Ditutup Dengan Sajian Sanggar Pelangi Ngesti Budaya dan Sanggar Pawiyatan Beksa
IMNEWS.ID – DENGAN berakhirnya acara inti upacara adat Garebeg Mulud Sekaten 2023 yang ditandai dengan masuknya sepasang gamelan Sekaten dan keluarnya dua pasang hajad-dalem Gunungan, Kamis pagi hingga siang (28/9/2023), berakhir pula suguhan pertunjukan seni “Sekaten Art Festival” enam malam berturut-turut dari tanggal 22/9 hingga tanggal 27/9. Sebagai penutup pentas seni yang disuguhkan di panggung bergengsi Pendapa Sitinggil Lor Kraton Mataram Surakarta, Rabu malam (27/9) itu, tampil beberapa repertoar tari sajian Sanggar Pelangi Ngesti Budaya dan Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Surakarta.
Disaksikan pengunjung yang kira-kira jumlahnya masih bertahan dari malam-malam sebelumnya, yaitu sekitar 300-an orang, pentas diawali dengan sajian tari “Srimpi Anglir Mendung” persembahan dari Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta. Berikutnya, adalah tari “Golek Campursari”, tari “Pendet”, tari “Topi”, tari “Legong”, tari “Lilin”, tari “Merak” dan tari “Lenggang Nyai” persembahan dari Sanggar Pelangi Ngesti Budaya (Surakarta). Sampai malam terakhir, Gusti Moeng (Pengangeng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat), GKR Ayu Koes Indriyah, KPH Edy Wirabhumi beserta para instruktur Sanggar Pawiyatan Beksa serta para kerabat jajaran “Bebadan Kabinet 2004” tampak selalu hadir menyaksikan.
Melihat sajian demi sajiannya, ketika dicermati secara keseluruhan merupakan paket suguhan yang komplet, bahkan porsinya berlebih yang bisa menambah cakrawala wawasan yang sangat menguntungkan bagi kalangan penontonnya. Paket komplet itu ketika dilihat dari segmen penonton yang mengonsumsinya, karena semua suguhannya bisa disaksikan segala usia, murah karena gratis tak dipungut biaya, segmen pendidikan dan berdasar latarbelakang ekonomi karena bisa menghibur semua lapisan masyarakat dan mudah mengapresiasinya serta paket komplet unsur sajian mulai dari yang benar-benar klasik khas kraton.
Yang klasik khas kraton bahkan masih termasuk kategori “pusaka” di kraton, adalah sajian tari “Srimpi Anglir Mendung”. Karena, jenis repertoar tari ini tidak bisa disajikan di sembarang tempat, dan Pendapa Sitinggil Lor yang dipilih untuk menyajikan tari tersebut, adalah satu di antara panggung kesenian yang bergengsi, mahal, terhormat dan masih tampak megah. Karena, tempat itu menjadi bagian dari kompleks bangunan bersejarah dari kawasan Kraton Mataram Surakarta, yang dulunya merupakan kawasan terbatas karena hanya digunakan untuk upacara dinas resmi “kenegaraan” Mataram Surakarta, dari tahun 1745 hingga 1945.
Tari Srimpi Anglir Mendung yang dipertontonkan di depan publik secara luas dan bebas di kompleks Pendapa Sitinggil Lor, merupakan sebuah kehormatan yang mulai dibuka dan diberikan kraton kepada publik atas inisiasi Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat sekaligus pimpinan Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta itu. Selain repertoar tari “Pusaka” kraton, GKR Wandansari dalam kapasitas beberapa jabatan itu tampak berusaha membawa kraton terbuka terhadap alam kemajuan, modernitas dan zaman digital milenial agar bisa berkomunikasi secara ideal dan bersama-sama memberi manfaat bagi warga peradaban secara luas.
