Keraton Surakarta adalah ”Negara” Besar Terakhir di Nusantara
IMNEWS.ID – PERISTIWA Konferensi Meja Bundar (KMB) memang menjadi bagian dari sejarah kelanjutan perjalanan bangsa di Nusantara yang yang kemudian menjadi NKRI pada 17 Agustus 1945. Di dunia pendidikan khususnya tentang sejarah, peristiwa itu selalu menghiasi buku-buku pelajaran sekolah, sejak SD hingga perguruan tinggi, khususnya yang terjadi selama 32 tahun (1966-1998) masa pemerintahan Orde Baru (Orba).
Tetapi bagaimana kilasan sejarah tentang peristiwa KMB, ini yang terasa kurang menggembirakan penyajiannya selama lebih dari tiga dekade itu, sehingga sering mengesankan adanya unsur-unsur ”pembodohan publik” yang sistemik, masif dan terstruktur. Kilasan sejarah itu hingga berganti Orde Reformasi sejak 1998 hingga sekarang, masih terus dikenang oleh beberapa pihak misalnya program tayangan ”Melawan Lupa” di Metro TV pada Senin 27 Desember lalu, meskipun penonjolan yang hendak diperlihatkan dari peristiwa itu selalu dari sisi yang kurang menggembirakan bagi pihak-pihak tertentu.
Salah pihak tertentu itu misalnya Keraton Mataram Surakarta atau Keraton Surakarta, yang secara faktual berada dalam peristiwa itu. Tetapi, keberadaan Sinuhun PB XII mewakili lembaga Keraton Surakarta selain SP Mangkunagoro VIII mewakili Pura Mangkunegaran, terkesan tidak ada atau ”ora kocap” (Bahasa Jawa-red). Karena, tayangan kali ini memang hendak memperlihatkan sebuah tema (angle) yang melukiskan kemungkinnan munculnya konsekuensi yang akan ”sangat merugikan” pihak Belanda, seandainya ada NKRI diakui kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Sebagai ilustrasi, ”angle” yang hendak diperlihatkan tayangan itu adalah sebuah konsekuensi berupa gugatan pengadilan HAM atas tuduhan kejahatan kemanusiaan yang bisa muncul, seandainya Belanda mengakui kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945. Karena, peristiwa Agresi Belanda I dan II (1947 dan 1949), bisa dianggap sebagai tindak pidana kejahatan kemanusiaan karena terjadi pada warga bangsa di negara yang sudah merdeka.
”Ekses” dari beda-beda pengakuan itu tentu sudah masuk ranah internasional, dan lembaga PBB-lah yang bisa mengatasi. Tetapi, peristiwa KMB sudah benar-benar terjadi, ada 200-an orang yang menjadi delegasi RI sudah datang ke meja perundingan itu, dipimpin Wapres RI M eminence labs reviews Hatta sebagai ketua delegasinya. Perundingannyapun juga sudah berlangsung dan NKRI benar-benar diakui kemerdekaannya dari hasil sidang tanggal 27 Desember 1949 itu.
Dan bangsa ini perlu tahu, bahwa di antara 200-an anggota delegasi, ada utusan yang mewakili keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat yang tersebar di Nusantara, yang menurut catatan FKIKN ada 250-an lembaga adat sampai 17 Agustus 1945. Tentu saja, termasuk ”raja” Keraton Mataram Surakarta sebagai ”bintangnya”, yaitu Sinuhun PB XII yang mendapat tempat sebagai tokoh sangat penting untuk mendampingi Wapres RI M Hatta dalam KMB itu, bersama ”Sang Adipati” dari Kadipaten Mangkunegaran yaitu SP Mangkunagoro VIII.
Bila melihat urgensi diadakannnya KMB, sangatlah meyakinkan apabila Sinuhun PB XII dengan bendera ”nagari” Mataram Surakarta itulah yang bisa menjadi isu paling penting berlangsungnya KMB. Karena, secara esensi pengiriman delegasi RI yang dipimpin Wapres RI M Hatta hingga tiga bulan lamanya (termasuk perjalanan laut P/P Jakarta-Den Haag), sangatlah masuk akal apabila semuanya dibiayai Sinuhun PB XII atas nama ‘nagari” Mataram Surakarta.
