Kerbau Bule “Pusaka” Sebagai Bekal PB II Pindah Ibu Kota “Negara Baru”
IMNEWS.ID – KRATON Mataram Surakarta kembali kehilangan salah satu “pusakanya” yang berupa satwa jinak kawanan mahesa keturunan Kiai Slamet, setelah tertular penyakit kuku dan mulut (PMK) yang belum sempat diketahui tanda-tandanya sebelum meninggal. Seekor dari 8 ekor yang tertular PMK itu, diketahui meninggal Kamis pagi (21/7) dan siangnya langsung dikubur di belakang kandang kagungandalem mahesa keturunan Kiai Slamet di kawasan Alun-alun Kidul atau Alkid.
Kemarin, begitu abdidalem srati (pawang) melaporkan kepada Lembaga Dewan Adat (LDA) melalui Pengageng Kartipura KGPH Mangkubumi tentang kondisi semua kawanan satwa itu serta meninggalnya Nyai Apon, GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua LDA sekaligus Pengageng Sasana Wilapa memerintahkan untuk mengundang petugas dari Dinas Peternakan Kota Surakarta. Pagi kemarin para petugas langsung memeriksa Nyai Apon yang sudah mati, dan melakukan tindakan medis kepada 7 ekor lainnya yang diketahui tertular PMK.
Meninggalnya kerbau bule betina yang diberi nama Nyai Apon, kemarin pagi, mengurangi jumlah kawanan kagungandalem mahesa yang tadinya 19 ekor. Tetapi jumlah “pusaka” kraton yang berujud satwa jinak itu dalam kurun waktu sekitar 30-an tahun sejak berkandang di Alkid, mengalami pasang-surut. Karena dalam sekitar 10 tahun terakhir, sudah meninggal antara 3 sampai 5 ekor baik sebagian besar masih balita, sebaliknya dalam kurun waktu itu juga silih-berganti beberapa induk/betinanya beranak.
Sebelumnya Lepas Liar
“Sebetulnya, dari penjelasan para dokter Dinas Peternakan Kota, kerbau termasuk lebih tahan atau kebali dari PMK dibanding sapi. Tetapi mungkin, Nyai Apon yang meninggal sudah terlalu tua. Kagungandalem mahesa keturunan Kiai Slamet ini, sekarang menjadi bidang urusan atau tanggungjawab Pengageng Kartipura yang dijabat Gusti Mangku (KGPH Mangkubumi-Red). Wakilnya mas Bimo (KRMH Kusumo Adilogo). Jadi, yang tertular 8 ekor, mati 1. Jumlah keseluruhan tadinya 19, kini tinggal 18 ekor. Yang di Boyolali, saya tidak tahu,” jelas KRMH Kusumo Wibowo, Wakil Pengageng Sasana Prabu, yang dihubungi iMNews.id, tadi siang,.
Sebelum kawasan Alkid kini berhias kandang “pusakadalem” keturunan Kiai Slamet yang di sisi selatan dan sebagian kecil dari 19 ekor itu dikurung di dalam pagar kompleks Sitinggil Kidul, kawanan mahesa bule itu seakan lepas liar dan mobilitas yang lumayan tinggi serta bergerak luas jangkauannya. Karena, di tahun-tahun 1990-an kawanan yang sebelumnya berjumlah sekitar 9 ekor itu dalam satu hari berkeliaran di kawasan Alkid, tetapi hari berikutnya sudah berada di kawasan uatara Kabupaten Sukoharjo, bahkan sampai ke Jawa Timur, walaupun kraton punya kandang resmi di kampung Gurawan, timur Alkid, di jalan Veteran.
Karena banyak laporan warga yang merasa dirugikan karena sawahnya “dirusak” kawanan keturunan Kiai Slamet, maka KPH Edy Wirabhumi mendapat tugas dari Pengageng Sasana Wilapa secara khusus membangun kandang di sisi selatan Alkid. Bersamaan itu, kemudian membagi kelompok kagungandalem mahesa itu, karena yang berada di Alkid terbagi dalam dua kelompok yang sering bertengkar, ditambah kelompok kecil yang semula dipelihara seorang abdidalem di Madiun (Jatim), dikembalikan ke kraton.