Sedangkan bagi sajian tari berbasis budaya Jawa klasik dengan sentuhan inovasi seperti tari “Srimpi Manggala Retna”, kreasi baru berbasis budaya Jawa macam tari “Golek Campursari”, dan tari kreasi baru dengan meramu unsur-unsur dari etnik lain dan modernitas seperi tari “Topi” dan hadirnya unsur-unsur etnik lain seperti tari “Pendet”, “Legong”, “Lenggang Nyai”, tentu juga merupakan kehormatan bisa disajikan di panggung Pendapa Sitinggil Lor. Publik secara luas tentu bisa mengapresiasi bagaimana sebuah karya tari jenaka konsumsi anak-anak macam tari “Topi”, bisa disuguhkan di Pendapa Sitinggil Lor Kraton Mataram Surakarta.
Memang, melihat kondisi bangunan kompleks Pendapa Sitinggil Lor yang digunakan untuk ajang pentas dan beberapa bangunan pendukungnya di kompleks itu, jelas sekali tampak sudah berusia dan tanda-tanda kerapuhannya juga semakin nammpak, warna cat yang mulai pudar dan kusam tak bisa ditutup-tutupi, itu karena Kraton Mataram Surakarta berada dalam keterbatasan. Kondisi itu bukan semata-mata akibat selama lima tahun “dikacaukan” oleh “insiden mirip operasi militer” April 2017 atau lebih dua tahun “dilindas” pandemi Corona, tetapi sampai 78 tahun usia NKRI, Kraton Mataram Surakarta tak mengalami/merasakan keberuntungan sedikitpun, walau sudah “habis-habisan” menjadi pendukung pertama lahirnya NKRI di tahun 1945.
Maka benar penjelasan KPH Edy Wirabhumi saat diminta menjadi narasumber dalam forum diskusi “Maklumat Sinuhun PB XII”, 1 September 1945, yang digelar Komunitas Societeit Surakarta di Bangsal Smarakata, beberapa waktu lalu. Dia menyatakan, forum-forum diskusi yang sering dilakukan bersama kalangan anggota Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) yang dipimpinnya selaku ketua umum, banyak anggota (raja/sultan/datu/pelingsir adat) menyebut bahwa kraton-kraton sudah menderita selama masa perjuangan sebelum tahun 1945. Tetapi ketika sudah didukung kemerdekaannya sampai zaman milenial ini, justru semakin menderita.
Sajian demi sajian tari yang digelar di Pendapa Sitinggil Lor, hampir tidak ada yang tak memberi manfaat apa-apa sedikitpun. Tetapi sebaliknya, rata-rata sarat “message” dan bisa mentransfer pengetahuan tentang banyak hal yang bermanfaat bagi kehidupan warga peradaban secara luas. Sedikitnya bisa menjadi hiburan gratis yang tetap menjaga estetika dan etika sajian atau memenuhi standar etika publik, misalnya tari “Topi” yang dibawakan secara jenaka oleh anak-anak usai PAUD, TK dan SD. Tetapi, rata-rata banyak sajian tari lainnya, sarat tata-nilai diberikan serta punya latarbelakang pengatahuan yang akan memberi manfaat luar biasa bagi penonton yang mau mengerti dan memahaminya.
Tari “Topi” yang diangkat dari lagu berbahasa Indonesia dengan judul “Topi Saya Bundar”, oleh Sanggar Pelangi Ngesti Budaya diadaptasi dalam gending Jawa tetapi lirik lagu atau “cakepan”nya tetap menggunakan Bahasa Indonesia. Dengan iringan gamelan, lagu itu terkesan ada dalam suasana seni budaya Jawa. Maka, yang membuat lucu dari tarian ini, selain tingkah bocah yang mengibaskan topinya dengan gerak yang kurang beraturan, mendengar lirik lagu diekspresikan dalam gending Jawa, juga terdengar menggelikan. Dan di situlah, antara lain letak hiburannya, yang bisa mencakup segala usia yang menyaksikannya. (Won Poerwono-i1).