Terbuka Komunikasi yang Konstruktif untuk Menata Lingkungan “Pendukung” Kraton (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 23, 2023
  • Post category:Budaya / Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Terbuka Komunikasi yang Konstruktif untuk Menata Lingkungan “Pendukung” Kraton (seri 1 – bersambung)
BATAS WILAYAH : Pintu masuk kawasan Kraton Mataram Surakarta di utara yang batasnya secara geografis sesuai UU BCB No 11/2010 mulai dari Gapura Gladag, secara simbolik menggambar perjalanan hidup manusia yang urut ke selatan sampai di kawasan kedhaton atau inti kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Banyak Persoalan Internal Baluwarti, Hingga Kini Belum Teratasi

IMNEWS.ID – “Negara” Mataram Surakarta yang berIbu-Kota di Surakarta Hadiningrat sejak Sinuhun PB II mendeklarasikan nama Surakarta untuk mengganti Desa Sala pada tanggal 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745, ketika menggabungkan diri ke dalam wilayah NKRI sejak 17 Agustus 1945 itu jelas menghadapi banyak persoalan secara internal selain eksternal. Masalah internal yang tampaknya “baik-baik saja” setelah kedaulatan politik dan ekonominya “diserahkan” itu, ternyata tidak demikian yang terjadi, apalagi ketika lahir peraturan tentang batas-batas wilayah cagar budaya hingga lahirnya UU Benda Cagar Budaya (BCB) No 11 tahun 2010.

Peraturan-peraturan tentang cagar budaya, cagar alam dan kepurbakalaan yang disempurnakan menjadi UU BCB No 11/2010 itu, salah satunya mengatur tentang keberadaan batas-batas fisik geografis wilayah Kraton Mataram Surakarta, termasuk semua yang ada di dalamnya. Padahal, dalam batas wilayah fisik geografis kraton yang didaftarkan untuk dilindungi UU BCB itu, mulai dari gapura pintu masuk Gapura Gladag hingga gapura pintu masuk Gapura Gading, yang luasnya total ada 90-an hektare. Sementara, wilayah kraton yang dibatasi tembok Beteng Baluwarti, luasnya kurang lebih ada 9 hektare.

TEMBOK BALUWARTI : Pemandangan lingkungan di dekat Kori Brajanala Kidul mulai tampak tertata kawasan pedestrian dan sarana kegiatan UMKMnya, sebagai tanda-tanda bahwa warga atau kehidupan di dalam tembok Baluwarti mulai menyesuaikan diri dengan eksistensi kawasan inti Kraton Mataram Suraakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Mengenai masalah batas wilayah dan jenis serta jumlah bangunan yang ada di dalamnya, sudah tegas dijelaskan dalam peta geografis yang sudah terdokumentasi dalam dokumen-dokumen manuskrip maupun yang kemudian dibuat sesuai teknologi pemetaan modern, yang semuanya sudah tersimpan di dalam kraton. Dan soal batas wilayah serta isi bangunan di kawasan yang dilindungi UU BCB itu, tersusun sesuai struktur bangunan kraton menurut filosofinya yang digambarkan sebagai perjalanan hidup manusia dari lahir dengan simbol Gapura Gladag dan akhir kehidupannya dengan simbol Alun-alun Kidul dan Gapura Gading.

Letak geografis serta batas-batas wilayah kraton secara umum termasuk segala jenis bangunan pengisinya, hingga kini masih menyimpan permasalahan terutama yang berkaitan bentuk perlindungan riil yang diberikan UU BCB No 11/2010 oleh negara. Karena, sebagai bentuk penjaminan secara detil yang menyangkut pembidangan dan level-levelnya, harus dijelaskan dalam aturan pelaksanaan sesuai bobot tingkatannya, yaitu mulai dari Perda Rata Ruang di tingkat Pemkot (Surakarta), hingga level dan bobot perlindungan/aturan yang menjadi porsi Pemprov (Jateng).

NDALEM SURYAHAMIJAYAN : Kompleks ndalem Suryahamijayan yang tampak berbeda dari kondisi bangunan di sekelilingnya di dalam tembok Baluwarti, konon sudah beralih tangan di tahun 1990-an, bahkan diduga sudah ada SHM-nya. Sebuah kesalahan besar telah terjadi di lingkungan kawasan cagar budaya yang perlu diselesaikan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Selain kawasan dan struktur bangunan yang ada di dalamnya, ada manusia atau warga yang tinggal di dalam kawasan terutama yang dibatas tembok Beteng Baluwarti (Boulevard-Red), baik keluarga pemimpin adat atau “raja” dan keluarganya yang tinggal di dalam batas kawasan “kedhaton” maupun masyarakat yang tinggal di dalam beteng yang menjadi wilayah administratif pemerintahan Kelurahan Baluwarti. Faktor atau unsur manusianya ini sangat penting, ketika berbicara tentang kraton yang disebut sudah “diatur” dengan UU BCB No 11/2010, karena kehidupan yang ada di dalam kawasan “kedhaton” membutuhkan daya dukung kawasan Baluwarti terutama manusia yang ada di dalamnya, begitu pula sebaliknya.

