Hadirnya KGPH Hangabehi dan Dua Kakak Kandung Gusti Moeng, Jadi Ciri Pembeda
IMNEWS.ID – HAMPIR semua upacara adat yang digelar di Kraton Mataram Surakarta, adalah satuan-satuan peristiwa adat yang dijalankan dengan format dan kaidah adat setempat, yang rutin berulang setiap tahun. Sedikitnya 9 upacara adat yang masih berjalan baik, sebagai “lahan kerja adat” masyarakat adat di dalamnya, yang kini terdiri dari berbagai unsur/elemen.
Penulis sejak di harian Suara Merdeka hingga kini menyajikan informasi sekitar aktivitas seni budaya khususnya yang berkait dengan Kraton Mataram Surakarta sebagai sumbernya Budaya Jawa di iMNews.id, nyaris tak melewatkan kegiatan itu. Tak hanya aktivitas safari “Tour de Ruwah” di bulan Nyadran, tetapi juga berbagai upacara adat lain yang digelar kraton.

Bila dicermati satu persatu jenis upacara adat yang digelar, secara umum sama kemasan, isi, tatacara dan tahapan-tahapannya. Tak terkecuali ritual Nyadran yang semakin dikelola dengan baik, bahkan sering menggunakan tema, hingga iMNews.id sering menyebutnya dengan safari keliling “Tour de Makam” atau “Tour de Ruwah” karena isinya ritual Nyadran.
Rutinitas upacara adat yang berulang terus tiap bulan kalender Jawa secara pasti dan baku, bahkan sering menunjuk tanggalnya secara baku pula. Tetapi bukan berarti, ada yang diulang dengan formasi yang terus sama dan tidak ada yang berubah. Sebaliknya, walau nama ritualnya dilakukan berulang, tetapi faktanya banyak yang berbeda dari tahun ke tahun.

Hal yang sulit diulang persis sama, adalah faktor tokohnya, baik yang menyangkut jumlah dan komposisi figur yang terlibat, maupun sampai detail ciri-ciri penampilan tokoh figurnya. Sekalipun tokoh figur yang selalu hadir dan memimpin itu adalah GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng, saat tampil pada ritual Nyadran 2025 pasti beda dengan tahun 2024.
Baru merujuk pada satu tokoh figur Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA) saja yang selama ini menjadi pemimpin panutan, sudah ada hal yang beda atau berubah. Belum lagi, ketika dicermati komposisi figur yang mendampinginya, mulai dari yang mewakili generasi kedua dan ketiga dari Sinuhun PB XII, sebagai simbol dukungan internal terdekat.
Dari unsur komposisi figur penamping yang menunjuk representasi internal terdekat saja, sudah banyak yang berubah atau berbeda tiap tahunnya, walau hanya dalam satu dekade terakhir saja. Itu jelas sekali, karena satu-persatu seperti bergiliran, figur GKR Galuh Kencana, GKR Retno Dumilah, GPH Nur Cahyaningrat, KPH Broto Adiningrat mendahului “berpulang”.
Padahal, masih ada tokoh KPA Winarno Kusumo, tokoh Wakil Pengageng Sasana Wilapa yang juga mendahului seakan “berurutan” dengan beberapa tokoh di atas. Masih ada pula KPH Kusumo Wijoyo dan beberapa tokoh penting lain, yang selama jajaran Bebadan Kabinet 2004 berjuang “menegakkan paugeran adat”, selalu hadir secara fisik memberi dukungan, termasuk saat Nyadran.

Hal-hal lain yang menjadi daya dukung setiap upacara adat terutama aktivitas “Tour de Ruwah” dalam rangka Nyadran, juga pasti berbeda karena berubah setiap saat, apalagi dalam setahun. Dan faktanya, walau “Bebadan Kabinet 2004” sudah kembali bekerja penuh di dalam kraton sejak 17 Desember 2022, tetapi dinamika yang terjadi dalam “masa damai” itu justru tajam.
“Masa damai” yang terhitung mulai 3 Januari 2023 hingga awal tahun 2025 ini saja, sudah terjadi beberapa peristiwa yang menunjukkan tajamnya dinamika perubahan di internal keluarga inti kraton saja. Yaitu ketika mendengar fenomena “menghilangnya” tiga tokoh yang tergabung dalam “Trio Wek-wek”, tetapi bersamaan itu muncul dua tokoh penting yang fenomenal pula.

Dua tokoh penting yang fenomenal itu, adalah dua “Pangeran” kakak kandung Gusti Moeng, yaitu KGPH Puger dan KGPH Madu Kusumonagoro. KGPH Puger, kini bahkan banyak muncul di media sosial karena banyak mengisi perbincangan soal spiritual religi, kebatinan dan berbagai hal yang berhubungan dengan sejarah Mataram, para tokohnya dan khusus Mataram Surakarta.
Munculnya KGPH Puger di beberapa kesempatan pertemuan yang diinisiasi Bebadan Kabinet 2004, di satu sisi seakan memberi angin sejuk untuk banyak hal. Kehadirannya secara fisik bisa dipandang sebagai dukungan moral yang menenteramkan suasana batin jajaran Bebadan pimpinan Gusti Moeng, termasuk saat hadir pada awal Nyadran di Astana Pajimatan Laweyan (2/2).

Karena masih “punya jalan eksistensi” sendiri, KGPH Puger seakan membatasi ruang geraknya yang tak jauh dari Kota Surakarta. Karena, pada akhir Nyadran pertama di beberapa lokasi makam di kawasan “eks Kadipaten Pengging”, Kabupaten Boyolali, dirinya tidak bergabung. Hanya KGPH Madu Kusumonagoro yang ikut mendampingi Gusti Moeng sampai ke Pengging.
Agenda Nyadran kedua di Astana Pajimatan Imogiri, Kutha Gedhe dan berakhir di Pesanggrahan Parangkusuma, 6 Februari. Gusti Madu (KGPH Madu Kusumonagoro) dan putra mahkota KGPH Hangabehi, seakan bergantian hadir dengan KGPH Puger. Tiga figur tokoh inilah, yang menjadi ciri perubahan dan perbedaan ritual Nyadran tahun 2025 dibanding beberapa tahun silam. (Won Poerwono – bersambung/i1)