Tak Akan Bisa Melihat Keniscayaan Eksistensi Berbagai Organisasi Pergerakan
IMNEWS.ID – UNTUK “kali pertama”, peringatan ultah (HUT) organisasi Putri Narpa Wandawa digelar di Pendapa Sasanamulya, yaitu perayaan genap usia 94 tahun yang digelar Bebadan Kabinet 2004, 5 Juni 2025. Lokasi kompleks “ndalem” yang sering menjadi ajang tatacara pengantin dan persemayaman jenazah keluarga kerabat, diketahui sudah terjadi sejak Sinuhun PB XI.
Tentang kompleks Pendapa Sasanamulya yang kini terdapat beberapa macam fasilitas pendukung dan pemukiman sebagian warga Baluwarti itu, bisa menjadi bahasan khusus lebih panjang-lebar pada kesempatan lain. Tetapi, peristiwa peringatan ultah organisasi Putri Narpa Wandawa di lokasi pendapa itu sebagai ajang, menjadi bahasan menarik untuk diungkap ke publik.
Sebelum sampai pada bahasan tentang eksistensi organisasi Putri Narpa Wandawa, ada beberapa peristiwa berkait dengan peringatan ultah maupun lepas di luar konteks itu. Yaitu inti pernyataan istri Wali Kota Surakarta bernama Nyonya Venesia Respati selaku Ketua TP PKK Kota Surakarta, di antara isi sambutannya pada peringatan ultah ke-94 Putri Narpa Wandawa itu.
Disebutkan, karena mendapat undangan dari panitia ultah ke-94 Putri Narpa Wandawa dan hendak menghadirinya, dia sempat mencari tahu soal organisasi itu di internet. Ketika melakukan “googling” didapat data, bahwa Putri Narpa Wandawa adalah organisasi pergerakan wanita yang diinisiasi Sinuhun PB X (1893-1939) di “negara” (monarki) Mataram Surakarta, 5 Juni 1931.

Melihat data-data sejarah itu, Ketua Tim Penggerak (TP) PKK Kota Surakarta itu menyatakan “terkesima”, karena ternyata sudah ada organisasi pergerakan wanita lahir dari Kraton Mataram Surakarta, sebelum tahun 1945. Organisasi wanita yang lahir dari Mataram Surakarta sebagai “negara” (monarki), bertujuan untuk ikut berjuang merintis kemerdekaan dan lahirnya RI.
Ketika dicermati dan dianalisis lebih lanjut, pernyataan Venesia Respati itu tentu melahirkan beberapa makna. Yang pertama ada sikap natural tiap orang yang selalu ingin tahu atau bertambah pengetahuan dengan terus mencari dan “belajar”. Kedua, ekspresinya setelah mengetahui ada fakta dan data sejarah itu, menunjukkan realita sebagai representasi publik secara luas.

Makna representasi publik itu positif, walaupun terbagi ke dalam berapa persen yang menunjukkan realitas ketidaktahuannya dan berepa persen seandainya masuk katagori tidak/kurang peduli terhadap fakta dan data sejarah itu. Hal seperti ini memang bisa dibuktikan dengan penelitian, mengingat rata-rata publik secara luas segenerasinya berada pada posisi “awam”.
Selain ekspresi istri Wali Kota Surakarta itu, ada ekspresi KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro selaku salah seorang trah darah-dalem Sinuhun PB V dan PB X. Ekspresinya tentu berbeda, sudah sejak lama dirasakan, tetapi baru belakangan terasa semakin tidak wajar, bahkan sampai menyentuh hak tentang rasa keadilan yang seharusnya juga dirasakan.

