“Dua Pihak yang Berbeda Haluan”, Realitas yang Harus Dilalui Dalam “Perdamaian” (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:February 1, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
Gusti Moeng didampingi Gusti Devi dan KPH Edy Wirabhumi bersama KRAy Herniati Sriana Munari
KABAR PERDAMAIAN : Gusti Moeng didampingi Gusti Devi dan KPH Edy Wirabhumi bersama KRAy Herniati Sriana Munari menyampaikan kabar "perdamaian" antara Sinuhun PB XIII dan Gusti Moeng kepada para awak media, beberapa waktru lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Bila Ingin “Bekerja” Disilakan Masuk, Agenda Adat Sudah Menunggu

IMNEWS.ID – KARENA sejak awal sudah memiliki “track record” yang jelas, arah perjuangan dan kebijakan yang jelas, maka proses transisi yang harus dilalui dalam “perdamaian” dari sisi seberang yang dipimpin Gusti Moeng juga sudah jelas dan tegas. Mekanisme seleksi natural yang ditakar/diukur atau menggunakan landasan perangkat sistem tata-nilai paugeran adat, merupakan satu-satunya cara yang tepat dan ideal karena “ramah lingkungan adat”, untuk menjalankan proses perdamaian agar berjalan lancar dan tuntas.

“Kalau ada yang berhubungan dengan pihak luar atau berkait dengan sistem hukum positif nasional di NKRI, kita juga akan menyesuaikan. Kalau menyangkut hubungan kekeluargaan di dalam masyarakat adat, yang paling ideal ya menggunakan landasan (sistem tata nilai) paugeran adat. Intinya yang selalu dipersoalkan, termasuk oleh pemerintah, ‘kan antara saya dengan Sinuhun. Maka, sekarang persoalan antara saya dengan Sinuhun sudah selesai, karena sudah ada kesepakatan damai (iMNews.id, 3/1/2023). Terhadap yang lain, itu mengikuti proses selanjutnya”.

“UNTUK DILUPAKAN” : Gambaran suasana saat “insiden mirip operasi militer” berlangsung pada April 2017 identik telah “mencabut nyawa” Kraton Mataram Surakarta. Gusti Moeng dan para pengikutnya yang sempat “diseret” sampai ke Polda untuk diperiksa atas laporan “fitnah” itu, “dipaksa untuk dilupakan”. (foto : iMNews.id/dok)

“Kami ingin masuk kraton ‘kan hanya ingin bekerja. “kan bisa dilihat sendiri, apa yang sudah kami lakukan sejak bisa masuk (iMNews.id, 18/12/2022) hingga sekarang. Semua itu dalam rangka bekerja, menjalankan tugas dan kewajiban secara adat, untuk melestarikan budaya (Jawa) dan menjaga eksistensi serta kelangsungan kraton. Maka, terhadap yang lain bila ingin masuk kraton, saya anggap juga ingin bekerjasama dalam tugas dan tanggungjawab itu. Kalau tidak untuk bekerja, yang tidak perlu masuk kraton,” ungkap tegas Gusti Moeng dalam beberapa kesempatan, termasuk saat memberi pengarahan di depan para peserta rapat koordinasi pengurus Pakasa cabang dari berbagai daerah di Bangsal Smarakata, belum lama ini (iMNews.id, 29/1/2023).

Apa yang sudah ditegaskan Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) itu jelas merupakan bentuk proses penyelesaian natural karena sesuai dengan sistem kehidupan kekerabatan di lingkungan internal masyarakat adat, terlebih banyak pihak termasuk penguasa selalu menyebut friksi yang terjadi sebelum “perdamaian” dicapai itu adalah urusan rumah tangga keluarga putra/putri Sinuhun PB XII. Bila dipersempit lagi, hanya ada “dua pihak” yang berseberangan, yaitu pihak Sinuhun PB XIII dengan pihak Gusti Moeng yang kini “sudah damai” dan berproses menjadi pihak yang sama alias satu pihak.

BERSAMA “KAWULA” : Rapat koordinasi yang digelar Lembaga Dewan Adat antara Pengurus Pusat Pakasa dengan kalangan pengurus “kawula” (Pakasa) cabang dari berbagai daerah di Bangsal Smarakata, belum lama ini, menjadi bagian dari merawat “nyawa” kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kalau berpijak dari jawaban atau sikap berbagai kalangan terutama penguasa yang selalu menyebut friksi itu adalah urusan rumah tangga keluarga ketika dilapori adanya serentetan kasus berbau pelanggaran hukum pidana, maka menjadi aneh ketika membaca peristiwa “insiden mirip operasi militer” yang terjadi April 2017. Karena, penguasa telah mengerahkan 2.000 personel Brimob dan 400 peronel TNI untuk menduduki dan mengevakuasi para abdidalem yang kebetulan ada di dalam kraton, yang disertai “panggilan paksa” dan pemeriksaan sejumlah tokoh di Polda Jateng, termasuk Gusti Moeng dan beberapa saudaranya, KPH Edy Wirabhumi, KP Sinarno Kusumo (alm) dan sejumlah abdidalem lainnya.

