Tanpa Keraton Mataram Surakarta, tak Mungkin Ada NKRI

  • Post author:
  • Post published:August 25, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read

Tiada Pula Keraton Jogja, Pura Mangkunegaran dan Pura Pakualaman

SOLO, iMNews.id – Pada peringatan 285 tahun Jawa atau 276 tahun Masehi berdirinya Keraton Mataram Surakarta yang tepat tanggal 17 Sura Tahun Alip 1955 ini, GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta kembali mempertegas beberapa pernyataan yang sering dilontarkan terutama pada acara serupa sebelumnya. Yaitu mengenai utang janji pemerintah (NKRI) mengenai Daerah Istimewa Surakarta, serta beberapa fakta penting lain yang berkait dengan keberadaan tiga lembaga masyarakat adat anggota Catur Sagatra, dan tentu keberadaan NKRI sendiri.

”Melalui kesempatan ini saya selaku Ketua LDA menegaskan, bahwa Keraton Mataram Surakarta punya makna dan peran penting terhadap beberapa hal. Tolong dicatat, Keraton Mataram Surakarta dulunya adalah ”nagari” yang berarti ”negara”. Jika tidak pernah ada Keraton Mataram Surakarta, tidak mungkin ada Keraton Jogja, Pura Mangkunegaran (Solo) dan Pura Pakualaman (Jogja). Keraton Mataram Surakarta, adalah keraton pertama yang menyatakan bergabung dengan NKRI. Maka, Keraton Mataram Surakarta (bersama Pura Mangkunegaran-Red), mendapat Piagam Kedudukan dari Presiden Soekarno pada tanggal 1 September 1945”.

TAHLIL DAN DZIKIR : Doa, tahlil dan dzikir dipimpin abdidalem jurusuranata KRT Pujo Sujiantodipuro dipanjatkan warga berbagai elemen yang terwadahi Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dipimpin Gusti Moeng, dalam peringatan beridirnya ”nagari” Mataram Surakarta tepat tanggal 17 Sura di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, Rabu sore tadi.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

”Pernyataan Sinuhun PB XII (juga SP Mangkunagoro VIII-Red) yang pertama bergabung ke NKRI, dengan keluarnya Maklumat SISKS Paku Buwono XII (juga Maklumat SP Mangkunagoro VIII) pada tanggal 19 Agustus. Jadi, ingat-ingat itu. Pemerintah (NKRI-Red), jangan lupa masih punya utang janji untuk mengembalikan status Daerah Istimewa Surakarta,’ tegas Ketua LDA Keraton Mataram Surakarta yang akrab disapa Gusti Moeng, sebagai pembicara tunggal di akhir ritual wilujengan nagari untuk memperingati beridiringa ”nagari” Mataram Surakarta Hadiningrat, yang tepat pada tanggal 17 Sura pada pukul 15.00 WIB, Rabu sore tadi (25/8).

Upacara adat memperingati 285 tahun (kalender Jawa) atau 276 tahun (kalender Masehi) tadi sore, berlangsung di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, yang saat itu masih lumayan ramai kegiatan parkir mobil untuk keperluan Pasar Klewer di halaman depannya. Selain Gusti Moeng sebagai Ketua LDA, hadir pula  KPH Edy Wirabhumi (Ketua Pakasa Pusat), KGPH Mangkubumi dan beberapa sentana pejabat berbagai ”bebadan” serta sejumlah abdidalem Pakasa Cabang, terutama dari Cabang Gebang Tinatar Ponorogo (Jatim).