Hingga kini, dari buku ”Suara Nurani Keraton Surakarta” (Prof Dr Sri Juari Santosa), kajian ilmiah Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat/Jogja), Lembaga Pusat Studi Daerah Istimewa (Pusadi) Jogja, dan karya-karya penulisan ilmiah Dr Julianto Ibrahim (FIB UGM) memang tak ada yang menyebut soal berapa biaya pengiriman delegasi RI di KMB itu. Begitu pula, apakah seluruh biaya pengiriman delegasi itu benar-benar ditanggung Sinuhun PB XII, atau kalau sebagian besar nilainya berapa? dan berapa pula nilai patungan dari para raja/sultan/datu/pelingsir adat yang ikut serta dalam delegasi itu, tetapi menurut Dr Purwadi, Keraton Mataram Surakarta adalah ‘negara’ besar terakhir yang kaya-raya.
”Yang jelas, ‘nagari’ Mataram Surakarta adalah ‘negara’ kerajaan terbesar di Nusantara saat NKRI lahir. Maka, pantas saja yang banyak keluar biaya untuk urusan (pengiriman delegasi di KMB) itu, adalah Sinuhun PB XII atau Keraton Mataram Surakarta. Sinuhun diajak Presiden/Wapres RI berkeliling Nusantara untuk meyakinkan para raja bahwa Indonesia sudah merdeka, itu duit dari mana untuk membiayainya? NKRI ‘kan baru berdiri, punya anggaran/duit dari mana? La wong sumber-sumber penghasilan/pendapatan negara belum ada,” jelas Gusti Moeng selaku Ketua LDA yang dibenarkan Dr Purwadi dan Kusno S Utomo (Lembaga Pusadi), yang dihubungi iMNews.id secara terpisah hingga kemarin.
Sebagai ilustrasi, upaya mengkaburkan peran dan makna ”nagari” Mataram yang sejak 17/8/45 menjadi sekadar Keraton (Mataram) Surakarta), memang bukan hal baru. Tetapi, upaya ”menghapuskan/meniadakan” Mataram Surakarta secara langsung/tidak langsung terdokumentasi dalam banyak jenis, di antaranya melalui jalur pendidikan dari dasar sampai pendidikan tinggi sejak rezim pemerintahan Orde Lama (Orla), dan sangat intensif selama rezim 32 tahun pemerintahan Orba hingga disebut secara masif, sistemik dan terstruktur.
Sebab itu, dalam berbagai kesempatan berbagai pihak, swasta maupun pemerintah, tidak aneh sampai saat kinipun sering terkesan mengecilkan (kalau tidak boleh disebut menghapus/meniadakan) eksitensi Keraton (”Mataram”) Surakarta. Padahal, tak hanya soal membiayai pengiriman delegasi RI yang beranggotakan 200-an orang ke KMB yang memakan waktu sampai 3 bulan itu, halaman 13-21 buku ”Suara Nurani Keraton Surakarta” jelas-jelas mencatat berbagai bentuk serta jumlah bantuan Keraton Surakarta, sejak NKRI berdiri hingga tahun 1965.
”Kalau saya lebih merasakan karya-karya budaya dan peradaban Jawa yang saya akui sampai sekarang masih saya pakai. Saya beruntung dilahirkan dari lingkungan leluhur peradaban Jawa. Karena saya jadi tahu bagimana menjadi manusia yang punya budi pekerti dan nilai-nilai budaya Jawa. Beruntung hati saya bisa dekat dengan keraton, rasanya ayem. Saya selalu berusaha ingin sadar asal-usul dan ‘mikul dhuwur-mendhem jero’ terhadap leluhur,” harap KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, pemerhati budaya Jawa dan keraton yang dihubungi di tempat terpisah. (Won Poerwono-bersambung)