatangan Gusti Moeng kali kedua yang diikuti dua mobil rombongan berisi sekitar 20 orang, dalam suasana yang lebih membanggakan. Karena, disambut dalam sebuah upacara yang diinisiasi pengurus Pakasa Cabang, mengambil tempat di Pendapa Kabupaten Jepara, bahkan disambut dan dijamu oleh Bupati Jepara Dian Kristiandi.
”Saya baru tahu, bahwa antara Surakarta dan Jepara ternyata punya ikatan silaturahmi. Kita selama ini tidak tahu. Ini menjadi tugas kita bersama, untuk mengedukasi kepada kalangan generasi muda, agar bisa memahami kenyataan-kenyataan seperti ini. Tugas itu cukup berat, karena harus menggeser kebiasaan mendapatkan informasi yang merusak budaya, menjadi kebiasaan dan kemudahan memahami kenyataan-kenyataan di atas. Agar sadar terhadap tugas dan kewajiban meletasrikan budaya peninggalan leluhur,” tegas Bupati Dian Kristiandi dalam sambutannya.
Cinderamata Tongkat
Seperti yang sudah beberapa kali dilakukan dalam perjalanan ”napak tilas” dan safari keliling ”Tour de Petilasan” di berbagai daerah asal-usul leluhur Mataram, di Kabupaten Jeparapun Gusti Moeng membawa rombongan yang diperlukan untuk upacara wisuda paringdalem gelar sesebutan. Di situ ada KPH Sangkoyo Mangunkusumo (Pengageng Karti Praja) yang bertugas membacakan dasar-dasar hukum pemberian gelar sesebutan, juru pranatacara, abdidalem jurusuranata MNg Irawan Pujo Setyodipuro.
Ada lebih dari 150 warga Pakasa Cabang Jepara yang diwisuda siang itu, mulai dari sama sekali baru dengan pangkat Mas Lurah untuk kalangan anggota, hingga ”Bupati Riya Inggil” seperti yang diterima Ketua Pakasa Cabang, yaitu KRA Bambang Setiawan Adiningrat. Gusti Moeng dan putri ”raja” Sinuhun PB XIII yang akrab disapa Gusti Timoer (GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani) bergantian menyerahkan partisara kekancingan dan mengalungkan samir kepada para wisudawan.
Gelar kekancingan yang diberikan kepada kalangan abdidalem anggota Pakasa, menjadi simbol tersambungnya ikatan tali silaturahmi anjatara warga Jepasa dan Surakarta. Sedangkan KPH Edy Wirabhumi, menyerahkan mirip tongkat komando yang berisi tombak berujung tajam kepada Bupati Jepara Dian Kristiandi, sebagai imbol ikatan kekerabatan dalam upaya pelestarian budaya Jawa dan menjaga kebhinekaan serta keutuhan NKRI. (Won Poerwono-bersambung)