Kekuasaan Telah Menciptakan Peradaban yang Tidak Ramah Pada “Kemuliaan” dan “Keluhuran”
IMNEWS.ID – DARI berbagai fakta sejarah dalam bentuk apa saja, baik yang langsung bisa ditangkap panca indera (tangible) secara fisik seperti berbagai macam ragam bangunan, maupun yang tidak secara langsung (intangible) seperti tata-nilai dan seni budaya, karya-karya peradaban masa lalu para leluhur nenek-moyang kita, di satu adalah warisan peradaban.
Tetapi di sisi lain, harus dipandang sebagai sifat-sifat dan keluhuran nenek moyang yang dengan ikhlas diciptakan dan ditinggalkan, sebagai modal kehidupan generasi anak-cucunya berikutnya. Oleh sebab itu, apa yang ditinggalkan para leluhur mulai peradaban sebelum Majapahit hingga Mataram, terlebih Mataram Surakarta, tak lain adalah bukti-bukti keluhurannya.
Atas keikhlasan dan keluhuran nenek-moyang dan para tokoh leluhur bangsa khususnya yang lahir dalam rentang waktu abad 8 hingga 19 di lingkup pulau Jawa saja, seharusnya sudah bisa membuka mata kita, bahkan hingga “membelalakkan” mata kita, untuk mengakui, menghormati, berterimakasih, bersyukur (aspek teologis), memelihara, menjaga dan melestarikannya.
Peristiwa 17 Agustus yang dituntaskan pada peristiwa 29 Desember 1949 (iMNews.id, 2/1/2023), dinamika sosial politik dunia telah merubah sikap dan cara pandang manusia secara fundamental selain perubahan peta geo-sosial politik. Bangsa di Nusantara dengan keberagaman suku, agama, ras, golongan dan sebagainya yang menghuni lebih 17 ribu pulau, terwadahi dalam NKRI.
Bangsa yang sebelumnya pernah lahir, tumbuh dan dewasa dengan peradaban di masing-masing wilayah entitas masyarakat adat yang tersebar di 17 ribu pulau itu, terkesan “ingin dioplos” yang diharapkan menjadi satu entitas dengan satu ciri “budaya nasional” seperti yang pernah digagas beberapa tokoh perintis kemerdekaan di satu sisi.
Di sisi lain, “bangsa” Jawa yang harus ikhlas “diperkecil” menjadi hanya suku, sama-sama telah menjalin konsensus menjadi bagian dari sebuah bangsa dengan wadah tunggal NKRI. Itu berarti, “bangsa” Jawa juga ikhlas untuk menerima keniscayaan para leluhur peradaban dari entitas masyarakat adat lain, begitu pula sebaliknya yang menjadi konsekuensi logisnya.
Dengan begitu, seharusnya bangsa yang lahir, tumbuh dan dewasa dalam wadah tunggal yang kini berusia 79 tahun itu bisa menunjukkan kecerdasannya, jiwa besarnya, keihklasanya dan juga keluhurannya untuk menerima, menghargai, menghormati, memelihara, menjaga dan melestarikan “semua yang ditinggalkan” para leluhur nenek-moyang bangsa.
Sayang sekali, bangsa di Nusantara yang melakukan konsensus nasional pada 17 Agustus 1945 (Proklamasi Kemerdekaan) tetapi baru diakui dunia pada 27 Desember 1949 (Perjanjian KMB) itu, sepertinya ada yang berlaku mulia tetapi banyak juga para tokoh “yang mendadak” lahir pada sekitar peristiwa revolusi tidak punya sikap dan cara pandang semulia itu.
Upaya “ingin mengoplos” 250-an entitas yang sudah punya modal budaya yang berbhineka itu, hingga kini tidak pernah kelihatan hasil yang diangan-angankan sebagai sebuah entitas dalam wadah tunggal yang ber-“budaya nasional”. Yang terjadi, adalah lahirnya para tokoh yang mencerminkan pluralitas, tetapi tidak begitu memahami makna “kemuliaan” dan “keluhuran”.
Entitas-entitas kecil dari wadah tunggal yang sebelumnya banyak dikenal ciri-ciri kemuliaannya, tak disangka juga menurunkan tokoh-tokoh yang “culika”, “murka”, “daksiya”, “tegel” (tega-Red) dan gampang “jubriya”. Dari sini, pemeo “esuk dhele, sore dadi tempe” yang maknanya suka bertutur “mencla-mencle”, kembali dikenal luas menjelang Pemilu di tahun 2024 ini.
Peristiwa penandatanganan perjanjian KMB (27 Desember) yang dilakukan Sinuhun PB XII, bisa dimaknai sebagai upaya untuk memperlihatkan kemuliaan, keluhuran dan keihklasannya kepada dunia dan khususnya kepada bangsa dalam wadah tunggal NKRI itu. Bahwa diri dan entitas Kraton Mataram Surakarta, telah meneladani kemuliaan, keluhuran dan keikhlasan para pendahulunya.
Tetapi, proses dan hasil akhir dari terbentuknya satu entitas dalam wadah tunggal dan proses sosial politik yang terjadi setelah 17 Agustus 1945, tidak seperti yang diharapkan bisa memancarkan “cahaya kemuliaan dan keluhuran” para tokoh yang terlibat maupun tokoh-tokoh leluhur yang mereka teladani.
Dinamika geo-sosial politik dunia yang telah merubah sikap dan cara pandang manusia secara fundamental di sekitar revolusi 1945 di Indonesia dan PD I hingga PD II yang berada di sekitar tahun yang hampir sama, membuka peluang masuknya isme-isme dari daratan Eropa (barat dan timur) dan Asia (RRC) ke Indonesia.
Komuniasme dan Marxisme sebagai salah satu ideologi yang masuk ke Indonesia bersamaan dengan terjadinya dinamika perubahan di sekitar revolusi kemerdekaan, sangat banyak perubahan terutama hal-hal negatif atau yang kurang menguntungkan bagi Indonesia, khususnya Mataram Surakarta. Pemeo “esuk dhele, sore dadi tempe”, adalah salah satu praktik salah satu isme itu.
Pemeo “esuk dhele, sore dadi tempe” sebagai produk ilmu pengetahuan yang berkembang pesat, yang kemudian disebut politik itulah, yang telah melahirkan kekuasaan dan peradaban baru setelah 1945. Politik sebagai sebuah strategi terapan dari bercampurnya berbagai ideologi itu, yang membuat kekuasaan dan peradaban kini tidak ramah pada “kemuliaan” dan “keluhuran”. (Won Poerwono-habis/i1).