Pertunjukan Seni yang Sedang Marak di Kalangan “Rakyat Bawah”, “Menghibur Diri” di Saat-saat Sulit? (seri 4 – habis)

  • Post author:
  • Post published:June 1, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Pertunjukan Seni yang Sedang Marak di Kalangan “Rakyat Bawah”, “Menghibur Diri” di Saat-saat Sulit? (seri 4 – habis)
NILAI SAKRAL : Setiap upacara adat yang digelar masyarakat di wilayah Budaya Jawa khususnya Kraton Mataram Surakarta macam ritual "Sesaji Mahesa Lawung" ini, ada nilai-nilai sakral sebagai simbol keagungan sebuah upacara adat yang seharusnya menjadi kebanggan masyarakat adatnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dana Desa Rp 1 M (per-Tahun) “Seharusnya Bisa Membuat” Kehidupan Seni Budaya Ideal

IMNEWS.ID – DALANG terkenal yang juga dosen jurusan pedalangan ISI Surakarta, Ki Purbo Asmoro, menyebut bahwa “matinya” kegiatan pelestarian berbagai jenis seni budaya terutama pentas wayang kulit, umumnya di wilayah perkotaan, salah satunya karena ada aliran tertentu yang menolak. Tetapi penolakan itu masih bisa “disiasati” masyarakat di luar Kota Surakarta.

Seperti disinggung di tulisan seri sebelumnya (iMNews.id, 29/5), salah satu siasat masyarakat desa untuk bisa menyajikan pentas berbagai kesenian tradisional setempat utamanya wayang kulit, yaitu dengan “urunan” antar di antara warga yang sedang menggelar ritual “Bersih Desa” atau “Bersih Kubur”. Sebagai catatan, bukan pemerintah desa yang “membiayai”.

Kalau dalam konteks yang membiayai atau “nanggap” wayang dan berbagai kesenian adalah masyarakat, maka di satu sisi masih ada aspirasi dari masyarakat untuk melestarikan seni budaya Jawa yang “babon” keseniannya bersumber dari Kraton Mataram Surakarta itu. Kalau di luar itu “pasar hiburan” masih ramai, bisa dipastikan karena “ditanggap” warga secara pribadi.

Dengan siasat seperti itu, masyarakat di sekitar Kelurahan Bibis, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta yang sudah lama punya  tradisi “Bersih Sumur Mbah Meyek” dengan kirab dan “nanggap” wayang kulit, seharusnya hingga kini masih melakukan. Tinggal bagaimana sikap pemerintahan kelurahan setempat, apakah bisa mendukung atau malah setuju dengan “aliran yang melarang” itu?.

MENJADI CONTOH : Tradisi ritual “Keduk Beji” atau menguras sendang rutin tiap tahun yang dilakukan masyarakat adat di sebuah desa di wilayah Pakasa Cabang Ngawi, bisa menjadi contoh cara-cara menjaga kearifan lokal dan keagungan upacara adat Jawa itu. Apalagi, di tempat itu selalu digelar pentas wayang kulit. (foto : iMNews.id/Dok)

Kalau uraian di atas adalah menjelaskan konteks masyarakat atau “pasar” yang menyiasati cara membiayai kegiatan kesenian, berikut adalah konteks seniman atau para pelaku kesenian yang “menyiasati” agar produk keseniannya tetap laku di “pasar hiburan”. Jadi, penyesuaian produk kesenian terhadap “keinginan” pasar hiburan, tidak murni dari para seniman pelaku.

Dalam konteks menyiasati produk kesenian, gagasannya justru banyak datang dari para “penanggap atau pasar hiburan yang bisa disebut “trend”. Oleh sebab itu menjadi jelas, bahwa kalangan seniman yang berada di balik kesenian atau para pelaku seni itu, yang telah “mengeksekusi” format produk kesenian hingga menjadi sesuai yang diinginkan pasar atau trend yang ada.

Dengan begitu ketika dianalisis lebih jauh, para seniman/pelaku senilah yang sudah “merelakan” berbagai jenis seni yang sebelumnya megah dengan nilai-nilai dari simbol-simbol keagungan estetika dan etikanya, kini menjadi sekadar hiburan sesaat. Tinggal seni yang sudah “dipenggal” ciri-ciri sakral, spiritual dan religi yang menjadi sifat-sifat adiluhungnya.

Semula, banyak pihak senang mendengar pemerintah pusat mengalokasikan dana dari APBN tiap desa sebesar Rp 1 M. Karena, pasti bisa diberharapkan untuk membiayai kegiatan memperkuat karakter warga desa di bidang ketahanan budaya. Berbagai kegiatan pelestarian seni budaya bisa dibangkitkan kembali, tetapi ternyata demikian kenyataan yang terjadi di desa-desa.

