Di Zaman PB II Ada 10 Bregada, Berkembang Menjadi 16 Bregada di Zaman PB X
IMNEWS.ID – DI serial artikel dengan judul lain di media ini, KP Budayaningrat sudah mengisyaratkan, bahwa pada zaman Sinuhun PB XI (1939-1945) dan Sinuhun PB XII (1945-2004) jumeneng nata, minim sekali catatan sejarah. Padahal, banyak sekali kegiatan Kraton Mataram Surakarta sebagai lembaga dan para tokohnya yang bisa dijadikan dokumen perjalanan sejarah.
Ini jelas merugikan bagi lembaga kraton dan publik yang membutuhkan dokumen-dokumen untuk keperluan studi dan bentuk-bentuk edukasi lain bagi generasi mendatang. Meskipun, mulai zaman Sinuhun PB XI apalagi PB XII, teknologi media informasi berupa barang cetakan (mayoritas) hingga elektrik digital, sudah mulai berperan besar pada periode 1939-2004.
Tetapi, untuk keperluan dokumentasi kegiatan pribadi kelembagaan dan para tokohnya yang bisa menjadi karya dan disimpan di lembaga perpustakaan/museumnya, jelas tidak bisa mengandalkan karya orang lain yang menggunakan fasilitas modern di bidang teknologi pendokumentasian peristiwa. Karena, proses kerja mereka tidak untuk keperluan kraton melainkan publik.
Salah satu contoh yang sangat membutuhkan dokumen pencatatan perjalanan sejarah pada zaman Sinuhun PB XI hingga PB XII itu, adalah KP Budayaningrat. Dwija pada Sanggar Pasinaon Pambiwara itu baru sadar, ketika berusaha mencari data dokumen pancatatan tentang macam ragam dan jumlah Bregada Prajurit yang digunakan Sinuhun PB XI dan di awal-awal Sinuhun PB XII.

“Rupanya, ini salah satu yang terlupakan atau telwat dari perhatian kita semua. Dokumen soal kekayaan macam dan ragam prajurit yang masih digunakan pada zaman Sinuhun PB XI dan di awal-awal Sinuhun PB XII, kraton tidak punya. Mungkin banyak media cetak yang menulis tentang itu, tetapi mungkin minim informasinya, karena bukan untuk keperluan kraton”.
“Tetapi saya bisa memaklumi. Karena di zaman PB XI, dinamika sosial-politik luar biasa dan memposisikan kraton sebagai lembaga penting di bawah Sinuhun PB XI. Sangat mungkin, carik-dalem tak bisa berfungsi. Apalagi saat Sinuhun PB XII, kelihatannya tidak ada pencatatan secara khusus di dalam kraton dan kini nyaris tak ada catata,” ungkap KP Budayaningrat.
Dia memang berharap, saat Sinuhun PB XIII berganti jumeneng nata mulai 2004, secara khusus ada pencatatam semua kegiatan kelembagaan kraton dan para tokoh pentingnya untuk keperluan dokumentasi pengisi Sasana Pustaka. Tetapi sekali lagi dia memaklumi, kebutuhan itu sulit sekali diwujudkan, karena dinamika yang terjadi 2 dekade terakhir ini “sangat merepotkan”.
Meski begitu, dia masih berharap pelan-pelan ada cara lain yang bisa melakukan tugas itu secara baik agar perjalanan sejarah Mataram Surakarta era Sinuhun PB XIII bisa terdokumentasi dengan lengkap. Karena, dokumentasi itu akan menjadi kekayaan sejarah dan perkembangan peradaban yang bisa dipelajari dan dimanfaatkan untuk peradaban generasi mendatang.