DANDANG GULA : Tembang Dandang Gula yang mengisahkan pindahnya Keraton Mataram dari Plered menuju Kartasura (1677) dan kemudian ke Surakarta (1745), disajikan secara bergantian oleh abdidalem KRT Husadanagoro dan KMAy Madu Retnaningrum dalam ritual peringatan berdirinya ”nagari” Surakarta Hadiningrat 17 Sura, di Pagelaran Sasana Sumewa, Rabu sore tadi (15/8). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ada sekitar 200-an yang hadir mengikuti kegiatan ritual yang dirangkain dengan spiritual religi, dalam suasana pelaksanaan protokol kesehatan ketat yang dijaga sejumlah aparat kepolisian dan Satgas Covid Kota Surakarta. Baik doa, tahlil dan zikir ritual peringatan ”hadeging nagari” Surakarta Hadiningrat yang rutin diperingati tiap 17 Sura (bukan 17 Februari-Red), dipimpin langsung abdidalem jurusuranata KRT Pujo Sujiantodipuro setelah mendapat dawuh ngujubaken oleh putra mahkota KGPH Mangkubumi.

Biasanya Ada Aksi Seni Reog

Tampak hadir dengan busana adat yang menonjol dan berbeda dengan yang lain, adalah rombongan anggota Pakasa Cabang Gebang Tinatar Kabupaten Ponorogo (Jatim). Rombongan warga Pakasa yang selalu mengenakan atribut busana khas warok Kota Reog Ponorogo, datang sekitar 30 orang dan dipimpin langsung ketuanya, KRA MN Gendut Wreksodiningrat.

”Sayang ada pandemi (Corona). Kalau suasana normal seperti dulu, sudah saya bawakan beberapa unit seni reog dan Kethek Ogleng, biar beraksi di sini. Seperti sebelum ada pandemi dulu, tiap ritual 17 Sura, pasti dipanaskan dengan aksi seni reog di sini (Pendapa Pagelaran), agar meriah. Kalau sekarang, enggak sampai hati. Yang jelas, bisa mengundang kerumunan. Karena ini masih pandemi,” papar KRA Gendut menjawab pertanyaan iMNew2s.id

SUDAH DITUNGGU : Peringatan berdirinya ”nagari” Mataram Surakarta dengan menu khas ”jenang Suran” tiap 17 Sura, sudah ditunggu-tunggu warga Pakasa dari berbagai cabang seperti halnya KRA MN Gendut Wreksodiningrat (Ketua) dan anggota Pakasa Cabang Ponorogo yang memperlihatkan menu khas tersebut, saat mengikuti ritual di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, Rabu sore tadi (25/8). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Aneka sesaji digelar di meja panjang untuk didoakan, di antaranya menu khas peringatan 17 Sura, yaitu ”jenang gurih” atau bubur gurih dengan sayur sambal goreng. Semua yang hadir, menerima sekotak plastik kecil berisi menu khas yang disebut ”jenang Sura” itu yang rata-rata dibawa pulang untuk disantap bersama keluarga, karena di situ sudah dijamu dengan berbagai menu khas wilujengan 17 Sura berupa nasi ingkung, krupuk rambak, sambal goreng dan sebagainya.

Acara itu berlangsung hanya sekitar sejam dipandu juru pambiwara KRAT Siswanto, tetapi para peserta harus menunggu sekitar sejam karena berdatangan sejak pukul 14.00 WIB, saat waktu sudah menginjak tanggal 17 Sura saat pukul 15.00 WIB lewat semenit, agar hari sudah berganti dalam perhitungan waktu sesuai kalender Jawa. Dan satu-satunya pemberi sambutan adalah Gusti Moeng, yang selalu menekankan agar NKRI melalui pemerintah selalu ingat dan tidak ingkar janji, karena masih punya utang kepada Keraton Mataram Surakarta.

”Habis acara pengetan 17 Sura ini, nanti akan ada upacara adat di makam Sinuhun Amangkurat Agung di Kabupaten Tegal (Slawi). Kelihatannya jatuh tanggal 25 Sura. Saya dengar, ada orang-orang ‘Kanjeng Ratu’ yang menghasut (Pemkab Tegal-Red), bahwa LDA itu ilegal, sudah bubar. Tapi melalui kesempatan ini saya tegaskan, justru LDA yang sudah mendapat pengesahan sampai Mahkamah Agung. Kita tetap akan mengadakan upacara itu, sampai kapanpun,” tegas Gusti Moeng menjawab pertanyaan para wartawan seusai upacara. (won)