Dari Keseluruhan Struktur Bangunan, Menjadi Tuntunan Hidup Manusia
IMNEWS.ID – SALAH satu hal yang disinggung Gusti Moeng dalam sambutan tunggal upacara adat “pengetan adeging” Kraton Mataram Surakarta di Pendapa Pageraran Sasana Sumewa, tanggal 17 Sura yang jatuh Senin Pon (15/8) lalu (iMNws.id, 15/8/2022), adalah situs jejak sejarah Mataram yang terhampar di kawasan yang luasnya kurang lebih 90 hektare. Struktur bangunan mulai dari pintu masuk Gapura Gladag sampai pintu keluar Gapura Gading, disebutnya sebagai struktur bangunan lengkap yang bila dipelajari dengan seksama, memiliki makna sebagai tuntunan hidup manusia.
Kawasan situs tapak sejarah Mataram itu, sejak tahun 2011 resmi menjadi kawasan cagar budaya yang dilindungi UU BCB No 10/2011. Mengenai hal-ikhwal bagaimana seharusnya sebuah situs bersejarah bisa ditetapkan dengan UU cagar budaya dan bagaimana konsekuensinya, memang bisa menjadi bahasan tersendiri yang menarik. Tetapi kali ini, kawasan situs cagar budaya berupa tapak sejarah Mataram itu disinggung Gusti Moeng selaku Ketua LDA sekaligus Pengageng Sasana Wilapa, karena nasibnya yang tidak beruntung, meskipun sudah dilindungi UU dan karenanya banyak dipersepsikan dan diasumsikan sudah “dipelihara” negara.
Bila benar dipersepsikan dan diasumsikan demikian, itu berarti salah besar, tidak benar adanya. Karena sejak momentum Sinuhun PB XII menyerahkan kedaulatan wilayahnya untuk digabungkan ke pangkauan NKRI, negara “nyaris” tidak pernah memelihara Kraton Mataram Surakarta, baik sebagai satuan pemerintahan masyarakat adat maupun sebagai kawasan yang dilindungi cagar budaya. Namun, terlepas dari kewajiban dan tanggungjawab negara sesuai amanat pasal 18 UUD 45 yang “nyaris” tidak pernah diwujudkan, kawasan kraton yang seharusnya mendapatkan manfaat dari NKRI yang pernah “didukung dan didirikan”, sudah lebih dulu memberi manfaat tidak hanya kepada NKRI, melainkan kehidupan publik secara luas, “hingga kini”!.
Rakus, Doyan Apa Saja

Di antara sederet manfaat yang bisa dikatagorikan “tangible” dan “intangibel”, tentu terdapat dalam kalimat sabdadalem Sinuhun PB X yang berbunyi “Karaton (Mataram) Surakarta Hadiningrat, hawya kongsi dinulu wujuding wewangunan kewala, hananging sira kabeh pada nyumurupana wewarah kang sinandi, dimen tinuntun wajibing urip ing donya tumekeng delahan”. Sabdadalem Sinuhun yang dikenal “ingkang wicaksana saha ingkang minulya” itu, sangat sering diperdengarkan dalam berbagai upacara adat di lingkungan kraton, termasuk yang dibacakan KP Sulistyodiningrat pada ritual “Jenang Suran”, Senin (15/8) itu.
Apabila diterjemahkan secara lengkap, sabda Raja Kraton Mataram Surakarta SISKIS Paku Buwana (PB) X itu kurang lebih adalah, ketika hendak memahami atau datang di Kraton Surakarta, jangan hanya melihat wujud bangunan fisiknya saja, tetapi perhatikan dan cermati makna yang terkandung di dalam bangunan tersebut. Ada makna filosofofi bangunan dari gapura Gladag sampai Gapura Gading, yang bisa dijadikan atau sebagai bekal pegangan hidupmu, di dunia sampai akhir hidupmu. Dan sesungguhnya, sebelum sampai ke Gapura Gladag, ada bagian penting yang juga perlu dipahami, yaitu ruang bernama Gladag, yang kini menjadi titik perempatan.
“Gladag itu dalam bahasa Indonesia artinya menyeret. Dalam terminologi kata itu, yang diseret biasanya secara fisik berupa binatang yang habis diburu, misalnya kijang. Tetapi sesungguhnya yang dimaksud bukan itu. Melainkan makna filosofi tempat itu, sebagai tempat untuk menyeret adalah manusia yang punya nafsu hewani, untuk diadili. Sekarang identik dengan kalimat diseret ke pengadilan. Karena, di situ ditunjukkan, dalam makna filosofi yang tinggi, sosok manusia itu ibarat binatangnya binatang. Bisa dianggap, binatang yang doyan makan apa saja. Contohnya, sapi binatang yang doyan rumput, bukan daging. Harimau, binatang yang hanya doyan daging, bukan rumput. Tetapi manusia, sangat rakus, apa saja dimakan, melebihi binatang. Doyan makan besi, pagar, semen (proyek), aspal, bantuan sosial, uang perjudian dan sebagainya,” sebut KP Budayaningrat menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Menumpang Clash II

