Kebutuhan Mendesak Tampilnya Figur Muda Penerus Estafet
iMNews.id – UNGKAPAN keras dan tandas Gusti Moeng yang sering muncul saat menyikapi berbagai peristiwa yang menyentuh harkat dan martabat Dinasti Mataram, apalagi Keraton Mataram Surakarta, arah sikapnya sudah jelas. Karena dirinya sangat tidak rela apabila paugeran adat yang selama ini dijunjung tinggi warga dinasti, dilecehkan atau diinjak-injak.
Kira-kira dalam rangka seperti itulah, Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) yang bernama lengkap Dra GKR Wandansari Koes Moertiyah MPd itu beraksi keras ”menentang”. Karena, tidak seharusnya tokoh-tokoh penerus yang selama ini dijadikan teladan publik, justru memberi contoh-contoh cara berpikir, bersikap dan bertindak bertentangan dengan paugeran adat yang dimilikinya.
Namun, ekspresi sikapnya itu bukan bertujuan mencampuri urusan internal Keraton Jogja pada kasus penobatan ”GKR Mangkubumi”. Sebagai seorang penerus dinasti yang sudah menjadi ”public figure”, Gusti Moeng merasa ikut kecewa karena bagian penting dari kehormatan, harkat dan martabat dinasti dilanggar.
Apalagi faktanya, pelanggaran paugeran adat secara umum, jauh lebih banyak terjadi di internal masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta. dan dilakukan kalangan saudaranya seayah Sinuhun PB XII. Proses suksesi 2004, adalah awal terjadinya pelanggaran adat super berat ketika Keraton Mataram Surakarta berada di alam republik.
Pelanggaran konstitusi itu memuncak pada sekitar peristiwa April 2017 yang kasusnya campur-aduk berbagai kepentingan, karena ada campurtangan kekuasaan dan kekuatan eksternal. Pelanggaran itu dalam bentuk perusakan makna filosofi, aturan-aturan adat baku untuk berbagai keperluan, gelar kekerabatan, pelecehan makna posisi kehormatan dan sebagainya.
”Kalau soal menegakkan adat, saya tidak ada takutnya untuk melawan. Kalau saya tidak berani menegakkan adat, terus keraton ini apa maknanya? Kalau saya tidak nekat, mungkin Keraton Mataram Surakarta yang menjadi tapak peradaban terakhir sudah selesai. Biar saudara-saudara saya tidak tahu dan tidak peduli adat. Tetapi jangan sampai saya ikut-ikutan seperti itu”.
”Tetapi, gerakan penyelamatan keraton ini jangan hanya berhenti pada diri saya. Memang zamannya tidak bisa membuat nyaman, tetapi generasi muda wayahdalem sudah saatnya tampil. Karena kami-kami ini sudah memasuki usia senja,” harap Gusti Moeng.
Apa yang disebut mantan aktivis gerakan reformasi Mei 1998 itu, bahwa ”gerakan penyelamatan keraton” jangan sampai berhenti pada dirinya, tentu ada alasan yang mendasar. Setidaknya, alasan yang sulit dihindari, yaitu bahwa ada kebutuhan mendesak tampilnya tokoh-tokoh muda yang akan meneruskan membawa Keraton Mataram Surakarta bersama masyarakat adatnya menyongsong masa depan.
Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta sangat butuh tampilnya generasi muda untuk menggantikan, membawa bendera dinasti meneruskan perjalanan sejarahnya. Karena mengingat, faktor usia rata-rata semua putra/putri Sinuhun PB XII, kini sudah menginjak kepala ”6” atau 60-an tahun, bahkan selebihnya sudah menginjak kepala ”7” atau 70-an tahun.
Tetapi, kalau alasan itu masih disanggah bahwa perjuangan tidak mengenal usia, mungkin sanggahan itu masih bisa diterima. Tetapi tuntutan percepatan proses regenerasi seperti sekarang ini, harus segera dimulai atau mendesak dilakukan. Karena gelagatnya, proses penyelesaian tak memperlihatkan tanda-tanda terbuka.
Percepatan proses regenerasi itu mendesak dilakukan, karena eksistensi dinasti, pelestarian Keraton Mataram Surakarta dan jaimnan terawatnya peradaban, sangat memerlukan tokoh pejuang baru selain Gusti Moeng. Mengingat, langkah-langkah penyelesaian konflik yang terjadi sejak 2004 dan meningkat derajatnya pada 2017 itu, seakan terkesan ”dead lock”.
Alasan berikut yang juga penting agar tidak menimbulkan kecurigaan, adalah perlunya distribusi peran. Efek dari satu hal ini, akan menimbulkan banyak dampak positif, baik di kalangan generasi ”sesepuh”, generasi putra/putri Sinuhun PB XII maupun generasi wayahdalem Sinuhun PB XII. Dampak positif itu bahkan bisa mengimbas luas, yaitu datangnya kesan positif publik di luar keraton, dan boleh jadi bisa datang dari pemerintah yang selama ini terkesan ”apriori”.
”Pada dasarnya, keputusan yang diambil Gusti Moeng yang dideklarasikan beberapa waktu lalu itu, sudah baik dan tepat. Menempatkan Sinuhun (PB XIII) pada kedudukannya agar tetap dihormati dan disayangi, juga sudah tepat. Tetapi, menutup/mengakhiri gebrakan dengan cara ‘soft approach’, butuh waktu yang panjang”.
”Ini kurang baik bagi kondisi keraton yang sudah menjadi keprihatinan publik secara luas itu. Pasti akan semakin hancur, tidak terurus. Sementara, persoalannya (pertikaian-Red), belum tentu segera selesai,” ujar KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, pemerhati keraton dan budaya Jawa dari sisi spiritual kebatinan, menjawab pertanyaan iMNews.id, menyikapi perkembangan upaya-upaya penyelesaian konflik di keraton akhir-akhir ini. (Won Poerwono-bersambung)