Heboh “Penyesalan” Pihak yang Tak Berwenang, Rasa Keadilan Bagi Kraton Jadi Persoalan (seri 4 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 9, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:10 mins read
You are currently viewing Heboh “Penyesalan” Pihak yang Tak Berwenang, Rasa Keadilan Bagi Kraton Jadi Persoalan (seri 4 – bersambung)
TAJAM DAN BERANI : Pernyataan Gusti Moeng sering tajam dan berani saat diwawancarai para awak media karena menguasai materi yang berdasar pada yuridis dan historis, seperti sehabis ikut meresmikan patung Sinuhun PB VI di kawasan objek wisata "Simpang PB VI", Selo, Boyolali, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Jadi Momentum Menegaskan Eksistensi dan Otiritas Lembaga Dewan Adat

IMNEWS.ID – SETELAH membedah permasalahan besar yang dialami Kraton Mataram Surakarta dan jagad maya atau “jagad abuh” yang gempar oleh cuitan figur yang asal “Nyesel” itu, kesimpulan pokoknya hanya ada 2. Yaitu soal “rasa keadilan” yang tak pernah diberikan kepada lembaga “pendiri republik” ini, dan soal kepatuhan menjalankan amanat konstitusi yang “wajib”.

Meski begitu, ada banyak kesimpulan yang tidak pokok dalam sesi lanjutan tulisan ini, meskipun malah menjadi yang utama atau sekadar penegasan dan pelengkapnya. Misal soal kapasitas kewenangan untuk berekspresi dan soal penguasaan materi  persoalan kraton yang sangat minim, juga soal pemahaman jati-dirinya yang menyangkut dari mana asal-usulnya secara adat?.

Kesimpulan seperti tersebut di atas ada dua, karena penegasan Gusti Moeng seperti yang diterima iMNews.id dan beberapa media lain, inti persoalan yang ditandaskan kurang lebih untuk meluruskan sikap”Nyesel” itu. Bahkan masih ada yang ditambahkan, yaitu soal putra mahkota di kraton adalah hak KGPH Hangabehi, karena dialah putra tertua Sinuhun PB XIII.

“Seperti paugeran adat yang sudah berlaku ada sebelumnya, karena kraton tidak ada permaisuri (garwa prameswari), maka calonnya ditetapkan dari putra tertua di antara semua anaknya. Karena putra tertua Sinuhun (PB XIII-Red) KGPH Hangabehi, maka dialah kelak yang berhak. Penobatan sebagai putra mahkota, pasti akan tiba waktunya, kita tak perlu nggege mangsa”.

PUNYA OTORITAS : Kemenbud Fadli Zon menjadi contoh pejabat tinggi pemerintah yang sangat menghargai eksistensi Gusti Moeng, Pangarsa LDA yang punya kapasitas sebagai representasi otoritas lembaga Kraton Mataram Surakarta untuk keperluan komunikasi secara legal formal. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Karena, penobatan sebagai putra mahkota yang bergelar Pangeran Adipati dan sebagainya, dan sebagainya itu, hanya  dibenarkan oleh paugeran adat ketika raja yang jumeneng surut (wafat). La, sekarang Sinuhun masih meger-meger (hidup-Red), kok ada yang diwisuda. Itu salah besar. Tidak etis. Nggege mangsa. Pelanggaran berlapis-lapis,” tunjuk Gusti Moeng.

Ada tiga hal yang disebut tandas Gusti Moeng perlu dipahami, yaitu “salah besar”, “tidak etis” dan “pelanggaran berlapis- lapis”. Persoalan itu sangat mendasar, karena pedoman yang harus sudah dipahami masyarakat adat Mataram Surakarta. Sebab, ketiga hal itu berkait dengan paugeran adat, nilai etika dan estetika cirikhas kraton serta jati-diri yang diragukan.

Posisi siapa saja figurnya yang disebut “salah besar”, dalam konteks kehidupan masyarakat yang memiliki tata-nilai aturan yaitu paugeran adat, mekanisme penilaian harus ditegakkan demi rasa keadilan. Yaitu memberi hadiah/penghargaan bagi yang berprestasi/berjasa, tetapi sekaligus memberi hukuman bagi yang melanggar tata nilai aturan/paugeran sesuai derajatnya.

Pelanggaran adat atau tata nilai etika dan estetika, bagi masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, bobotnya harus dipandang lebih berat dibanding yang dilakukan berbagai pihak yang berada di luar masyarakat adat. Karena, bagi masyarakat adat, nilai estetika dan etika adalah hal “kautaman” atau keutamaan yang sudah melekat pada dirinya sejak lahir.

