Pakasa adalah Sebuah Kebutuhan, yang Tinggal Merawat dan Membesarkan (1-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:January 12, 2022
  • Post category:Budaya
  • Post comments:0 Comments
  • Reading time:7 mins read

Baru Dibutuhkan Ketika Dunia Berkembang ke Arah Kehidupan Demokrasi

IMNEWS.ID – TANGGAL 29 November 2021 lalu, organisasi Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa) diperingati Hari Jadinya yang ke 90, karena dilahirkan di masa jumenengnya Sinuhun Paku Buwono (PB) X pada 29 November 1931. Saat Pakasa dilahirkan, NKRI belum ada, karena yang ada di Nusantara adalah sekitar 250-an ”negara monarki”. Salah satu negara monarki itu berkedudukan di pulau Jawa bernama ”nagari” Mataram Surakarta, punya wilayah kedaulatan lebih 2/3 luas pulau Jawa, yang usianya hampir 200 tahun karena berdiri pada tanggal 20 Februari yang tepat tanggal 17 Sura 1745 (M).  

Data dari berbagai sumber termasuk hasil penelitian Ketua Lokantara Pusat (Jogja), Dr Purwadi, menyebutkan bahwa masa-masa menjelang perang dunia (PD) ke-2 (1939), situasi sosial politik dunia berubah ke arah yang lebih mau yang disebut berdemokrasi. Beberapa ciri kehidupan berdemokrasi adalah kebebasan berserikat (berorganisasi), berbicara/berpendapat (freedom of speech) dan sebagainya yang menjadi bagian dari pengakuan terhadap hak azasi manusia.

Melihat perjalanannya, Sinuhun PB X (1893-1939) sebagai seorang ”kepala negara” sepertinya merasa bahwa ”negaranya” (Mataram Surakarta) juga menjadi bagian dari pergaulan masyarakat dunia yang ingin maju. Terlebih, Sinuhun PB X merasa bahwa ”negaranya” merupakan bagian dari rumpun ”bangsa-bangsa” atau suku bangsa yang telah dijelaskan oleh Maha Patih Gajah Mada (Majapahit, abad 14), bahwa Nusantara harus bersatu dan menjadi wadah tunggal sebagai satu bangsa yang kemudian bernama NKRI yang lahir pada 17 Agustus 1945.

BENTUK LEGITIMASI : Hadirnya Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa yang membuka resmi peringatan Hari Jadi Pakasa ke-90 yang digelar LDA di  Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, 30 November 2021, menjadi bentuk sinergis sekaligus legitimasi pemerintah terhadap eksistensi Pakasa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Proses perubahan sosial politik ke arah kehidupan berdemokrasi yang disikapi Sinuhun PB X, sangatlah luar biasa wujud karya-karyanya, oleh karenanya Pahlawan Nasional yang satu ini sangat dikenal sebagai ”Sinuhun ingkang wicaksana, ber budi bawa leksana” dan segala predikat mulia lainnya. Dan secara kebetulan, di saat Sinuhun PB X jumeneng, saat itulah pendapatan negara melimpah sehingga dikenal sebagai Sinuhun yang kaya-raya, tetapi bisa memanfaatkan kekuatan ekonominya untuk ikut membangun peradaban dunia yag lebih maju.

Terlepas dari berbagai wujud karya nyata berupa bangunan infrastruktur pusat pemerintahan sampai di daerah-daerah yang menjadi wilayah kedaulatannya yang menjadi bagian dari tuntutan kemajuan zaman (waktu itu), benih-benih kehidupan berdemokrasi yang akan menghasilkan supra stukturpun mulai dibangun. Dari kelahiran organisasi Pakasa (1931), Putri Narpa Wandawa (1930), dorongan sponsor untuk lahirnya organisasi Muhammadiyah (1926), Nahdlatul Ulama (NU-1928), Sarikat Dagang Islam (SDI) dan organisasi-organisasi pergerakan perintis kemerdekaan lainnya yang bahkan diinisiasi/disponsori langsung atau tidak langsung oleh penerusnya sampai menjelang NKRI lahir, yaitu oleh Sinuhun PB XI (1939-1945).

Melihat urgensinya, keberadaan Pakasa bagi ”nagari” Mataram Surakarta waktu itu tampak sudah menjadi kebutuhan bahkan tuntutan untuk lahirnya kehidupan berdemokrasi dalam sebuah negara yang modern, yang kemudian disebut NKRI. Karena, dengan adanya Pakasa, para ”kawula” atau rakyat bisa menyalurkan kebebasannya berpendapat/berbicara untuk mengkritisi/mengontrol perjalanan pemerintahan, yang kemudian melahirkan lembaga Bale Agung (semacam Dewan Perwakilan Rakyat) dan aksi ”tapa pepe” di Gladag sebagai bentuk kebebasan berbicara/berpendapat.  

