Multi Tafsir Paugeran Adat yang Menjadi Konstitusi Dinasti Mataram (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 28, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Mencari Pembenaran untuk Kepentingan Pribadi dan Menjalankan Misi Meniadakan

iMNews.id – BEBERAPA hal yang disampaikan seorang kerabat yang bergelar ”KP” dalam postingan di akun pribadinya di medsos, terarah pada masalah hukum adat (gelar dan organisasi) yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu, bahkan disebutkan contohnya mulai Sinuhun PB IX hingga PB XII. Secara tersirat ingin disampaikan, bahwa perubahan hukum adat itu sangat ditentukan oleh siapa figur pemimpin adat atau ”rajanya”, sehingga kerabat yang menyandang gelar ”anon-anon’ (pemberian) itu mempertanyakan ”hukum adat yang mana”? dan ”hukum adat siapa”?

Pernyataan ”kerabat” yang muncul di medsos itu, sepanjang penelusuran iMNews.id karena sebelumnya medsos dibanjiri oleh berita dan postingan dari adanya sejumlah peristiwa dan kegiatan yang muncul di Keraton Mataram Surakarta. Pemberitaan masif yang diikuti banyak media selain medsos itu, dimulai dari saat GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng bersama beberapa orang, ”terkunci” di dalam keraton saat melihat situasi dan kondisi kawasan bangsal Keputren, awal Februari (iMNews.id, 12/2).

Setelah heboh pemberitaan Ketua LDA bersama beberapa sentana dan abdidalem ”tersekap”, dilanjutkan dengan pemberitaan gempar Gusti Moeng berhasil keluar dari tempatnya ”tersekap” dan menggelar konferensi pers di ”topengan” Kori Kamandungan. Yang menggemparkan lagi, dalam konferensi pers itu, sekaligus dideklarasikan pernyataan ”mengambil-alih” otoritas dalam hubungan internal dan eksternal keraton, yang sekaligus menegaskan kembali ”kedudukan” Sinuhun PB XIII sebagai Sinuhun yang akan tetap dihormati, dicintai dan disayangi segenap kerabat (iMNews.id, 13/2).

Tak lama setelah itu, jagat media khususnya medsos, kembali dihebohkan dengan pemberitaan soal gerakan kerjabhakti resik-resik lingkungan keraton dengan tema #Lestarikan Keraton mulai 22 Maret, sebagai tindak lanjut dari deklarasi gerakan penyelamatan Keraton Surakarta yang diketuai Gusti Moeng (iMNews.id, 22/3). Di sela-sela kegiatan kerjabhakti yang diisi dengan beberapa kali konferensi pers itu, Gusti Moeng dan juga Rian D’Masiv (Ketua Relawan #Lestarikan Keraton), menyampaikan hal-hal yang menyangkut upaya penyelamatan dan pelestarian keraton.

Tak hanya dua atau tiga peristiwa itu, yang melahirkan sejumlah pernyataan yang terfokus pada praktik pelaksanaan tata nilai paugeran adat yang dinilai Gusti Moeng menyimpang hingga dianggap membahayakan bagi keselamatan dan kelestarian keraton. Banyak kegiatan sebelumnya yang melahirkan peristiwa penting dan momentum yang baik dan tepat, yang bertujuan untuk menggugah kesadaran bersama dan warga peradaban secara luas.

BISA MEMAKLUMI : Sebagai salah seorang kerabat, KPHA Poerbodiningrat sebenarnya merasa sedih, karena paugeran adat pemberian gelar telah menyimpang dan jatuh pada orang yang tidak tepat. Tetapi dirinya bisa memaklumi, karena seorang yang sedang berkuasa, apalagi seorang raja, sering menggunakan kewenangan dan kekuasaannya untuk menempuh kebijakan, padahal menyimpang. (foto : iMNews.id/dok)

Misi Meniadakan Tapak Sejarah

Melalui momentum itu, Gusti Moeng dengan semua elemen yang terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat (LDA) yang diketuainya menegaskan, bahwa sekarang ini keselamatan dan kelestarian Keraton Mataram Surakarta sedang terancam, antara lain oleh ulah oknum-oknum dan pihak-pihak yang sengaja atau tidak, ingin ”meniadakan” tapak sejarah peradaban masa lalu bangsa. Di dalamnya juga ada yang bekerja menjalankan misi ”meniadakan” Keraton Mataram Surakarta dengan segala isi dan asetnya, dengan segala produk seni budaya dan peradabannya termasuk paugeran adat.

Oleh sebab itu, menyimak satu hal yang dipahami ”kerabat” bergelar ”KP” itu, khususnya tentang ”hukum adat menurut siapa? dan ”hukum adat yang mana?”, kelihatannya sangat sepele atau mengecilkan makna tata nilai yang tidak tertulis itu. Bila dicermati lagi, ”kerabat” itu ingin mencari pembenaran atas berubahnya tata nilai adat karena konstitusi dinasti itu memang tidak tertulis.

Pembenaran terhadap perubahan itu, bisa diinterpretasikan sebagai ”perubahan” secara liar tanpa ada kendali atau mengabaikan nilai keseimbangan. Dan karenanya, boleh dikonotasikan bisa dirubah kapan saja dan oleh siapa saja, tergantung selera yang memiliki kewenangan, atau keinginan orang/pihak luar yang punya kepentingan/keuntungan (pribadi/kelompok) dengan berubahnya tata nilai adat tersebut.

