Ki Purbo Mengenang dengan Wayang Gender, Cak Diqin Melepas dengan Lagu
IMNEWS.ID – SUASANA pandemi Corona atau ”Pageblug Mayangkara” seperti sekarang ini, ternyata menguji penalaran dan perasaan/nurani manusia secara umum. Terlebih bagi kalangan masyarakat etnik Jawa kebanyakan, termasuk kalangan seniman tradisional. Mereka harus menggunakan akal sehatnya untuk tidak menuruti kelumrahan yang biasa dilakukan sebagai bagian dari adat tradisinya, yaitu mencari cara lain yang bijak untuk tidak melakukan kontak secara fisik.
Bagi warga peradaban Jawa dan lebih luas lagi di Nusantara ini, menahan diri untuk tidak melayat kerabat yang meninggal, apalagi kerabat itu adalah tokoh sekelas dalang terkenal Ki Manteb Soedarsono (iMNews.id, 2/7), masing-masing pribadi bisa menilai dirinya sebagai sikap yang kurang toleran, tidak lumrah atau kurang baik. Tetapi, kelumrahan itu terpaksa tidak dilakukan karena memang ada larangan keras yang dikeluarkan Satgas Penanganan Covid 19 berupa aturan protokol kesehatan, yang melarang tiap orang bersentuhan secara fisik, seperti yang dimaksud dalam 5 M (memakai masker, mencuci tangan, menghindari kerumunan dan sebagainya).
Meski kelumrahan untuk menyampaikan duka cita atau melayat secara langsung dilarang, masih ada saja kearifan ”wong” Jawa terutama di kalangan keluarga besar seniman dalang itu sendiri. Banyak cara yang bisa menunjukkan kearifan diberikan sebagai tanda dukacita, apalagi atas meninggalnya Sang Maestro Sabet, Ki Manteb Soedarsono, mulai dari ucapan melalui telepon langsung, lewat SMS, WA maupun dalam bentuk karangangan bunga yang dikirim ke rumah duka.
Tetapi bagi seniman dalang seperti Ki Purbo Asmoro, kearifan untuk toleran dan lumrah itu bisa diwujudkan dalam bentuk ekspresi seni di bidang profesinya. Karena, begitu kabar duka datang Jumat pagi, 2 Juli sekitar pukul 10.00 WIB itu, setelah diputuskan tidak datang melayat, malamnya langsung menggelar pentas wayang di kediamnnya, Kampung Gebang, Kadipiro, Banjarsari, Solo.
Pentas wayang yang dilakukan dalang cerdas pemilik Sanggar Pedalangan Mayangkara ini cukup unik, karena semua dilakukan secara tunggal atau sendiri dan hanya menggunakan instrumen gamelan tunggal yaitu ”gender”. Jenis seni pertunjukan yang diberi nama ”Wayang Gender” itu, adalah murni penemuannya di awal pandemi Corona melanda Indonesia, sekitar bulan Mei 2020, sebagai kreativitas dan cara menyiasati keterbatasan akibat ”Pageblug Mayangkara”.
”Jadi, begitu siang saya tidak bisa datang melayat akibat protokol kesehatan itu, saya putuskan untuk menggelar ‘umbul donga’ (doa) berupa pentas ‘Wayang Gender’, hasil temuan saya di awal pandemi 2020. Saya ambil lakon ‘Abiyasa Muksa’, saya gelar dalam durai 90 menit. Ini sebagai bentuk rasa kehilangan, rasa hormat, rasa cinta, doa untuk mengantar dan segala rasa dalam paseduluran sebuah keluarga besar dalang terhadap almarhum,” ungkap dalang profesional terkenal sekaligus dosen jurusan pedalangan ISI Solo itu, menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi pagi.
Dilukiskan Begawan Abiyasa
Lakon ”Abiyasa Muksa”, dipilih mantan ketua Pepadi Cabang Surakarta (2014-2018) itu karena sosok almarhum Ki Manteb Soedarsono diibaratkan seorang Begawan Abiyasa yang menjadi leluhur keluarga Pandawa, sebagai sosok sesepuh berilmu, bijak, cerdas dan punya kepekaan sosial yang tinggi. Lakon ”Abiyasa Muksa”, untuk melukiskan Sang Maestro Sabet yang meninggal tidak begitu menyusahkan keluarga yang ditinggal maupun orang lain.
Seperti diketahui, Ki Manteb Soedarsono meninggal di usia 73 tahun pada Jumat (2/7), karena sedang menjalani isolasi mandiri di kediamannya Desa Sekiteran Doplang, Kecamatan Karangpandan, Karanganyar, akibat terdeteksi posotif Covid 19. Karena riwayat penyakit paru-paru yang diderita, membuatnya tidak tertolong saat menderita positif Covid 19, hingga dilukiskan meninggal secara ”muksa” dalam dunia pakeliran wayang kulit purwa.
Keunikan cara melepas sesama seniman yang ”pergi” mendahului menghadap Sang Khalik, memang terdengar tidak bayak dilakukan khusus untuk ”kepergian” Ki Manteb Soedarsono ini, karena situasi dan kondisi pandemi memang mengharuskan pembatasan aktivitas secara ketat. Selain Ki Purbo Asmoro yang menggelar pentas bersolo karir ”Wayang Gender”, ada seniman campursari Cak Diqin dan istrinya Nyi Lestari Nyimut yang juga berekspresi sebagai doa pengantar dan ucapan selamat jalan kepada Ki Manteb.