Lebih aneh lagi, dari pemeriksaan sejumlah tokoh sampai beberapa hari yang disertai penyitaan barang-barang yang dianggap berkaitan dengan masalah yang dipersoalan, di antaranya beberapa unit komputer, ujungnya berakhir begitu saja tanpa ada penyelesaian hukum di meja pengadilan. Kasus yang mempermalukan institusi penegak hukum plus yang lain itu, “mirip operasi militer” atau mirip mengggrebeg teroris, tetapi akhirnya menguap begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban dan penjelasan secara terbuka kepada publik dari pihak yang paling bertanggungjawab dalam “insiden mirip operasi  militer ” itu.

MENGEMBALIKAN “NYAWA” : Kegiatan spiritual religi “khataman Algur’an” di Bangsal Smarakata tiap Rabu malam, adalah upaya “kawula” (Pakasa Cabang Boyolali) untuk mengembalikan “nyawa” Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Bila mengingat peristiwa itu, Gusti Moeng pernah terucap merasa sakit karena penguasa yang tidak pernah paham ujung-pangkal persoalan keluarga itu harus melakukan tindakan “represif” yang mempermalukan pihak lain, tetapi juga mempermalukan insitusi mereka sendiri, karena terkesan “asal” bertindak “termakan” oleh fitnah. Namun, dalam kesepakatan “perdamaian 3 Januari” itu, Gusti Moeng sudah mengaku di depan Sinuhun untuk melupakan semua peristiwa yang telah saling melukai, lalu saling minta minta maaf dan bersepakat menapak lembaran baru untuk menyongsong masa depan, demi pelestarian budaya, eksistensi dan kelangsungan Kraton Mataram Surakarta.

“Serangkaian tugas sudah menunggu. Setelah upacara adat tingalan jumenengan tanggal 16 Februari nanti, sudah ada agenda nyadran, nyekar atau ziarah ke makam para leluhur Dinasti. Dimulai tanggal 2 Ruwah yang jatuh 23 Februari, nyekar ke makam Kyai Ageng Nis (Laweyan), lalu dilanjutkan ke makam eyang Handayaningrat dan yang ada di Boyolali. Sehari itu harus rampung. Setelah itu nanti diurutkan, jadwalnya menyusul. Nyekar makam leluhur Dinasti Mataram, adalah upacara adat yang harus dilakukan kraton. Itu kewajiban. Itu saja, semua makam belum tentu selesai disowani di bulan Ruwah nanti. Beberapa undangan haul/ziarah makam leluhur dari Pakasa cabang di wilayah Kabupaten Pati, terpaksa kami wakilkan, karena sedang konsentrasi tingalan jumenengan,” sebut Gusti Moeng.

MERAWAT “KAWULA” : Warga masyarakat Kabupaten Pati dan peziarah dari berbagai daerah yang berkumpul saat haul Nyi Ageng Ngerang di Desa Ngerang, Kecamatan Tambakromo, menjadi bagian penting Gusti Moeng untuk merawat “kawula” (Pakasa) yang telah memberi “nyawa” Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Aktivitas nyekar “Ruwahan” atau “nyadran” yang disebut Gusti Moeng itu jelas pekerjaan yang memang harus dilakukan keluarga besar masyarakat Kraton Mataram Surakarta, karena itu semua bagian dari “kerja adat” dan kerja pelestarian budaya sebagai salah satu “nyawa” Kraton Mataram Surakarta. Dan Gusti Moeng sudah membuktikan bisa merawat “nyawa” kraton yang tersebar di berbagai daerah sangat luas, eks wilayah kedaulatan Mataram Surakarta bahkan leluhur Dinasti Mataram, karena makamnya ada yang di Pamekasan, Madura (Jatim), di dalam Kota Jogja, Imogiri, Tegalarum (Kabupaten Slawi), Purwodadi (Grobogan), Malang (Jatim) dan sebagainya.

Merawat “nyawa” kraton yang tersebar di mana-mana sesuai makam leluhur berada, tak sekadar menjalankan kewajiban berbhakti atau “Mikul Dhuwur, Mendhem Jero” terhadap para leluhur peradaban, melainkan juga merawat masyarakat adat warga Pakasa cabang yang selama ini berjasa menjaga makam/petilasan/peradaban dan kearifan lokal budaya Jawa di tempat masing-masing. Dan merekalah yang menjadi elemen “kawula” atau rakyat, yang menjadi elemen pelegitimasi peradaban beserta produknya, termasuk Kraton Mataram Surakarta beserta produknya pula, yaitu budaya Jawa. Itulah yang menjadi alasan Sinuhun PB X menginisiasi kelahiran Pakasa pada 29 November 1931. (Won Poerwono-bersambung/i1)