BARU TAHU : Banyak pihak dari kalangan pemerintah, militer dan institusi kepolisian yang baru tahu mengenai eksistensi dan jasa-jasa Kraton Mataram Surakarta setelah mendapat penjelasan dari Gusti Moeng. Karena, Pangarsa LDA ini menguasai materi dan semua persoalan mendasar tentang kraton dan segala asetnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ini bisa menjadi ilustrasi, bagi publik secara luas yang pernah dilahirkan dan hidup di Kota Surakarta, bekas Ibu Kota “negara” Mataram Islam Surakarta dan sumbernya Budaya Jawa. Bahwa dalam dirinya sudah melekat nilai-nilai “kautaman” atau keutamaan manusia itu, tetapi kalau sudah melanggarnya, berarti tidak layak mengaku “wong Jawa” atau “wong Surakarta”.

Tak hanya figur-figur yang merasa pernah lahir di Surakarta atau “mewakili” Surakarta, cakupan nilai-nilai estetika dan etika Budaya Jawa yang bersumber dari Mataram Surakarta itu, bahkan lebih luas lagi. Karena, sebaran Budaya Jawa itu sampai seluas eks wilayah “negara” Mataram Surakarta, yaitu di tiga perempat Pulau Jawa seperti luasnya cabang Pakasa.

Mengenai pelanggaran aturan yang berlapis-lapis atau banyak jenis aturan yang dilanggar, karena secara mendasar posisi figur yang melempar “penyesalannya” ke dunia maya itu sudah tidak tepat atau salah. Karena, dirinya masih menjadi tanggungan sebuah keluarga dan lingkungan yang sudah “dihukum” akibat eksekusi keputusan Mahkamah Agung, 8 Agustus 2024.

Termasuk figur yang sedang “nyesel”, mereka semua menjadi bagian dari yang dinyatakan bersalah telah menyalahgunakan SK Kemendagri Tjahjo Kumolo No.430-2933/2017 tertanggal 21 April 2017. Oleh sebab itu, mereka wajib mematuhi eksekusi keputusan Mahkamah Agung (MA) No.87/Pdt.G/2019/PN Ska (29 Agustus 2022) yang dilaksanakan di kraton, 8 Agustus 2024.

TETAP “DITUAKAN” : Jabatan Sekretaris Jendral (Sekjen) FKIKN tetap dipercayakan kalangan anggota kepada Gusti Moeng karena menjadi representasi yang legal dan formal dari Kraton Mataram Surakarta. Kepercayaan itu tetap diberikan kepada Surakarta, karena kraton “dituakan” forum sebagai yang pertama mendukung NKRI. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Eksekusi putusan MA itu, telah menyatakan semua jenis produk kebijakan yang dilakukan Sinuhun PB XIII sejak 2017 dinyatakan tidak berlaku karena dinyatakan telah melanggar hukum atau sebagai perbuatan melawan hukum. Bersamaan dengan itu, eksekusi itu sekaligus memulihkan eksistensi Lembaga Dewan Adat (LDA), sebagai lembaga pengelola “kraton seutuhnya”.

Dengan pulihnya eksistensi status Lembaga Dewan Adat yang dipimpin Gusti Moeng selaku “pangarsanya”, berarti otoritas kewenangan Kraton Mataram Surakarta secara kelembagaan, sepenuhnya ada di tangan LDA. Oleh sebab itu, semua produk kebijakan sejak 2017, dari soal “permaisuri”, gelar “GKR” dan gelar “putra mahkota Pangeran Adipati”, sudah tidak berlaku.

DIALOG BUDAYA : Gusti Moeng juga selalu dipandang sebagai representasi Kraton Mataram Surakarta yang memadai untuk urusan “dialog budaya” dengan berbagai elemen bangsa, seperti perwakilan masyarakat adat dari DI Aceh yang berkunjung ke kraton, sebelum 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Semua hal di atas adalah konsekuensi dari pelanggaran hukum positif/nasional, baik sebagai akibat langsung maupun tidak. Sedangkan dari tinjauan hukum adat, tiga hal yang otomatis gugur dan tidak berlaku lagi itu, juga jelas melanggar paugeran. Karena intinya, tiga hal itu secara adat bukan haknya, karena tidak punya “nazab” atau asal-usul secara adat.

KPP Wijoyo Adiningrat, seorang sentana-dalem yang punya banyak referensi soal paugeran adat menegaskan, “garwa prameswari” itu ditetapkan Raja sejak masih muda (perawan-Red) yang “dipingit” di dalam kraton. Ketika dinikahi Raja, dalam upacara adat resmi kraton dengan tatacara adat yang lengkap, bukan asal “comot” dan “asal pakai gelar”. (Won Poerwono – bersambung/i1)