Heboh “Penyesalan” Pihak yang Tak Berwenang, Rasa Keadilan Bagi Kraton Jadi Persoalan (seri 5 – habis)

  • Post author:
  • Post published:March 10, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:10 mins read
You are currently viewing Heboh “Penyesalan” Pihak yang Tak Berwenang, Rasa Keadilan Bagi Kraton Jadi Persoalan (seri 5 – habis)
DIKLAT MK : KPH Edy Wirabhumi (Ketua DPP) bersama anggota MAKN dan Gusti Moeng (Sekjen FKIKN) dan anggotanya sempat mengungkapkan "penyesalannya" di sela-sela Diklat Konstitusi di Pusdiklat Mahkamah Konstitusi (MK) di Bogor, beberapa waktu lalu. Tampak pula Ketua MK waktu itu, Anwar Usman. (foto : iMNews.id/Dok)

Lebih Berani dan Lebih Dulu, Karena “The Right Man in The Right Place”  

IMNEWS.ID – BERBICARA soal “penyesalan” yang diekspresikan secara “ngawur” hingga menjadi viral belum lama ini, makna secara esensial mungkin ada kemiripan dengan yang diekspresikan Gusti Moeng dalam tiga dekade terakhir. Tetapi, dalam posisi “right man and right place” yang ekspresinya terarah, berdasar data dan fakta serta terpenuhi rasionalitasnya.

Sementara, figur anak muda itu berada dalam posisi “wrong man and wrong place”. Sedangkan objek yang menjadi sumber  “penyesalan” ada sedikit kemiripan, karena berada di satu sudut yang selama ini diperjuangkan Gusti Moeng. Yaitu, “rasa keadilan” yang “terampas” dari Kraton Mataram Surakarta, padahal itu adalah hak konstitusional kraton alias rakyat NKRI.

Pada titik lokasi “rasa keadilan” yang menjadi hak konstitusional kraton inilah, Gusti Moeng telah lama “menyesal” dan menindaklanjuti “penyesalannya” dengan berbagai kerja positif, yaitu mengedukasi masyarakat adat dan publik secara luas. Bersamaan dengan itu, Gusti Moeng melakukan berbagai upaya memperkuat posisinya sebagai “right man” dan “right place”.

Berbagai upaya memperkuat posisi itu, termasuk “belajar” bersama semua kelembagaan dan bidang yang diampu semua jajaran Bebadan Kabinet 2004 yang dipimpinnya. Proses belajar dari pengenalan hingga sampai level penghayatan, dilakukan sejak masa remaja dari menjadi penari Bedhaya Ketawang, yang berkelanjutan tuntas sampai level koreografer dan manajerial.

KUNJUNGAN MAHASISWA : Pada setiap kesempatan kunjungan mahasiswa dalam rangka studi lapangan di kraton, semua otoritas Bebadan kabinaet 2004 termasuk KPH Edy Wirabhumi, selalu mengekspresikan “penyesalann” secara positif dan panjang lebar tentang nasib kraton, yang justru menjadi bahan edukasi sangat berharga. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Proses edukasi diri yang linier dengan bidang studi yang ditekuni di Fakultas Sastra Jurusan Filologi itulah, yang membawa Gusti Moeng berada pada posisi “right place and right man”. Apalagi dilengkapi dengan kapasitas kemampuannya memimpin kraton, hingga diperkuat dengan hadirnya Lembaga Dewan Adat yang mulai dirintis sejak tahun 2004.

Sebagai catatan, keberadaan Lembaga Dewan Adat (LDA) yang semakin kuat menjadi payung hukum kraton dan masyarakat adat di dalamnya berserta aset-asetnya, karena faktanya keberadaan Sinuhun PB XIII dan kelembagaan Sinuhun sangat lemah. Dan faktanya, kelemahan itu dimanfaatkan berbagai pihak dari internal dan eksternal (kekuasaan) untuk “menghancurkan” kraton.

Dalam konteks lemahnya posisi “simbol” kelembagaan Kraton Mataram Surakarta itu, terkesan menempatkan eksistensi Gusti Moeng menjadi “penopang” yang sering lebih dituntut menjadi representasi kekuatan kraton. Bahkan belakangan sering dikenal dengan sebuah keniscayaan, bahwa kraton mungkin sudah “habis dan tamat riwayatnya” kalau tidak ada Gusti Moeng.

Oleh sebab itu, dengan terjadinya peristiwa “Dekrit LDA” atau eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) pada 8 Agustus 2024 ( iMNews.id, 9/3), beragam dan lengkaplah sudah kapasitas kemampuan dan kewenangan Gusti Moeng. Posisi dan lembaganya punya kekuatan hukum positif sekaligus hukum adat, maka tepat sekali dia berdiri sebagai “The Right Man in The Right Place”.

