Juru Pranatacara, Terselip Di Antara Berkembangnya WO
IMNEWS.ID – KEHADIRAN profesi juru pranatacara atau pambiwara ata master of ceremony (MC) berbahasa Jawa, diperkirakan baru muncul belakangan menyusul tatacara upacara adat perkawinan gaya Surakarta yang lebih dulu diadopsi warga peradaban (Jawa), setelah diizinkan keluar dari Keraton Mataram Surakarta di tahun 1950-an. Menurut pemerhati budaya Jawa dari Sanggar acquistare kamagra on line Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta, KRRA Budayaningrat, ada kebutuhan yang saling menguntungkan antara keraton di satu sisi dan masyarakat luas di sisi lain, dalam proses keluarnya tatacara upacara adat perkawinan dari keraton dalam rangka pelestarian budaya tersebut (iMNews.id, 26/6).
Setelah berkembang luas di tengah masyarakat dan menjadi kebutuhan berskala nasional, baru disertai munculnya tenaga profesional di bidang itu berikut organisasi-organisasi profesinya seperti Ikatan Ahli Tata Rias Indonesia (IATRI), Haimpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia (Harpi) dan sebagainya. Kemunculan organisasi-organisasi ini, sangat bersinergi dengan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi), yang punya cabang organisasi sampai ke kabupaten/kota terutama di Jawa.
Sinergi yang terjadi antara Iwapi dengan organisasi-organisasi tata rias itu, karena kebanyakan anggota/pengurusnya adalah wanita dan bidang urusannya masuk ranah kewanitaan. Dan yang menjadikan keduanya bersinergi baik, karena ada bentuk koordinatif, edukatif dan transfer iptek serta berbagai bimbingan untuk pengembangannya, mengingat yang diurusi Iwapi jelas berbasis ekonomi usaha dan yang digeluti organisasi-organisasi itu juga bidang ketrampilan yang masuk kategori usaha jasa di sektor ekonomi kreatif.
Dalam perkembangannya kemudian (1980-1990-an), lahir pula lembaga-lembaga kursus ketrampilan di bidang rias pengantin, bahkan lebih luas lagi cakupan bidangnya, hingga banyak diterbitkan buku-buku panduan dan bimbingan karena sudah ada kesepakatan untuk pembakuan standar pengetahuan keilmuan dan terapan-terapannya di dunia jasa profesi. Maka, kemudian banyak bermunculan jasa profesi secara mandiri maupun kelompok usaha di bidang rias pengantin, lembaga-lembaga kursus (LKP) macam yang Lembaga LKP VAN yang kini dikelola Virna Eko Saputri di Kebakkramat, Karanganyar dan sebagainya.
Awal tahun 2000-an, menjadi titik awal berkembangnya zaman dan teknologi milenial yang serba digital, yang telah mampu memasuki dunia usaha jasa rias pengantin, hingga kemudian menumbuhkan ”wedding organizer” (WO), dari skala kecil yang terdapat di daerah-daerah hingga berskala besar seperti yang ada di Jakarta dan kota-kota besar lain. Sebegitu cepat lompatan perkembangan itu, tetapi basisnya tetap bertahan pada format baku tatacara upacara adat perkawinan Jawa gaya Surakarta, tetap dengan meniru sedikit yang ada di dalam Keraton Mataram Surakarta.

Sanggar Pasinaon Pambiwara
Apa yang terjadi di tahun 1990-an? Rupanya ada satu komponen dalam unit usaha jasa rias pengantin atau pengorganisasian tatacara upacara adat perkawinan gaya Surakarta itu, yaitu komponen jasa profesi juru pranatacara atau juru pamedar sabda atau juru pambicara atau MC berbahasa Jawa. Dalam perkembangan usaha jasa profesi di bidang itu, fungsi yang satu itu seperti luput dari percaturan, padahal peran dan fungsinya sangat penting dalam penerapan jasa profesi ”organizing” hajad/resepsi perkawinan, bahkan sejak pra (lamaran/tembungan) hingga pasca (ngunduh mantu).
Oleh sebab itu, begitu di tengah masyarakat mulai bermunculan aktivitas MC yang makin dibutuhkan untuk hajad/resapsi yang mewadahi tatacara upacara adat perkawinan Jawa gaya Surakarta, maka semakin pentinglah makna sosok figur MC yang mampu berbicara dan mengorganisasi upacara dengan media bahasa Jawa, bahkan ”krama inggil” (halus). Dalam catatan KRRA Budayaningrat, ketrampilan MC berbahasa Jawa itu semakin dibutuhkan mulai tahun 1990-an, dan Sinuhun PB XII mengizinkan GKR Wandansari Koes Moertiyah menginisiasi berdirinya Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Surakarta di sekitar tahun 1993.