WAYANG RUWAT : Di antara sejumlah kesenian tradisional yang bersumber dari Budaya Jawa, jenis wayang kulit khusus untuk ritual “Ruwat”, sudah nyaris hilang dari muka bumi Jawa apalagi Indonesia. Padahal, jenis kesenian yang bertema upacara adat ini, simbol keagungan masyarakat yang erat dengan spiritual religinya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Betul. Dana desa itu jarang yang dimanfaatkan untuk kegiatan yang berkait dengan pelestarian budaya. Yang terjadi di Jawa Timur sana, rata-rata bukan untuk kegiatan itu. Jadi, keberadaan berbagai kesenian tradisional termasuk wayang, semakin hilang dari desa-desa di Jateng dan Jatim. Tetapi, kalau kesenian tertentu, masih ada. Walau hanya sebatas untuk upacara”.

“Jadi, dalam pandangan saya, berbagai kesenian Jawa sudah sangat berkurang. Baik pertunjukan yang ditanggap maupun jumlah dan jenis keseniannya. Kalau masih ada, yang tinggal formalitas saja. Ada 5 jenis faktor penyebab perubahan seni. Yaitu yang alat pengerahan sosial, seremonial, spiritual religius, keperluan kultural dan seni bersponsor,” ujar Dr Purwadi.

Ketika dianalisis lebih jauh, maraknya “pasar hiburan” berbagai kesenian di luar wilayah Surakarta dan jauh di luar Jateng, ternyata bukan dana desa yang menjadi salah satu “faktor positif”. Melainkan diduga sebaliknya, dana desa banyak dimanfaatkan jauh di luar upaya memperkuat ketahanan budaya, atau tak ada hubungannya dengan pelestarian seni budaya.

Harapan alokasi dana desa yang “tak bisa terwujud” untuk berbagai bentuk kegiatan dalam upaya pelestarian budaya lokal yang bersumber dari Budaya Jawa, itu berarti masuk dalam konteks “penanggap” atau “pengguna” atau “pasar hiburan”. Dan ini menjadi pembenaran atau jawaban atas maraknya “pasar hiburan” di kalangan rakyat bawah pada situasi ekonomi lesu, kini.

UNTUK KESENIAN : Dana desa Rp 1 milyar berasal dari APBN untuk tiap desa, seharusnya sebagian dialokasikan untuk berbagai upaya pelestarian jenis-jenis kesenian yang dimiliki Pakasa Cabang Trenggalek (Jatim) itu. Karena, dengan begitu ketahanan budaya di tingkat desa bisa terwujud. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Artinya, beberapa jenis kesenian tradisional dan musik dangdut (modern) masih “laris-manis” di “pasar” saat daya beli masyarakat sangat rendah, kini, hanya karena potensi pribadi warga dan urunan masyarakat desa. Lembaga desa sebagai “satu-satunya” harapan, ternyata rata-rata “membelanjakan” dana desa untuk pembangunan “fisik” dan nonfisik bukan seni.

Peta perjalanan berbagai jenis kesenian yang bersumber dari Budaya Jawa ini, mungkin sudah tidak ada lagi pihak yang bisa diharapkan untuk membuka peluang upaya melestarikannya. Karena, lembaga desa yang diharapkan menjadi “benteng terakhir” menjaga ketahanan budaya di tingkat desa sebagai tangan panjang pemerintah, sudah tidak bisa diharapkan atau diandalkan.

Benteng terakhir dalam konteks pelestari sekaligus pemilik dan penanggap maupun “pasar” yang akan menjaga “nyala” semangat seni budaya Jawa, tinggal di tangan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, terutama elemen Pakasa cabang. Karena, masyarakat adat Jawa-lah yang paling bertanggung-jawab atas eksistensi Budaya Jawa, sebagai sumber berbagai jenis kesenian itu.

Masyarakat adat Jawa yang menjadi elemen daya dukung legitimatif Budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, punya tanggung-jawab menjaga kelestarian dan nilai-nilai dari semua simbol keagungannya. Elemen Pakasa yang punya sebaran sangat luas di tengah publik bangsa ini, wajib menjaga nilai-nilai dan simbol-simbol adiluhung semua seni budaya Jawa.

MENGURANGI TAWURAN : Seharusnya, dana desa Rp 1 milyar dari APBN itu bisa dialokasikan untuk pembinaan kesenian tradisional di kalangan generasi muda seperti yang dilakukan Pakasa Cabang Banjarnegara, agar energinya tak disalurkan untuk “tawuran” dan “keluyuran” seperti yang belakangan terjadi di beberapa daerah. (foto : iMNews.id/Dok)

Oleh sebab itu, kesadaran pada kewajiban dan tanggung-jawab itu, sangat penting, perlu dan mendesak diedukasikan kepada semua warga Pakasa. Seterusnya, warga Pakasa harus bisa mengedukasi soal kewajiban dan tanggungjawab pelestarian kepada masyarakat di lingkungannya. Jangan menjadi sebaliknya, ikut hanyut oleh pengaruh aliran, pasar dan trend yang “merusak”.

Warga Pakasa harus menjadi “pasar” atau konsumen setiap kesenian tradisi produk Budaya Jawa yang ramah, arif dan bijak. Bukan ikut arus masyarakat yang bangga dengan “trend”, tetapi tega mengeksekusi simbol-simbol keagungan seni budaya Jawa. Warga Pakasa adalah “pemilik” seni Budaya Jawa beserta segala kaidahnya, bagian masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta. (Won Poerwono – habis/i1)