MOMENTUM “NYESEL” : Bila dicermati, pidato Gusti Moeng saat memimpin upacara dalam rangka bentang Sang Saka Merah Putih “Gula-Klapa” di halaman Kamandungan, beberapa waktu lalu, menjadi momentum “nyesel” yang diekspresikan dalam bahasa yang terbungkus estetika dan etika yang baik. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan kelengkapan kapasitas, tepat dan kuatnya posisi Gusti Moeng, maka setiap ekspresi “penyesalan” yang dilakukan di forum-forum resmi bersama berbagai pihak dari semua lini kekuasaan di negeri ini, dia tidak pernah menghadapi masalah. Karena, yang diekspresikan ajakan agar para pemimpin berbagai lini kekuasaan untuk mengedukasi diri, paham konstitusi.

Yaitu mengedukasi tentang kepemimpinan yang amanah dalam menjalankan konstitusi, atau selalu mengedepankan praktik memimpin yang berlandaskan konstitusi. Karena, arah perjalanan NKRI dengan situasi dan kondisi yang menyimpang dari UUD 45 dan semangat di awal pembentukan NKRI, semakin terasa walau usianya sudah menyentuh 80 tahun di tahun 2025 ini.

Kepada kalangan anggota legislatif dan pejabat eksekutif di berbagai kesempatan yang dihadiri perwakilan TNI dan Polri, Gusti Moeng selalu menekankan agar selalu mempelajari konstitusi sebagai sumber dan supremasi hukum tertinggi di NKRI. Pemahaman setiap pasal-pasal konstitusi sangat penting, agar jalannya kepemimpinan yang dipegang selalu konstitusional.

Gusti Moeng menunjuk contoh “pembekuan” status Daerah Istimewa Surakarta (DIS) sebagai provinsi, sejak 1946 (Perpres No.16/SD/1946) hingga kini yang tanpa alasan apapun, itu berarti tidak menjalankan amanat konstitusi. Siapapun yang berkuasa memimpin negara menjalankan pemerintahan, bila tidak mewujudkan amanat Pasal 18 UUD 45, berarti inkonstitusional.

PARA DOSEN : Di depan para dosen sastra dari beberapa perguruan tinggi di Jatim dan Jateng, Gusti Moeng banyak mengedukasi tentang sejarah, budaya dan nasib Mataram Surakarta selama berada di alam republik. Karena, banyak hal di anatara materi itu yang belum dipahami para pendidik itu. (foto : iMNews.id/Dok)

Penyimpangan karena tidak menjalankan amanat seperti perintah pasal-pasal UUD 45, bukankah derajatnya sama dengan para koruptor dan pengkhianat negara yang masuk kategori “penjahat”. Itu belum termasuk “tindak kejahatan” merampas hak karena tidak menjalankan Perpres No.29 Tahun 1964 tentang “Pemberian Bantuan Uang kepada Adbdi-dalem dan Pensiunannya”.

Edukasi positif seperti itu selalu menjadi menu kalangan mahasiswa dari berbagai lembaga universitas di Tanah Air, yang silih-berganti melakukan studi lapangan ke kraton. Gusti Moeng dan semua otoritas di Bebadan Kabinet 2004, selalu menekankan soal pentingnya seorang pemimpin memahami konstitusi, agar selalu menghindari praktik merampas rasa keadilan.

KALANGAN PERIAS : Di depan kalangan perias pengantin dari Kabupaten Temanggung, edukasi tentang cabang-cabang Budaya Jawa yang bersumber dari kraton, juga diungkap dalam ekspresi “Nyesel” Gusti Moeng. Karena, ada di antara yang menjadi produk khas Mataram Surakarta itu yang sengaja dibuat kabur dan menyimpang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pemahaman terhadap konstitusi sangat penting dan mutlak perlu, agar ketika menjadi pemimpin bisa amanah untuk benar-benar menjalankan amanat konstitusi. Agar arah perjalanan bangsa ini seperti semangat ketika awal mendirikan NKRI. Bukan menjadi pemimpin dan pengelola negara yang terkesan “mudah sekali menyimpang”, seperti yang terjadi selama 80 tahun ini.

Beberapa hal terakhir itu, menjadi kritikan tajam KPH Edy Wirabhumi (Ketua Umum DPP MAKN) di berbagai kesempatan, di forum resmi dan wawancara dengan para awak media, di dalam dan luar kraton. Karena masih ada 50-an kraton, kesultanan dan pelingsir adat anggota Majlis Adat Kraton Nusantara yang nasibnya sama sebagai korban “kejahatan pada konstitusi”. (Won Poerwono-habis/i1)