Melalui channel Youtubenya yang diunggah Sabtu (3/7), penyanyi campursari yang kini sedang produktif menyebarluaskan karyanya lewat medsos itu, langsung mencipta lagu berjudul ”Sugeng Tindak Ki Manteb”. Lagu yang sejenis dengan ciptaan sebelumnya ketika melepas meninggalnya dalang terkenal asal Jogja, Ki Seno Nugroho dengan judul ”Wilujeng Tindak Ki Seno”, beberapa bulan lalu, sebagai wujud ikatan persaudaraan yang erat, karena sebagai penyanyi sekaligus pelawak, Cak Diqin dan istrinya sering diundang berkolaborasi dalam pentas wayang kulit, termasuk pentas Ki Manteb.
Kenangan Ki Manteb, memang banyak dimiliki Ki Purbo Asmoro (60), dalang wayang kulit purwa klasik yang terkenal pada generasi di bawah generasinya almarhum. Selain terkenal di wilayah ”pasar” masing-masing, antara keduanya juga memiliki kehangatan dengan para seniman dalang lainnya, yang tergabung dalam sebuah keluarga besar seniman dalang yang disebut Paguyuban Dalang Surakarta (Padasuka).
Menunjukkan Banyak Keanehan
Meski sama-sama sebagai dalang wayang kulit purwa klasik, tetapi di antara keduanya memiliki cirikhas yang berbeda, yang membuat masing-masing memiliki wilayah ”pasar” agak berbeda atau paling sedikit titik himpitan atau singgungannya. Inilah yang membuat publik secara luas atau pecinta seni pertunjukan wayang kulit purwa, sering dipersepsikan memiliki daya saing yang sama karena masing-masing memiliki kekuatan kualitas dan cirikhas kemampuannya.
”Kalau bertemua dalam sarasehan atau arisan dalang (Padasuka), itu jelas biasa dan sering. Saya berkunjung ke rumahnya karena berbagai keperluan, misalnya pentas weton Selasa Legen, juga sering dan biasa. Yang tidak biasa, ketika mas Manteb datang ke rumah saya di luar beberapa keperluan itu. Bahkan beliau minta duet dengan saya, tapi bikin talk show untuk konten Youtube. Judulnya, ‘Bincang-bicang Dua Dalang Hebat”. Durasinya sampai 2 jam, apa enggak hebat sekaligus aneh”.
”Itu terjadi beberapa bulan sebelum beliau meninggal. Setelah saya ingat-ingat, ya aneh juga, kok mas Manteb tiba-tiba ke rumah saya hanya untuk bikin konten itu. Padahal, sebelumnya tidak pernah. Bukan karena ada pandemi, tetapi sebagai tokoh yang saya tuakan dan saya hormati, kalau sebelumnya ada rencana seperti itu, pasti saya yang lebih dulu datang ke rumah beliau,” papar Ki Purbo, mengisahkan kedatangan Ki Manteb yang secara tiba-tiba, kira-kira bulan Mei-Juni lalu, hanya untuk bikin konten itu.
Materi yang diperbincangkan dalam channel Youtube Ki Purbo itu memang menjadi hal terpisah yang menarik untuk dicermati, mengingat kedua tokoh dalang terkemuka di Tanah Air sampai saat ini bisa duet dalam talk show dan dilihat publik secara luas melalui aplikasi medsos itu, sepertinya baru sekali itu. Di sisi lain, kedatangan Ki Manteb ke rumahnya dipandang sebagai keanehan yang baru mendapatkan jawaban setelah ada kabar duka meninggalnya Sang Maestro Sabet itu.
Kenangan lain yag sangat berkesan dan membuat keanehan sebelum Sang Maestro Sabet ”pergi”, adalah ketika berlangsung halal-bihalal di kediaman almarhum (Desa Sekiteran Doplang, Kecamatan Karangpandan, Karanganyar), beberapa saat setelah Lebaran lalu, masih di bulan Syawal. Tiba-tiba saja, sang tuan rumah yang tak lain adalah almarhum, saat berdiri untuk berpidato sambutan langsung mengajak Ki Purbo berdisi di sampingnya, dan bergantian atau gayung-bersambung memberikan pidato yang biasanya dibawakan secara santai, penuh kelakar.
Tetapi, Ki Purbo agak terhenyak karena Ki Manteb banyak melontarkan kritik terhadap suasana pandemi dan cara-cara mengatasinya yang lebih banyak dilakukan penguasa. Karena mungkin dirasa terlalu pedas atau tajam, maka Ki Purbo berusaha ikut menjelaskan atau mengkaburkan hal-hal yang dianggap tajam dan pedas mengenai perkembangan terakhir pandemi, seperti yang dilontarkan kepada iMNews.id di sela-sela pentas ”climen” pada Mei-Juni 2020.
”Hal-hal tajam dan pedas seperti itu yang tiba-tiba muncul dan sempat membuat saya aneh. Karena tidak punya prasangka apa-apa, ya saya selalu menyusuli membuat landai pernyataan-pernyataan itu. Eee.. ternyata, keanehan itu juga pertanda. Saya yang enggak peka, karena enggak nggagas,” jelas Ki Purbo lagi. (Won Poerwono-bersambung)