Dan ternyata, perjalanan NKRI yang sudah 78 tahun apalagi telah menghasilkan adanya UU BCB No 11/2010, hingga kini belum mampu mengatasi dan menyelesaikan satu persoalan yang menyangkut eksistensi manusia di dalam tembok Baluwarti itu yang terbagi menjadi warga kelurahan dan keluarga “raja” atau pemimpin adat itu. Padahal, jaminan dan aturan yang menyangkut kehidupan mereka di dalam wilayah cagar budaya itu sangat penting dan sangat urgen untuk ditetapkan aturannya, serta dijaga dan diawasi pelaksanaan aturannya.

MASIH TERPURUK : Meski masih terkesan tampak terpuruk dan mangkrak, kompleks “Ndalem Ngabean” di dalam tembok baluwarti ini diduga juga terkait alih tangan kepemilikan “ndalem Suryahamijayan” yang disebut-sebut dilakukan dari “keluarga Cendana”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Jaminan peraturan dan pelaksanaannya bagi kehidupan di kawasan Kraton Mataram Srakarta dalam batas tembok Baluwarti saja yang hingga tidak jelas, telah memunculkan banyak persoalan yang semakin rumit dan sulit diatasi. Realitas sikap masyarakat Kelurahan Baluwarti termasuk pamong wilayahnya yang terkesan saling merasa “tidak punya urusan satu sama lain” dalam waktu yang sangat panjang hingga kini, telah melahirkan berbagai bentuk pelanggaran aturan perundangan terutama yang menyangkut perlindungan kawasan dan benda cagar budaya (BCB), pelanggaran status domisili, pelanggaran peruntukan dan sebagainya.

Beberapa bentuk pelanggaran itu, di antaranya status kompleks “ndalem Ngabehan” dan “ndalem Suryahamijayan” yang diduga berubah menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama figur yang disebut-sebut dari “keluarga Cendana” yang terjadi di saat-saat terakhir Sinuhun PB XII jumeneng nata (1945-2004). Peralihan hak atas sebidang tanah dan bangunan di dalam kawasan dalam tembok Baluwarti atau kawasan “pendukung” kawasan “kedhaton” ini, adalah bentuk pelanggaran dan kesalahan besar terhadap eksistensi simbol peradaban dalam kapasitas apa saja, baik yang diatur dengan UU khusus maupun sistem tata-nilai “paugeran adat”.

TAK BERCIRI : Maju selangkah saja dari Kori Butulan Wetan untuk memasuki dalam tembok Baluwarti dari arah timur, kanan-kiri gang yang tampak padat pemukiman, nyaris tidak mengesankan sebagai bagian dari kompleks Kraton Mataram Surakarta yang luasnya 9 hektare itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Bentuk kesalahan dan pelanggaran lainnya, adalah pengurukan dan penutupan kolam yang lumayan luas di sisi selatan (tenggara-Red) kawasan Baluwarti yang dilakukan warga penghuni setempat antara tahun 1970-1980-an, yang kemudian dijadikan pemukiman semakin padat dari waktu ke waktu, dengan gaya bangunan sangat beda dengan yang ada di bagian lain dalam tembok Baluwarti. Padahal, kolam terbuka itu sebenarnya adalah penampung limbah yang dihadilkan dari rumah tangga kraton dan keluarga-keluarga kerabat yang tinggal di sekitar kraton, setelah melalui proses pengolahan, airnya yang sudah tidak berbahaya bagi lingkungan baru dibuang ke saluran umum yang ada di luar tembok Baluwarti.

“Jadi, air limbah rumah tangga dari seluruh penghuni Baluwarti, ada salurannya yang masuk ke kolam itu. Kalau tidak salah, kolam pengolah limbah itu dibangun di zaman Sinuhun PB X, yang sudah menggunakan teknologi modern pengolahan limbah rumah tangga, waktu itu. Tetapi, suasana kehidupan dari waktu ke waktu seakan tidak mau melihat pentingnya prasarana itu. Akhirnya malah diuruk, ditutup dan tumbuh bangunan pemukiman seperti yang bisa kita lihat sekarang ini,” tutur KRMH Saptonojati, sentanadalem yang berdinas di Kantor Pengageng Kusuma Wandawa, tinggal di lingkungan Baluwarti, saat ngobrol dengan iMNews.id di Bangsal Smarakata, belum lama ini. (Won Poerwono-bersambung/i1)