Tak Ada Laporan Kerusakan
Pada perjalanan berikut, sekelompok yang memisahkan diri di Pendapa Sitinggil Lor, kemudian dipelihara KRA Marjito di kediamannya, Teras, yang waktu itu menjabat Ketua Pakasa Cabang Boyolali hingga berjumlah 13 ekor di tahun 2019, beberapa tahun sebelum abdidalem itu meninggal. Tempat kosong di Pendapa Sitinggil, lalu diisi kelompok yang dikembalikan dari Madiun. Sementara, sebuah kandang yang dibangun di kawasan Bekonang, Mojolaban, Sukoharjo, dibiarkan kosong, karena sekelompok lagi dipelihara seorang abdidalem di kawasan Langenharjo, Grogol, yang kemudian juga dipindah ke kediaman KRA Marjito, beberapa tahun sebelum meninggal.
“Sekarang tinggal memelihara saja, karena tempatnya aman. Semua sudah berada di posisi kandang, bukan lepas liar. Sudah tidak ada lagi warga yang lapor minta ganti rugi. Termasuk yang ditombak dan meninggal di kawasan Solo Baru, beberapa tahun lalu. Kalau dihitung semua, ya termasuk bisa berkembang-biak normal di tempat masing-masing. Karena, dulunya di satu tempat dari 3 ekor menjadi banyak. Kini menjadi belasan ekor,” jelas KPH Edy menceritakan kembali beberapa peristiwa penanganan satwa kagungandalem ini, ketika belum dikandangkan dan belum diurus secara baik sebelum tahun 2000-an, menjawab pertanyaan iMNews.id di tempat terpisah, tadi siang.
Meninggalnya seekor betina kagungandalem mahesa yang diberi nama Nyai Apon, mengingatkan pada keberadaan pusakadalem berupa satwa jinak itu, serta fungsinya bagi lembaga Kraton Mataram Surakarta, terutama ketika datang Tahun Baru Jawa yang biasanya dilakukan dalam sebuah ritual yang digelar tepat pada malam tanggal 1 Sura. Karena, sekarang ini sudah memasuki bulan Besar (kalender Jawa Tahun Alip 1955 ), yang tinggal beberapa hari lagi akan berganti ke Tahun Baru Jawa Ehe 1956 yang bersamaan dengan pergantian tahun Hijriyah, dari tahun 1443 ke tahun 1444, tepat pada tanggal 1 Muharam, akhir bulan Juli ini.
Agar Berumur Panjang
Keberadaan kawanan pusakadalem keturunan Kiai Slamet, pada perjalanan zaman lebih dikenal sebagai bagian dari upacara adat kirab pusaka yang secara rutin digelar Kraton Mataram Surakarta ketika menyambut pergantian Tahun Baru Jawa Jawa, tepat di malam tanggal 1 Sura. Tahun Baru Jawa berjalan nyaris bersamaan dengan Tahun Baru Hijriyah, sebagai wujud kearifan sekaligus karya besar Raja Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma ketika mendirikan “negara” atau “nagari” Mataram Islam (1613-1645), untuk menuntaskan akulturasi antara (budaya) Jawa dan Islam yang telah dirintis para Wali Sanga.
Oleh sebab itu, publik secara luas hanya sebatas kagum terhadap keberadaan kawanan satwa jinak yang berkulit bule atau albino, dan peran serta fungsinya sebagai bagian paling depan dari arak-arakan prosesi kirab pusaka di malam 1 Sura. Publik tak banyak tahu mengapa hanya Kraton Mataram Surakarta yang memiliki “pusaka” berupa satwa keturunan Kiai Slamet, padahal ada empat keraton keturunan Dinasti Mataram, serta sekitar separo yang tersisa dari 250-an keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat yang ada di Nusantara.
Publik secara luas juga nyaris tidak tahu bahwa kagungandalem mahesa bule itu, hanya dimiliki Kraton Mataram Surakarta karena Kyai Khasan Besari selaku pemimpin Pesantren Tegalsari, Ponorogo, ingin agar murid sekaligus “besannya” yang bergelar SISKS Paku Buwana II, bisa memindahkan Ibu Kota “nagari” Mataram dari Kartasura ke Surakarta dalam keadaan aman dan lancar, serta menjadikan “negara baru” yang berIbu Kota di Surakarta Hadiningrat itu berumur panjang, dan terbukti bisa sampai 200 tahun (1745-1945). (Won Poerwono-bersambung/i1)