”Setelah Sanggar Pasinaon Pambiwara berdiri, sekalian kami buat Yayasan Pawiyatan Kabudayan yang membawahi sejumlah sanggar. Termasuk Sanggar Beksa, Sanggar Pawiyatan Dalang dan sebagainya. Karena di luar ada perkembangan yang pesat dan butuh panduan pengetahuan yang baku, maka berdirinya Sanggar Pasinaon Pambiwara ini untuk menjawab kebutuhan itu”.
”Karena, keraton adalah sumber dan pusat pemeliharaan budaya/peradaban Jawa. Dan yang butuh pengetahuan itu, ternyata tidak hanya juru rias dan MC, tetapi bayak profesi lain yang butuh sekali pengetahuan ketrampilan itu,” jelas GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pangarsa Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Mataram Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini.
KRRA Budayaningrat membenarkan penjelasan Ketua Sanggar Pawiyatan Kabudayan yang dikenal dengan nama Gusti Moeng itu, bahwa Sanggar Pasinaon Pambiwara yang diketuai KPH Raditya Lintang Sasangka itu bahkan sudah bersinergi dengan sejumlah lembaga serupa lahir di tengah masyarakat, maupun cabang sanggar yang lahir di sejumlah daerah di wilayah Jateng dan Jatim yang menginduk ke keraton sebagai pusat sanggar. Di antaranya, Permadani (Semarang) dan sanggar-sanggar pasinaon ”pang” (cabang) (Kabupaten) Blitar, Malang dan Tulungagung (Jatim).

Bahasa Jawa Milik Indonesia
Mereka yang lulus dari sanggar-sanggar tersebut, adalah para perias, guru-guru SD hingga SMA terutama guru Bahasa Jawa, profesi MC atau juru pambiwara secara mandiri, para perias, lurah, camat, polisi (Babinkamtibmas), TNI (Babinsa) dan sebagainya. Dari beberapa kategori profesi itu di wilayah etnik Jawa yaitu Jateng, DIY dan Jatim, nyaris tidak ada profesi jajaran/level atau eselon tinggi seperti di lingkungan Pemda setingkat kepala dinas, Sekda atau bahkan Bupati/Wali Kota, kapolres, dandim atau para pejabat DPRD.
Oleh sebab itu, benar kata Gusti Moeng selaku Ketua Dewan Pembina Yayasan Panakawan Jateng yang diketuai Sudarmin SPd dalam beberapa kesempatan rapat di Solo belum lama ini, menyebut bahwa nyaris tidak ada anggota bahkan pimpinan DPRD di wilayah Jateng
yang katanya mengaku ”orang Jawa”, tetapi tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik dan benar. Melihat fakta dan realitas seperti ini, rupanya Sanggar Pasinaon Pambiwara dan sanggar di cabang-cabang yang tersebar di berbagai daerah, menjadi alamat yang tepat bagi kalangan profesi apa saja, apalagi yang sudah level pejabat, untuk mendapatkan pengetahuan/ketrampilan berbahasa Jawa ”krama inggil” dengan baik dan benar.
”Ya, agak memalukan kalau ngakunya wong Jawa, apalagi tugasnya di wilayah etnis Jawa (Jateng, DIY, Jatim), tetapi tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik dan benar. Ini bukan soal mengurangi rasa nasionalisme karena mengurangi penggunaan bahasa Indonesia. Tetapi, penggunaan bahasa Jawa syukur bage ‘krama inggil’, justru akan menunjukkan bahwa orang itu, tokoh itu, pejabat itu, adalah orang Indonesia tulen”.
”Karena, bahasa Jawa adalah milik Indonesia. Milik bangsa Indonesia, bukan milik bangsa lain. Siapaun orang Indonesia, apalagi orang Jawa, seharusnya bangga bisa berbahasa Jawa dengan baik dan benar. Saya kira, bahasa daerah lainpun di Nusantara ini, punya semangat demikian,” tandas Gusti Moeng.
Baik Gusti Moeng maupun KRRA Budayaningrat, sangat menganjurkan publik secara luas khususnya masyarakat etnis Jawa, tetap punya tanggungjawab untuk melestarikan Bahasa Jawa dan budaya Jawa yang menjadi induknya. Oleh sebab itu, profesi apapun khususnya juru pambiwara, juru rias sampai pada level manajer WO, sangat perlu menguasai bahasa Jawa ”krama inggil”, sebagai bahasa komunikasi bisa menunjukkan secara ”empan-papan”, penuh etika dan estetika. (Won Poerwono-bersambung)