Publik Dianggap Tidak Paham, Mulai Muncul Upaya Klaim Sebagai Miliknya
IMNEWS.ID – DUGAAN salah klaim yang dilakukan sebuah institusi pendidikan di Jogja (iMNews.id, 17/4), terhadap tembang macapat Gambuh (bukan Dhandhang Gula-Red) karya Sinuhun PB IV yang berisi ajaran untuk tidak berlaku “Adigang, Adigung dan Adiguna” sebagai “Pendidikan Keyogyakartaan….” belakangan ini, ada beberapa alasan yang mendasar. Terlebih, dugaan salah tafsir atau justru tidak memahami dokumen naskah manuskrip yang berupa karya sastra tembang macapat, bisa membuat penetapan Hari Jadi Kota Surakarta tidak sesuai dengan fakta-fakta sejarah.
Dugaan salah klaim itu menjadi sebuah kasus yang menarik untuk disimak dan dipahami, setidaknya bagaimana itu bisa terjadi, apa latar belakangnya dan apa tujuannya? Sedangkan kasus yang agak berbeda, sudah lebih dulu terjadi, bahkan di Kota Surakarta yang notabene tempat para pujangga menciptakan karya-karya sastra tembang macapat. Bahkan ternyata, di dalam karya macapat itu menyimpan dokumen data dan fakta kesejarahan tentang eksistensi kehidupan/peradaban Mataram di Jawa, khususnya di Surakarta, berusia ratusan tahun sampai lahirnya NKRI di tahun 1945.
Namun dalam perjalanan, zaman berubah menuju modern, bahkan memasuki abad milenium 2, yang kecenderungannya melahirkan generasi manusia yang berusaha modern di satu sisi, tetapi di sisi lain berusaha ingin melepaskan diri dari stampel “orang jaman dulu” (Jadul) dan segala atribut dan ciri tradisional, kuno, tertinggal, tidak gaul dan sebagainya. Dalam proses perubahan semacam itu, generasi manusia yang merasa “malu” dan “risih” dianggap jadul, berusaha melepasakan segala ikatan masa lalu dan berusaha meninggalkannya.
Malu Dianggap Jadul
Di awal-awal kemerdekaan (1945) hingga tahun 1970-an, beberapa pemikir negara ini sudah memunculkan keinginannya untuk menjadikan Indonesia (berkebudayaan) “baru” yang benar-benar punya ciri budaya dan kepribadian baru. Gagasan ini muncul, mungkin karena NKRI terbentuk dari “puncak-puncak kebudayaan di daerah” yang tersebar di Nusantara, itu bisa menjadi salah satu alasannya. Tetapi hingga republik ini berusia 77 tahun, keinginan itu tak pernah jelas wujudnya seperti apa?.
Yang jelas, seiring perubahan dan kemajuan bangsa yang memilih sebagai negara demokrasi tulen, yang berkembang pesat di NKRI justru politik identitas. Kekuatan politik jenis ini sudah muncul nyata mulai menggerogoti sendi-sendi kehidupan, cirikhas dan kepribadian bangsa. Puncak-puncak kebudayaan daerah yang terpancar dari kerajaan-kerajaan di Nusantara, lengkap dengan kearifan lokalnya, yang sejak 17 Agustus 1945 bersepakat mendirikan NKRI, berasas Pancasila, berlandaskan UUD 45 dan berhiaskan warna-warni taman kebhinekaan, tetapi kini sudah dikoyak-koyak politik identitas.
Wayang dan segala bentuk upacara adat dari berbagai kearifan lokal itu sudah menjadi “korban” karena diharamkan, tetapi jauh sebelum itu terjadi, warga bangsa ini sudah memulai “ambisinya” menanggalkan berbagai atribut masa lalu, yang sebenarnya merupakan sumber kearifan lokal. Salah satu yang hendak ditanggalkan itu adalah lagu-lagu yang dianggap kuno, tidak menarik, monoton, membosankan, padahal sebenarnya lagu-lagu itu karya sastra para pujangga Mataram terlebih Surakarta, yang kebanyakan menyimpan dokumen bersejarah tentang keberadaan peradaban masa lalu nenek-moyangnya sendiri.
Yang Hilang dari Lek-lekan
Karya sastra yang berupa tembang macapat, jumlahnya ada belasan nama mulai dari Dhandanggula hingga Wirangrong. Dengan penulisan atau pencatatan dalam bentuk syair tembang ini, para pujangga baik dari Keraton Mataram Surakarta dan Pura Mangkunegaran sebenarnya mencatat segala macam peristiwa, baik yang menyangkut kehidupan pribadi dan keluarga besar, suasana tata kehidupan bernegara/kerajaan maupun suasana zaman peradaban pada waktu itu.
“Memang benar, di dalam masyarakat sudah terjadi pergeseran nilai-nilai. Tembang (macapat) sudah tidak disukai anak-anak muda. Kadang-kadang saja, tembang macapat masih terdengar di resepsi pernikahan, pergelaran wayang, ketoprak. Tradisi wungon atau lek-lekan saat ada ritual sepasaran atau selapanan bayi, juga sudah tidak ada. Di kampung-kampung saya dengar masih ada, yang lek-lekan sambil nembang macapat. Tetapi kebanyakan yang melakukan kalangan orang tua,” jelas KRRA Budayaningrat, dwija Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini.
Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa jawa SMA se-Jateng itu melukiskan, bahwa kehidupan warga peradaban modern memang semakin jauh dari nilai-nilai budaya dan kearifan lokalnya. Faktor penyebabnya diakui sangat banyak dan saling berhubungan secara kausal, tetapi yang banyak muncul ke permukaan karena menganggap karya sastra yang berupa tembang macapat itu sudah ketingalan zaman atau tidak gaul.
Relevan Sepanjang Masa
Anggota Pengurus Yayasan Panakawan Jawa Tengah itu bahkan menyebut, selain beberapa hal di atas yang mencerminkan sisa-sisa aktivitas pelestarian budaya Jawa di tengah masyarakat, juga disinggung masih adanya kegiatan lomba macapat di kalangan siswa sekolah, mulai dari SD hingga SMA. Namun, lomba ini hanya sebatas menguji para peserta apakah hafal jenis tembang yang dinyanyikan dan apakah benar nitasinya didendangkan, karena bentuk-bentuk pemahaman jelas tidak mungkin dilakukan di forum seperti itu.
Menyimak penjelasan dwija (guru) sanggar di atas, sangatlah benar apabila bentuk-bentuk pemahaman terhadap jenis karya sastra tembang macapat itu saja, sudah sangatlah langka. Terlebih, bentuk pemahaman terhadap isi, esensi dan substansi tembang yang banyak menjadi bentuk karya para pujangga Jawa, jelaslah semakin langka. Oleh sebab itu, tidak aneh apabila di sebuah lembaga pendidikan di Jogja, memasang “banner” bertuliskan “Aja Adigang, Adigung, Adiguna”, dipahami sebagai karya “Pendidikan Keyogyakartaan…”.
Padahal, penggalan kata-kata itu berasal dari tembang macapat pupuh Gambuh dari Serat Wulangreh karya Sinuhun Paku Buwono IV (1788-1820), raja dari Keraton Mataram Surakarta. Dari serat itu, ditunjukkan nasihat-nasihat yang sangat ideal bagaimana setiap insan berperilaku dalam pergaulan hidup di masayarakat, yang bahkan bisa berlaku atau tetap relevan sepanjang zaman tanpa mengenal batas waktu. (Won Poerwono-bersambung/i1)