Dari kata Gladag saja, sudah memberi nilai-nilai kehidupan yang begitu beragam dan luas, yang sangat bisa dipahami warga peradaban pada zaman apapun, serta tak akan pernah ketinggalan zaman atau berlaku sampai kapanpun. Menurut dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta itu, makna filosofi Gladag adalah melukiskan bahwa manusia memang diberi anugerah akal-pikiran, tetapi jika sudah dikendalikan oleh nafsu, bercampurnya antara keduanya, bisa menyebabkan si manusia jatuh ke dalam kejahatan, kotor, memalukan dan menyengsarakan diri sendiri, dan bahkan bisa menyeret orang lain. Maka di situ, Sinuhun PB X bersabda yang bertujuan luhur, yang maksudnya agar manusia selalu mengendalikan hawa-nafsu.
Ruang dengan bingkai Gapura Gladag, sudah memberi manfaat besar, yaitu menunjukkan tata nilai ideal bagi kehidupan warga perdaban, kapanpun. Tetapi, secara fisik tempat itu memang sering dijadikan rute membawa binatang hasil berburu atau “mbebedhag” di hutan, yang biasanya dikumpulkan di satu tempat yang dulu banyak dikenal dengan nama kampung Krapyak. Setelah masa republik (NKRI), dalam perkembangan tata ruang kota, kampung Krapyak dianggap sebagai kampung baru karena belum punya nama seperti kampung-kampung lain yang punya nama peruntukannya, misalnya kampung yang digunakan sebagai asrama Prajurit Jayengastra, lalu diberi nama kampung (kini Kelurahan-Red) Jayengan. Sedangkan kampung Krapyak, kini menjadi wilayah kelurahan bernama Kelurahan Kampung Baru, yang masuk Kecamatan Pasarkliwon.
Sebagai ilustrasi, Gapura Gladag sebagai pintu masuk utama ke Kraton Mataram Surakarta, sebelum tahun 1930 masih disebut gapura “kerun” atau “krun” berupa besi melengkung seperti yang membentang di pintu masuk kawasan Kepatihan, setelah bangunan utama dimusnakan berbagai unsur “pengacau” yang menumpang peristiwa Clash II (kedua) Belanda tahun 1949. Menandai tingalan jumenengannya, PB X merenovasi gapura Gladag dengan ragam arsitektur yang masih utuh sampai sekarang ini, tanpa besi melengkung yang melintang jalan. Dan asal-usul kata Gladag itu sendiri, berawal “grobog” beroda kayu yang dijadikan kandang tetapi bisa ditarik/didorong berjalan, dan ketika berjalan mengeluarkan suara “gladhag….gladhag…gladhag…..”, untuk membawa binatang hasil berburu yang sudah dipilih, untuk dibawa ke gapura.
Hanya Ada Dua

“Binatang itu diikat di dua sisi gapura (barat dan timur-Red). Simbol binatang yang semula diikat di kedua sisi gapura, sejak pemugaran yang dilakukan Sinuhun PB X di tahun 1930 itu juga diganti dengan dua arca sosok raksasa atau ‘yaksa” Kalang-Kinantang yang dibuat di daerah Pandansimping, Klaten. Sepasang patung itu simbol yang melukiskan pengendalian hawa nafsu. Dari gapura Gladag, bergeser sedikit ke selatan, sampai di gapura Pamurakan. Gapura ini sebagai simbol atau melukiskan sikap manusia yang harus ‘nrima ing pandum’ atau rezeki dari Tuhan YME. Artinya, manusia harus punya sikap menerima rezeki sesuai apa yang diperbuat atau profesinya. Rezeki yang diterima pedagang bakso kelilingan, tidak bisa disamakan rezeki yang diterima bakul sandang di Pasar Klewer. ‘Ayeme sopir becak, ora padha karo ayeme pedagang wade Klewer. Pandume sing gawe urip (Tuhan YME) kanggo sopir becak, ora padha pandume kanggo saudagar. Realitas seperti itu yang hendak ditunjukkan,” papar Ketua MGMP bahasa Jawa SMA se-Jateng itu.
Dari gapura Pamurakan, berjalan ke selatan memasuki Alun-alun Lor, yang melukiskan jalan kehidupan manusia di dunia yang penuh tantangan. Alun identik dengan kata gelombang (laut), yang menjadi simbol tantangan dalam kehidupan dengan dinamika fluktuatif dan bisa berubah setiap-saat. Kraton Mataram Surakarta dua alun-alun, yang di utara (Alun-alun Lor) dan di selatan (Alun-Alun Kidul), dulu tidak berupa tanah yang ditutup rumput, seperti yang terlihat dalam waktu puluhan tahun sejak 1945. Tetapi terdiri dari hamparan pasir yang diambil dari pesisir laut selatan, tebalnya sekitar 10 cm, bila siang panasnya bukan main, tetapi bila malam ketika diinjak dinginnya luar biasa.
Gambaran panas dan dingin, yang bahkan terkesan ekstrem itu, merupakan keniscayaan yang sudah menjadi hukum alam. Dan sesungguhnya, itu adalah simbol dari realitas kehidupan di dunia, apapun hanya ada dua kemungkinan sebagai pengetahuan yang harus dipahami, misalnya ada panas, ada dingin (panas-adhem), ada gelap, ada terang (padhang-peteng), ada besar, ada kecil (gedhe-cilik)m ada sedih, ada senang (bungah-susah) dan sebagainya. Pengetahuan tentang keniscayaan ini yang harus memberi pelajaran kepada manusia agar tidak gampang terkejut atau “aja kagetan” dan tidak gampang heran atau “aja gumunan”, karena keadaan apa saja di dunia ini ya hanya ada dua (kemungkinan) itu. (Won Poerwono-bersambung/i1)