Aksara Jawa, Pintu Masuk Pemahaman Dokumen Sejarah
IMNEWS.ID – KETIKA mencermati proses “penghapusan memori” publik tentang sejarah masa lalu yang dilakukan dunia pendidikan secara berjenjang di alam republik, khususnya selama rezim pemerintahan Orde Baru (Orba), banyak hal penting yang fundamental sebagai ciri kehidupan peradaban benar-benar nyaris hilang. Setidaknya, masih ada yang tersisa yaitu yang diwariskan melalui cara pembelajaran konvensional yang sudah berjalan turun-temurun, setelah terputus sejak generasi yang lahir di tahun 1960-an sampai muncul kembali kesadaran dan upaya penggalian kembali cirikhas fundamental itu mulai tahun 2000-an.
Sebuah proses merintis “kebudayaan baru” bagi Indonesia yang digagas sejumlah tokoh pejuang dan perintis kemerdekaan RI waktu itu, ternyata ada banyak hal yang “terlupakan” atau memang “dikehendaki untuk dihilangkan” ketika proses upaya “penghapusan memori” publik itu berlangsung melalui dunia pendidikan di segala jenjang. Padahal, beberapa dari banyak hal yang “terlupakan” itu sebenarnya adalah cirikhas fundamental warisan leluhur peradaban yang ditinggalkan untuk dipelihara generasi warga peradaban berikutnya, secara turun-temurun.
Cirikhas yang fundamental itu adalah Bahasa Jawa, aksara/huruf Jawa sekaligus sastra Jawa yang menjadi bagian dari budaya Jawa. Ketiga hal itu baru disadari menjadi sesuatu yang sangat mendasar atau kunci pintu masuk untuk mengetahui sesuatu yang ditinggalkan para leluhur peradaban. Tanpa menguasai ketiga hal itu, warga peradaban akan sangat sulit bisa mengetahui nilai-nilai fundamental karya para leluhur yang ditinggalkan generasi pewarisnya sebagai cirikhas warga peradaban.
Yang Mendirikan NKRI
Tiga hal di atas adalah bagian yang fundamental dari budaya Jawa yang telah mewarnai kehidupan peradaban sejak ratusan tahun lalu hingga kini. Karena, Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) sekaligus Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta, di depan sekitar 60 guru Bahasa Jawa SMA se-Jateng yang menjadi tamunya di ndalem Kayonan, Baluwarti, Rabu lalu (iMNews.id, 7/9) menyebut, masih ada bagian kelengkapannya sebagai sebuah peradaban bangsa yaitu (suku) bangsa Jawa, yang dulu punya wilayah tumpah-darah bernama Pulau Jawa, beserta segala persyaratan lain sebagai sebuah peradaban.
Hal penting yang selalu diingatkan Gusti Moeng dalam berbagai kesempatan itu, bukan bermaksud ingin mengingkari peristiwa 17 Agustus 1945 sebagai realitas keberadaan suku bangsa Jawa, dengan segala kelengkapannya yang sudah menjadi bagian dari NKRI sejak proklamasi kemerdekaan itu. Melainkan justru ingin menggugah kesadaran, mendorong kepedulian dan meningkatkan kecintaan warga peradaban terhadap budaya Jawa khususnya melalui pembelajaran tiga bidang itu, agar semakin memperkuat ciri kebhinekaan NKRI, mengingat Kraton Mataram Surakarta adalah kraton pertama yang menyatakan bergabung ke dalam NKRI saat mendirikan republik ini.
“Sekarang, para pemimpin bangsa ini baru sadar, bahwa kekuatan bangsa dan negara ini terletak pada budayanya yang bhineka itu. Kebhinekaan yang dipancarkan dari masing-masing kraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat yang adat di Nusantara itulah sebenarnya, yang menjadi kekuatan dan ketahanan budaya bangsa dan negara kita. Sinergi para pemimpin bangsa dengan MAKN, menjadi pijakan untuk menggelorakan kembali kecintaan warga bangsa ini terhadap budaya yang begitu beragam dan tersebar di seluruh Nusantara ini. Untuk menghadapi anasir-anasir radikal dan intoleran yang ingin merusak dan mepecah-belah bangsa dan negara ini,” tandas KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua Umum Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN), saat ikut menyambut 80-an warga Kabupaten Cilacap yang bertamu pada LDA di ndalem Kayonan, Baluwarti, 28 Agustus 2022 (iMNews.id, 28/8).