Sampai di sini, dua hal yaitu soal gelar dan struktur organisasi dalam lembaga masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta seperti yang dicontohkan selama dalam kepemimpinan Sinuhun PB IX hingga PB XII itu, dipersepsikan telah berubah-ubah tanpa pertimbangan (kebutuhan, peruntukan dan sebagainya) dan tanpa dasar. Oleh sebab itu, masalah hukum adat yang menjadi pembungkus dari hal-hal yang dipersoalkan itu, menjadi jelas sebagai pembenaran atas terjadinya berbagai perubahan, setidaknya selama beberapa tahun sejak April 2017 itu.

Struktur organisasi yang muncul sejak Sinuhun PB IX sampai XII misalnya lahirnya organisasi Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa), Narpa Wandawa, Putri Narpa Wandawa dan sebagainya di satu sisi, kemudian tiadanya lembaga Kepatihan di sisi lain, kemudian dukungan Sinuhun khususnya PB X terhadap lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Syarikat Islam, dan berbagai lembaga untuk kebutuhan lahirnya alam demokrasi di sisi lain lagi, apakah ini yang dimaksud ”kerabat” itu (bagian dari) hukum adat yang berubah-ubah?

SANGAT BERALASAN : Gelar sesebutan yang diberikan Gusti Moeng selaku Ketua LDA kepada  KRA MN Gendut Wreksodiningrat ini, jelas sangat beralasan. Karena, Ketua Pakasa Gebang Tinatar itu punya jasa besar dalam menggalang warga Pakasa di Kabupaten Ponorogo (Jatim) untuk selalu merawat seni budaya peninggalan sejarah Mataram, demi lestarinya Keraton Mataram Surakarta.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Perubahan Sesuai Kebutuhan dan Situasi

Muncul dan hilangnya sejumlah lembaga/organisasi dalam stuktur organisasi lembaga besar Keraton Mataram Surakarta yang terjadi itu, lebih berdasar pada kebutuhan dan peruntukan lembaga besar di saat kedaulatan politik masih dimiliki sepenuhnya. Sebagai pembanding, hilangnya (fungsi secara berangsur-angsur) lembaga Kepatihan, juga karena pertimbangan kebutuhan dan peruntukan, mengingat Keraton Mataram Surakarta sudah bergabung ke NKRI.

Namun memang, semua perubahan yang terjadi itu tidak lepas dari situasi dan kondisi politik dunia dan regional menjelang NKRI lahir. Begitu pula karena begitu besarnya tekanan politik persaingan dan intrik, ketika NKRI baru berdiri di satu sisi dan eksistensi Keraton Mataram Nusantara masih begitu kuat karena terbesar di Nusantara, di sisi lain (berbagai sumber-Red). Meskipun perubahan terjadi di sana-sini dan tentu bergesekan dengan wilayah paugeran adat, tetapi inti tata nilai konstitusi dinastitidak serta-merta berubah, karena berlakunya hanya di lingkungan internal masyarakat adat.

Oleh sebab itu, dengan mencermati hal itu pula, ”kerabat” tersebut terkesan ingin mencari pembenaran bahwa setiap Sinuhun yang jumeneng (PB IX-XII), bahkan yang dilakukan Sinuhun PB XIII tempatnya menghamba, terkesan punya kewenangan tidak terbatas untuk merubah tata nilai paugeran adat itu sesukanya atau atas nama kekuasaannya. Spekulasi tentang logika-logika seperti itu terbangun, karena disebutkan pemahaman lain selain ”adat yang berubah-ubah” setiap pergantian Sinuhun, yaitu pemahaman tentang kutipan yang diambil dari Serat Wulangreh (PB IV) yang menyebut bahwa seorang Raja adalah pemimpin adat tertinggi dan raja adalah wakil Tuhan di dunia, sehingga harus ditaati.

”Dalam pandangan saya, setiap pemimpin yang sedang berkuasa, sangat mungkin menggunakan kewenangannya dalam mengambil keputusan, sekalipun bersinggungan dengan tata nilai adat. Termasuk, keputusan dan kebijakan dalam soal pemberian gelar itu. Tetapi, kalau sudah begitu, siapa berani melarang? Siapa berani melawan? Pasti Tidak ada yang berani. Karena semua menganggap itu yang paling benar. Karena yang mengambil keputusan dan kebijakan seorang raja”.

”Saya sendiri sebenarnya juga menyayangkan, karena gelar kekerabatan itu jatuh pada orang yang tidak tepat. Kalau Gus Dur (Presiden RI), Amin Rais (Ketua MPR RI), AM Fatwa (anggota DPR RI) dan beberapa tokoh negara yang menerima (gelar) dari Sinuhun PB XII, waktu itu, jelas didasari oleh peran ketokohan masing-masing di kancah negara. La orang-orang yang tidak jelas tapi mendapat Kanjeng Pangeran itu, apa dasarnya? Saya sendiri juga bingung. Tapi namanya sedang berkuasa, mau apa lagi?,” tunjuk KPHA Poerbodiningrat dengan serangakaian pertanyaan saat ngobrol dengan iMNews.id, belum lama ini. (Won Poerwono-bersambung)