Ekspresi yang menyentuh rasa keadilan itu, adalah perlakuan kekuasaan sejak zaman rezim pemerintahan Orde Lama, Orde Baru sampai memasuki Orde Reformasi dan orde “kebebasan” hingga kini. Karena kekuasaan selalu “menjauhkan” negara dan bangsanya dari kewajiban memberi rasa keadilan, sebagai pengakuan dan penghargaan atas peran dan jasa eks “negara” Mataram Surakarta.
KPP Nanang Soesilo banyak menunjukkan contoh, misalnya inisiasi bersama Bebadan Kabinet 2004 Kraton Mataram Surakarta dan Pemkab Boyolali dalam membangun patung Sinuhun PB VI dan mengabadikan nama Pahlawan Nasional sebagai nama “Jalan Simpang PB VI” di objek wisata Selo, Boyolali. Juga membangun patung Sinuhun PB X di Pesanggrahan Pracimoharjo, Paras, Boyolali.
“Tetapi anehnya, mengapa di Kota Surakarta yang pernah menjadi Ibu Kota ‘negari’ Mataram Surakarta kok tidak ada satupun patung Pahlawan Nasional dari Kraton Mataram Surakarta?. Mengapa tidak ada satupun nama Pahlawan Nasional dan para tokoh penting dari kraton, yang menjadi nama jalan penting di Kota Surakarta?. Padahal, yang tidak penting justru bertebaran”.
“Setelah saya merasa-rasakan, kok sependapat dengan pihak-pihak yang menyatakan bahwa penguasa sebenarnya tidak hanya mengabaikan peran dan jasa Kraton Mataram Surakarta dan para tokoh pentingnya. Tetapi sebenarnya penguasa sudah sejak lama tidak menginginkan Kraton Mataram Surakarta ada, bahkan berusaha menghapus ingatan bangsa ini tentang peran dan jasanya.

Proses delegitimasi dan upaya penghapusan memori publik dari kebesaran, peran dan jasa eks “negara” Mataram Surakarta dan para tokoh pentingnya itu, seakan “direpresentasi” oleh istri Wali Kota Surakarta Respati Ardi yang merasa heran dan “terkesima” itu. Karena ini bisa menandakan, generasi seusianya rata-rata “awam” soal sejarah kraton oleh berbagai sebab.
Generasi bangsa seusia Venesia Respati itu “terkesan awam” soal kebesaran, peran dan jasa kraton dan para tokoh pentingnya, bisa dimaknai karena memang tidak pernah diedukasi melalui berbagai jenjang pendidikan oleh negara. Atau karena menjadi bagian dari kekuasaan yang punya komitmen untuk tetap konsisten memegang “janji” para pendahulunya.
Yaitu “janji” untuk menghapus memori publik dari kebesaran, peran dan jasa kraton serta para tokohnya. Dan janji untuk selalu menghapus dan menutup jejak-jejak Mataram Surakarta (1745-1945). Karena begitu banyak hal positif dan bermanfaat yang masih dirasakan peradaban bangsa di NKRI hingga kini. Dan inilah yang membuat Putri Narpa Wandawa “tak dikenal”?.
Seperti diriwayatkan Gusti Moeng ketika memberi sambutan di ajang peringatan ultah ke-94 Putri Narpa Wandawa, Kamis (5/6) kemarin, bahwa organisasi itu lahir karena zaman Sinuhun PB X jumeneng nata, “sangat membutuhkannya”. Kelahirannya pada 5 Juni 1931, lebih dulu sekitar setengah tahun sebelum organisasi Pakasa dilahirkan pada 29 November 1931.

Karena era zaman Sinuhun PB X berada pada era perubahan tatanan dunia secara sosial, politik, ekonomi, budaya dan teknologi industri, maka lahirnya beberapa organisasi melalui “negara” Mataram Surakarta menjadi keniscayaan. Karena, Sinuhun “ingkang minulya lan ingkang wicaksana” itu, membutuhkan aktivitas gerakan untuk merintis lahirnya “negara” baru.
Keniscayaan lahirnya organisasi Putri Narpa Wandawa, sebenarnya gabungan dari dua organisasi Putri Narpa untuk kaum wanita dan Narpa Wandawa untuk kaum lelaki. Secara detil fungsional memang belum ada data yang menjelaskan, tetapi Pakasa yang lahir sekitar 6 bulan kemudian, juga sebagai keniscayaan banyaknya pilihan bagi para “kawula” atau rakyat untuk berjuang. (Won Poerwono – bersambung/i1)