Terkecoh KAJ
Sistem pendidikan nasional yang memasukkan budaya lokal dalam kurikulum pendidikan di segala jenjang, selepas rezim pemerintahan Orba berangsur-angsur dibenahi menjadi lebih baik yang mengarah pada pendidikan karakter yang mengadopsi nilai-nilai cirikhas fundamental di masing-masing daerah yang ada di Nusantara ini. Namun, sistem pendidikan nasional sebagai kebijakan pemerintah akhir-akhir ini memang belum bisa membuat kemasan konsep yang mampu mengembalikan cirikhas fundamental budaya lokal, terutama budaya Jawa, seperti dicontohkan dengan output pendidikan tinggi yang memisahkan antara filologi, bahasa dan satra Jawa, padahal kebutuhan riil lembaga pendidikan bisa menghasilkan lulusan seperti diharapkan Pergub Jateng No 55 Tahun 2014.
Di pasal 4 Pergub No 55/2014 itu disebutkan, “Dalam kegiatan perlindungan, pembinaan, dan pengembangan bahasa, sastra dan aksara Jawa, berpedoman pada penulisan aksara Jawa dengan Wewaton Sriwedari dan pembelajaran carakan Jawa, dimulai dari aksara Jawa Dentawyanjana, sandhangan, pasangan dan angka”. Esensi dari Pergub itu adalah bentuk upaya pelestarian budaya Jawa melalui pemahaman dari dunia pendidikan terhadap satra, bahasa dan aksara Jawa yang seharusnya bisa dijadikan satu-kesatuan pengetahuan yang diajarkan di berbagai jenjang sekolah.
“Tetapi, guru-guru bahasa Jawa kita khususnya SMA, dihasilkan dari sistem pendidikan tinggi yang sudah memisahkan dalam bidang sastra, bahasa dan aksara Jawa yang masing-masing terpisah. Memang perlu persiapan ekstra bahan ajarnya, tetapi sebenarnya kesiapan yang ada sudah memenuhi kebutuhan. Mungkin hanya karena terkecoh oleh Kongres Aksara Jawa (KAJ) yang berlangsung di Jogja, belum lama ini, teman-teman guru Bahasa Jawa di Jateng ikut terpengaruh. Di situ disepakati peniadaan aksara ‘murda’. Padahal, ini penting dipahami khususnya untuk membaca naskah manuskrip, sebagai pintu masuk untuk mengerti pengetahuan yang ada di dalam naskah itu,” tunjuk KP Budayaningrat, Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng, menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi siang.
Modal Pelestarian
Sistem pendidikan nasional di segala jenjang dengan kurikulum yang mengakomodasi muatan lokal tentang budaya Jawa, memang sudah tepat ketika dipadukan dengan kebijakan melalui Pergub No 55/2014 itu, dalam upaya pelestarian ciri identitas fundamental di wilayah yang berbasis budaya Jawa. Tetapi, dengan segala plus-minusnya, sistem dengan kebijakan seperti itu tentu belum bisa menjawab semua kebutuhan dalam upaya pelestarian budaya Jawa, yang di dalamnya ada nilai-nilai dan tata nilai yang bermanfaat bagi kehidupan warga peradaban secara luas.
Untuk mencukupi semua kebutuhan guna menjawab keperluan itu, diperlukan ruang atau model pembelajaran dalam bentuk lain yang bisa dipadukan untuk melengkapi atau yang bisa dianggap sebagai kelanjutan dari jenjang pendidikan formal dari sistem pendidikan nasional. Bentuk lain model atau ruang pembelajaran itu, adalah bernama Kraton Mataram Surakarta yang memiliki sejumlah elemen yang kini dikelola Lembaga Dewan Adat. Ada beberapa elemen lembaga pendidikan nonformal milik LDA Kraton Mataram Surakarta, yang sudah membuktikan diri mampu menjawab kebutuhan dan tantangan itu.
Sinergi antara model pembelajaran seperti yang diatur dalam sistem pendidikan nasional di berbagai jenjang pendidikan dengan lembabaga-lembaga nonformal di bawah LDA, akan menjadi langkah dan strategi yang lengkap untuk menjawab kebutuhan SDM yang sadar, paham dan peduli untuk pelestarian budaya Jawa. Serta menjawab tantangan perkembangan zaman yang semakin global tetapi individual, karena LDA punya organisasi Pakasa cabang di sejumlah daerah di Jateng dan Jatim, lembaga Sanggar Pasinaon Pambiwara di sejumlah daerah, Sanggar Pawiyatan Beksa, Sanggar Pasinaon Paes – Busana Pengantin gaya Surakarta dan sebagainya yang bisa mencukupi kebutuhan “modal” pelestarian budaya Jawa. (Won Poerwono-bersambung/i1)