Seni Santiswaran, Karawitan Laras Madya, “Lelagon Singiran” yang Juga Seni Syi’ir (seri 4 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 14, 2024
  • Post category:Budaya
  • Post comments:0 Comments
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Seni Santiswaran, Karawitan Laras Madya, “Lelagon Singiran” yang Juga Seni Syi’ir (seri 4 – bersambung)
SIMBOL IKONIK : "Joli" dan "ting" Sri Radya Laksana, dua dari sejumlah hal penting yang menjadi simbol ikonik ritual hajad-dalem "Malem Selikuran", selain kesenian "Laras Madya" atau Santiswaran yang menjadikannya satu rangkaian utuh untuk ritual itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dulu, Kraton Jadi Pusat Peradaban Masyarakat Priyayi, Tani, Seni dan Santri

IMNEWS.ID – MENDENGAR sekilas gendhing Santiswaran atau Laras Madya “Ladrang Kayun” karya Sinuhun PB V dari YouTube yang diunggah PWS Group dengan judul “Kaum Dawuk” (Pelog Barang), tentu berbeda suasananya ketika menikmati secara langsung sajian seni Santiswaran atau Laras Madya Kraton Mataram Surakarta yang disajikan di Masjid Agung, Minggu malam (31/3).

Sebagai sajian tunggal ritual hajad-dalem “Malem Selikuran” yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” itu, grup Santiswaran kraton yang dipimpin RM Restu selaku koordinator atau tindhih abdi-dalem, menyajikan 10 gendhing khas seni Laras Madya yang semuanya ciptaan Sinuhun PB V. Gendhing “Kayun” menjadi sajian penutup, tetapi akan memberi arah kehidupan kalau dihayati syairnya.

KRT Rawang Gumilar Lebdadipura selaku penabuh salah satu “Kemanak” menyebutkan, sajian pertama kesenian khas “Malem Selikuran” itu adalah gendhing “Barikan”, diteruskan gendhing “Kidung Panulak”, “Kembang Kapas”, “Soyung-Dhandhanggula, “Eman-eman”, “Salallahu”, “Megatruh”, “Kaum Dhawuk”, “Tawakal” dan ditutup (Ladrang) “Kayun”.

TOPENGAN MALIGI : Sejak “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng kembali bekerja penuh di dalam kraton, mulai 17 Desember 2022, hingga dua tahun berjalan ini belum pernah menggelar ritual hajad-dalem “Malem Selikuran” di “topengan” Maligi Pendapa Sasana Sewaka, seperti yang selalu digelar tiap tahun sebelum 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kesepuluh gendhing khas seni Laras Madya itu disajikan grup Santiswaran kraton yang semuanya termasuk generasi muda abdi-dalem kantor Pengageng Mandra Budaya, malam itu. Dalam catatan iMNews.id, penampilan grup generasi muda abdi-dalem ini adalah penampilan pertama di ritual hajad-dalem “Malem Selikuran”, karena sepertinya tidak disajikan pada ritual lain di kraton.

“Ada banyak perspektif yang bisa diungkapkan dari kesenian Laras Madya atau Santiswaran ini. Salah satunya, dari unsur nada yang digunakan adalah nada tengah atau ‘madya’. Nada tidak rendah dan juga tidak tinggi, agar bisa dijangkau rata-rata yang menyanyikan syairnya. Karena anggota grup Laras Madya, bisa saja bukan wiraswara atau bukan pesinden”.

“Jadi, nama Laras Madya diambil dari nadanya yang termasuk di tengah. Sedangkan Santiswaran, adalah nama yang diambil dari syairnya. Karena, Santiswaran bisa diartikan sebagai doa (santi) yang disuarakan/dikumandangkan. Karena kesenian ini sifatnya ekspresi doa, maka bisa disajikan di luar Malem Selikuran,” jelas Dr Purwadi, peneliti dari Lokantara Pusat di Jogja.

MUSIK AKULTURATIF : Kesenian musik Laras Madya adalah musik religi yang akulturatif antara budaya Jawa yang diwakili beberapa hal dan Islam yang diwakili ajaran-ajaran kebajikan dalam syairnya. Maka, tepat sekali jenis musik ini melekat jadi satu-kesatuan dalam ritual “Malem Selikuran” yang juga khas Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Baik Dr Joko Daryanto maupun Dr Purwadi menyebut, gendhing-gendhing Santiswaran hanya menggunakan gendhing tengahan atau “madya”. Menurut abdi-dalem karawitan kantor Pengageng Mandra Budaya itu, “gendhing Kemanak” hanya identik dengan “Bedaya Ketawang” atau “Gamelan Lokananta”, yang menempatkan “Kemanak” sebagai instrumen utama.