SYIAR BUDAYA : Pemerhati budaya Jawa dan keraton KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, ikut mendorong eksistensi Pakasa dengan segala kegiatannya yang diinisiasi Lembaga Dewan Adat (LDA), karena tugas utama secara visioner dan misionernya adalah syiar budaya Jawa.
(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pilar kehidupan demokrasi sebuah negara walau masih beruwujud monarki, adalah keberadaan persuratkabaran atau pers yang memang sudah banyak bermunculan dan beredar di ”nagari” Mataram Surakarta sebelum NKRI lahir. Karena, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-nya saja lahir di Kota Surakarta pada tanggal 9 Februari 1946, untuk melengkapi pilar-pilar kehidupan demokrasi, yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers.

Pakasa menjadi salah satu kebutuhan dan tuntutan bagi kehidupan yang lebih maju bagi negara Mataram Surakarta, waktu itu, meski tidak sampai berkembang secara struktural sampai berbentuk cabang di tingkat daerah seperti manajemen organisasi struktural modern. Tetapi, keberadaannya menjadi sebuah keniscayaan karya membangun peradaban yang masih relevan dan dibutuhkan untuk ”sekadar syiar budaya” (KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito) di masa kini.

Melihat hajadan peringatan hari jadi Pakasa yang baru kali pertama digelar Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta dalam waktu 90 tahun, beberapa waktu lalu (iMNews, 1/12/2021), tampaknya memang sudah sewajarnya siapapun yang merasa menjadi penerus atau bagian dari perjalanan ”nagari” (keraton) Mataram Surakarta, harus memelihara, mengembangkan dan memanfaatkannya Keraton Mataram Surakarta sebagai lembaga yang berdaulat di bidang kebudayaan/peradaban secara visioner dan misioner.

LEGITIMASI CABANG JEPARA : Logo simbol Pakasa yang terbuat dari papan kayu jati karya KRAT Bambang Setiawan Hadipuro (Ketua Cabang), merupakan cinderamata sekaligus bentuk legitimasi Pakasa Cabang Jepara terhadap eksistensi Pakasa dalam mengemban tugas pelestarian budaya Jawa yag bersumber dari Keraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Jadi, seandainya ada orang di zaman Sinuhun PB X jumeneng (1893-1939) ada yang berani menyatakan bahwa ”nagari” atau Keraton Mataram Surakarta di zaman dulu (1745-1893) tidak pernah ada Pakasa, itu karena memang saat itu suasana kehidupan sosial politik negara belum membutuhkan. Kalau kemudian ada yang berani menyatakan bahwa apa manfaat Pakasa atau organisasi semacamnya?, itu karena suasana zaman negara antara Sinuhun PB II hingga PB IX (1745-1893) masih mendapat manfaat dari suasana kehidupan sosial politik yang ada saat itu.

Alur berfikir semacam itu nyaris sama ketika di alam kemerdekaan setelah 76 tahun meninggalkan suasana kehidupan sosial politik ”nagari” Mataram Surakarta sekarang ini, ada yang menanyakan untuk apa Pakasa dan apa manfaat Pakasa?. Redefinisi dan reraktualisasi Pakasa yang kini berusia 91 tahun sekarang ini, sedang dalam proses konsolidasi untuk menyesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan peradaban, agar sesuai dan pas dengan eksistensi Keraton Mataram Surakarta yang tinggal berdaulat dalam kebudayaan Jawa.

Akhirnya ketika KPH Edy Wirabhumi selaku pimpinan Lembaga Hukum Keraton Surakarta (LHKS) kembali merekonstruksi Pakasa untuk melegitimasi jumenengnya Sinuhun PB XIII pada tahun 2004, tentu sudah seharusnya dilakukan. Karena, organ-organ legitimasi sekaligus mekanisme kontrol sudah disediakan (diciptakan) para leluhur (Sinuhun PB X), dan para generasi penerusnya tinggal merawat, mengembangkan dan memanfaatkan untuk kemaslahatan internal dan peradaban secara luas, bukan malah melahirkan organisasi berlabel ”Hondrowino” yang konotasinya negatif karena justru berpotensi memecah-belah. (Won Poerwono-bersambung)    

Leave a Reply