“Proyek Ritual Serupa” Tetap Akan Digelar di Taman Sriwedari?
IMNEWS.ID – TANGGAL 20 Maret ini, dalam hitungan kalender Jawa Tahun Je 1958, persis jatuh pada tanggal 20 Pasa/Ramadhan Tahun 1446 Hijriyah. Pada tanggal itu, Kraton Mataram Surakarta memiliki agenda upacara adat tergolong besar yaitu “Malem Selikuran” untuk memperingati “Turunnya Wahyu Ilahi” atau “Lailathul Qadar”, yang sering disebut “Malam Seribu Bintang”.
Upacara adat sebagai perpaduan antara Budaya Jawa dengan nilai-nilai spiritual religi untuk memperingati saat Nabi Muhammad SAW turun dari Gunung Jabal Nur itu, adalah bagian dari karya cemerlang para pemimpin Mataram, terutama Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Namun, hingga kini belum ditemukan dokumen manuskrip selain catatan dari zaman Sinuhun PB X.
Catatan dari zaman Sinuhun PB X jumeneng nata (1893-1939) yang dimiliki KP Budayaningrat itu menyebutkan, bahwa Kraton Mataram Surakarta selalu menggelar upacara adat untuk memperingati turunnya Nabi Muhammad SAW dari Gunung Jabal Nur. Peringatan pada tanggal 20 Ramadhan atau Pasa malam itu, dilukiskan berupa arak-arakan yang dinamakan “Malem Selikuran”.
Dalam beberapa kali percakapan dengan iMNews.id, “dwija” pada Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta itu menyebut, dirinya belum menemukan naskah-naskah manuskrip lain yang mengisahkan riwayat lahirnya upacara adat “Malem Selikuran”. Tetapi dari catatan itu diyakini, Sinuhun PB X hanya meneruskan dan melengkapi tradisi yang pernah ada.

“Saya yakin, para Sinuhun sebelum ke X pasti juga menjalankannya rutin tiap tahun. Karena, Malem Selikuran merupakan upacara adat keagamaan yang digelar saat bulan puasa atau Ramadhan. Mungkin karena kami belum menemukan catatan manuskripnya saja. Tetapi dari catatan yang saya dapat dari saat Sinuhun PB X, pelaksanaannya sudah menjadi besar”.
“Seperti yang sering diriwayatkan Kanjeng Win (KPA Winarno Kusumo (alm) setiap upacara adat Malem Selikuran digelar, selalu dilukiskan ada keramaian masyarakat menyambut turunnya Nabi Muhammad SAW setelah menerima Wahyu Ilahi di Gunung Jabal Nur. Perjalanan turun dari gunung itu, masyarakat berbondong-bondong menyambut dan meneranginya dengan oncor”.
“Kemeriahan menyambut turunnya Nabi Muhammad SAW itulah, yang kemudian diperingati dalam upacara adat Malem Selikur. Karena, Nabi Muhammad turun dari gunung tepat tanggal 20 Ramadhan di malam hari. Maka, masyarakat menyambut dengan membawa oncor (obor) dan juga bulan dan bintang yang bertaburan di malam itu. Malam itu, adalah malam tanggal 21 Ramadhan”.
“Maka, seterusnay dinamakan Malem Selikur. Banyak juga yang menyebut, peringatan keagamaan itu sebagai ‘Malam Seribu Bintang’ atau ‘Lailathul Qadar’ atau ‘Malam Turunnya Wahyu Ilahi’. Saat masyarakat berbondong-bondong menyambut itu, sambil menyanyikan lagu ‘ting-ting hik; jadah jenang wajik; aja lali ting-e kobong; kobonga cuplakane”, sebutnya singkat.

Upacara adat yang melukiskan masyarakat berbondong-bondong membawa oncor dan ting (lentera) sambil bernyanyi “Ting-ting Hik” itu, oleh Sinuhun PB X disebutkan tidak hanya digelar di lingkungan kraton yang berakhir dengan doa wilujengan di Masjid Agung. Tetapi juga diarak ke Kebon Raja dan ritualnya digelar di Kupel Segaran, agar menjadi hiburan religi publik.
Selain itu, juga disebutkan bahwa upacara adat Malem Selikuran yang digelar di lingkungan Kraton Mataram Surakarta dan juga di Kebon Raja atau Taman Sriwedari itu, juga disertai keramaian pasar malam yang dikenal dengan “Maleman Ramadhan”. Pasar malam di Taman Sriwedari itu, pada zaman Orde Baru kembali digelar dengan nama Maleman Sriwedari diawali kirab.
“Maleman Ramadhan” atau “Maleman Sriwedari” itu hanya berlangsung sekitar 10 tahun antara 1985-1995, setelah itu ditiadakan karena animo yang berkunjung untuk menyaksikan dan berjualan di situ terus mengalami penurunan. Setelah peristiwa 1998, pernah diaktifkan lagi, tetapi “tidak laku”, bahkan kraton mengembalikan ritual itu sejak 2004.
Mulai tahun 2004, “Maleman Ramadhan” digelar di Alun-alun Lor dan Masjid Agung sebagai pusat ritual religi dan pasar malam pendukungnya. Tetapi, menggelar ritual dengan keramaian pasar malam yang butuh modal besar itu semakin berat kalau dipikul secara swadaya. Karena perlahan-lahan Pemkot/Pemprov menghentikan bantuan hibah, akibat kraton dilanda friksi.

Friksi yang semakin memuncak saat Jokowi menjadi Wali Kota Surakarta berpasangan dengan FX Hadi Rudiyatmo sebagai Wawali (2005-2010), seakan “melumpuhkan” kraton. Sampai saat itu, ritual “Malem Selikuran” tetap digelar tetapi tanpa “Maleman Ramadhan”. Penyelenggaraan hampir semua upacara adat ikut terganggu hingga friksi itu memuncak di tahun 2017.
Selama lima tahun lebih, Bebadan Kabinet 2004 yang dipimpin Gusti Moeng masih beberapa kali menggelar berbagai upacara adat di luar kraton, termasuk “Malem Selikuran”. Upacara adat ini justru kembali mendapat format yang pas ketika prosesi kirabnya keliling jalan lingkar dalam tembok Baluwarti, lalu bermuara di Masjid Agung untuk gelar donga wilujengannya.

Selama itu, juga ada ritual serupa yang digelar figur-figur yang berkumpul di sekitar Sinuhun PB XIII. Tetapi, mereka mengulang ritual pada zaman Orde Baru, dengan prosesi kirab jalan kaki dan juga sering diangkut dengan kendaraan karena upacaranya dipusatkan di Taman Sriwedari. Karena menjadi “proyek” yang dibiayai APBD, ritual ini pernah dihiasi “maleman”.
Bebadan Kabinet 2004 kembali bekerja di dalam kraton muali tahun 2023, ritual “Maleman Sriwedari” mulai rutin digelar. Prosesi kirab keliling dalam Baluwarti, lalu menuju Masjid Agung untuk gelar donga wilujengan. Tetapi, kegiatan ritual serupapun juga masih berjalan. Kini, dalam suasana “Dekrit LDA”, “proyek” ritual ke Taman Sriwedari itu akankah tetap berjalan?. (Won Poerwono/i1)