Meski ada kesamaan dalam penggunaan atau pelibatan unsur “Kemanak”-nya, tetapi dari penjelasan Dr Joko Daryanto ada perbedaan prinsip fungsinya di antara yang digunakan untuk iringan tarian sakral “Bedaya Ketawang” dan “Malem Selikuran”. Meskipun, ada kesamaan unsur efek yang ditimbulkan ketika menikmati dua ritual ini, yaitu unsur rasa dan alam bawah sadar yang banyak kena.

Karena unsur alam bawah sadar yang paling banyak merasakan efek bunyi instrumen “kemanak” yang digunakan seni karawitan atau sejenisnya, maka suasana spiritual kebatinanlah yang akan terbangun. Walaupun suaranya terdengar hanya sayup-sayup dari jarak 50-an meter atau lebih, tanpa pengeras suara (sound system) alias hanya secara manual.

SUDAH DISEDIAKAN : Sinuhun PB V sudah menyediakan sejumlah gendhing-gendhing yang sangat cocok disuguhkan dengan iringan instrumen akulturatif dalam seni Laras Madya untuk ritual Malem Selikuran. Dengan versi instrumen agak berbeda, kesenian religi ini masih ada di tengah masyarakat dengan sebutan khas masing-masing daerah. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Soal “Santi” adalah doa dan “swara” adalah disuarakan atau dikumandangkan, bisa dibahas pada seri lanjutan dengan mengupas syair dari 10 judul gendhing khas seni “Laras Madya” atau Santiswaran. Tetapi persoalan sulitnya meregenerasi seniman “Laras Madya”, atau semakin kecilnya animo masyarakat untuk belajar kesenian yang sangat sederhana ini, perlu dipahami penyebabnya.

Menurut Dr Purwadi, dulu Kraton Mataram Surakarta (1745-1945) menjadi menjadi pusat peradaban masyarakat yang pada waktu itu  terbagi menjadi priyayi, tani, seni dan santri. Di dalam kategori priyayi ada keluarga besar kraton dan abdi-dalem atau pegawainya, termasuk di dalamnya “ASN”, waktu itu, yang bekerja di pusat pemerintahan “Kepatihan”.

Maka benar, dalam catatan abdi-dalem “Kanca Kaji”, KRT Ahmad Faruq MFil-I, kesenian sejenis Laras Madya atau “Lelagon Singiran” (“Sinuhun Sugih”) yang berkembang di wilayah Kabupaten Ponorogo, hanya kendang unsur gamelan yang masuk ke iringannya. Tetapi, data tentang daftar gendhing-gendhingnya, sudah dibuka Patih Sasradiningrat IV di zaman Sinuhun PB X.

DESA JATISOBO : Masyarakat Desa Jatisobo, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo mendapat tinggalan Sinuhun PB IV, berupa Masjid Agung Jatisobo. Seni Laras Madya juga lahir dari pesantren di situ, yang kini dirawat grup Santiswaran “Ngesti Swara”. Grup ini pernah ditampilkan saat “Bebadan Kabinet 2004” menggelar khol Sultan Agung, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ilustrasi data yang diungkap KRT Ahmad Faruq, untuk menandaskan bahwa komposisi masyarakat Jawa atau kawasan wilayah yang pernah menjadi sebaran budaya Jawa produk Kraton Mataram Surakarta atau sebelumnya, pelan-pelan berubah sejak NKRI lahir. Menurut Dr Purwadi, kini atau sekitar 30-an tahun lalu, komposisi itu berubah menjadi kekuasaan, agama, kampus dan rakyat.

“Kekuasaan dan agama, berusaha menghapus seni (kesenian) dan menindas rakyat (sutresna budaya-Red). Pertanian atau tani, tentu saja ikut menjadi korban. Tetapi yang paling dikorbankan adalah kesenian, karena berusaha dihapus. Karena, ada kelompok yang mengharamkan gamelan. Buruh bangunan, teknik dan jasa lain, masuk kategori tani”.

“Padahal, pertanian yang maju jelas memajukan seni. Negara yang subur-makmur, murah sandang dan pangan, karena produk pertanian seperti China itu. Sinuhun PB II sampai belajar ke Jerman dan negara-negara Eropa dan timur tengah, untuk merencanakan ‘nagari’ Mataram Surakarta yang lebih baik dan maju, berbasis pertanian”, beber Dr Purwadi. (Won Poerwono-bersambung/i1).

Leave a Reply