Walau dalam dua zaman yaitu Sinuhun PB XI (1939-1945) dan Sinuhun PB XII (1945-2004) hanya bisa disaksikan tinggal 9 bregada prajurit yang sudah berubah fungsi mulai Sinuhun PB XII, tetapi KP Budayaningrat masih menemukan dokumen yang dibuat pada zaman Sinuhun PB X. Yaitu Serat Sri Radya Laksana yang dialihaksara oleh Budi Utama di Surakarta tahun 1939.
Dari dokumen sejarah itu, pengurus Paguyuban Pambiwara Indonesia itu mengaku menemukan data ada 16 golongan (jenis atau bregada) prajurit Kraton Mataram Surakarta yang berfungsi aktif pada zaman Sinuhun PB X. Dari 16 jenis/golongan itu terbagi dalam dua fungsi/tugas yang disebut dengan Prajurit Keparak Kiwan (kiri) dan Prajurit Keparak Tengen (Kanan).
“Kata ‘keparak’ itu singkatan dari ‘kepara-cerak’ yang artinya ‘lebih dekat’. Dan yang dimaksudkan adalah ‘lebih dekat’ Raja. Itu berarti, golongan/jenis prajurit yang mengawal dan menjaga keselamatan Raja. Baik prajurit Keparak Kiwa maupun Tengen, yang sama-sama menjadi pengawal Raja, tetapi dibedakan yang bertugas di dalam kraton dan di luar kraton”.
“Prajurit yang tergolong yang bertugas mengawal Raja di luar kraton, termasuk Prajurit Panyutra. Khusus prajurit ini, tatacara pengawalannya harus dengan gerak tari seperti yang sering terlihat dipandu oleh gamelan Cara Balen, kalau sedang digelar upacara adat Gunungan Garebeg Mulud, misalnya. Pengawal berikutnya, adalah Prajurit Singanagara,” ujarnya.

Tetapi, katanya, fungsi kawalan Prajurit Singanagara lebih pada tindakan eksekusi pada saat genting di lapangan, karena dianggap membahayakan keselamatan Raja. Oleh sebab itu, jenis prajurit inilah yang kemudian dikenal sebagai algojo, karena fungsinya mengekskusi dengan memenggal kepala siapa saja yang terbukti menjadi perusuh membahayakan keselamatan Raja.
Seperti pernah disebutkan KRT Darpo Arwantodipuro maupun KP MN Gendut Wreksodiningrat, prajurit Singanagara dikenal sejak zaman Sinuhun PB II (1727-1749) jumeneng nata di Kraton Mataram Islam saat berIbu Kota di Kartasura. Karena Sinuhun PB II lama tinggal di Ponorogo (1737-1745), prajurit Singanagara banyak direkrut dari pemuda-pemuda militan warga setempat.
Sebagai ilustrasi, prajurit “eksekutor” yang selalu bertindak tegas dan “mrantasi gawe” dan ketika mengawal Raja itu, dianggap KP MN Gendut Wreksodiningrat mirip kekhasan “warok Reog” Ponorogo. Sebab itu, dia minta izin kraton untuk menjadikan prajurit Singanagara sebagai simbol ikonik Pakasa Cabang Ponorogo dan menjadi milik masyarakat Ponorogo.
Hampir tiap HUT Pakasa digelar, Ketua Pakasa Cabang Ponorogo itu selalu menampilkan prajurit Singanagara sebagai salah satu cirikhas Pakasa Gebang Tinatar Ponorogo. Tetapi sebutan “Singanagara”, justru diabadikan sebagai nama Ketua Pakasa Cabang Kudus hingga semakin menambah “angker” namanya, yaitu KRRA Panembahan Didik Alap-alap Gilingwesi “Singonagoro”.

Dari 16 golongan prajurit kraton di zaman Sinuhun PB X itu, urutan pertama adalah prajurit “Soroh Geni” atau “Sorogeni”, berikut prajurit Nirbaya, Brajanala (pintu luar), Wisamarta (pintu dalam), “Sangratnyana”, Kanoman, Martalulut, Singanagara, Priyantaka (pasukan berani mati, semuanya lelaki/penongsong Sinuhun), Sarasedya dan prajurit Panyutra.
Prajurit Panyutra adalah pengawal Raja yang selalu tampil dengan gerak tari. Kemudian prajurit Waudara, Mandung (Kamandungan-Red), Mijipinilih, Tanastra dan prajurit Nrangbaya. Semua terbagi dalam Keparak Kiwa dan Tengen, yang masing-masing punya “manggala” (komandan), dan di antaranya berfungsi sebagai penegak hukum, karena belum ada polisi. (Won Poerwono – bersambung/i1)