Dari “Soft Launch” Ekosistem Digital Sampai Pimpin Prosesi Gunungan Garebeg Mulud
IMNEWS.ID – RABU Legi tanggal 27 September 2023 menjadi hari bersejarah bagi perjalanan Kraton Mataram Surakarta, sebagai penerus kerajaan Mataram yang pernah didirikan Panembahan Senapati (1588-1601), yang kemudian dideklarasikan menjadi Kraton Mataram Islam oleh Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645). Hari bersejarah itu adalah, kali pertama Kraton Mataram Surakarta mendeklarasikan sebagai kerajaan pertama di dunia yang meluncurkan (soft launch-Red) “Ekosistem Digital” untuk semua aset kraton yang diizinkan untuk konsumsi publik dan bisa dijangkau teknologi digital dan dikonsumsi publik secara on-line.
Disaksikan para “sesepuh” dan “pinisepuh” kraton yang berada dalam jajaran “Bebadan Kabinet 2004” dan perwakilan trah darah-dalem Sinuhun Amangkurat Agung (I) hingga Sinuhun PB XIII dan tamu-undangan yang hadir, putra mahkota KGPH Hangabehi tampil menjelaskan. Didampingi GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani dan sang adik, GRAy Devi Lelyana Dewi, dia menyampaikan proses awal karyanya berupa situs Webs “Kraton Mataram Surakarta” dalam sambutan singkat saat berlangsung peresmian yang diikuti “soft launch” Ekosistem Digital tersebut. Sang Bibi dan paman, GKR Wandansari Koes Moertiyah dan KPH Edy Wirabhumi tentu hadir menunggui jalannya upacara di gedhong Sasana Handrawina, siang itu.

Tak hanya duduk menyaksikan saja, tetapi restu Sang Bibi yang akrab disapa Gusti Moeng itu, mendapat bagian memukul gong, tanda peresmian soft launching. Setelah itu, bahkan ikut memberi pengantar yang membeberkan tentang kekayaan Kraton Mataram Surakarta yang harus dirawat dan dilestarikan dengan bijak, yang tetap berpedoman pada tata-nilai paugeran adat. Sementara Sang Paman, KPH Edy Wirabhumi, melayani wawancara dengan para awak media tentang berbagai upaya kraton, mulai dari soal revitalisasi, prinsip dan pedoman pelestarian kraton, kemandirian dan berdikari untuk menghindari ketergantungan dari siapapun, khususnya pemerintah.
Banyak pesan tersirat disampaikan melalui peristiwa soft launch karya “Ekosistem Digital Kraton Mataram Surakarta” dan pernyataan-pernyataan yang muncul dari forum itu. Terlebih, peristiwa itu terjadi sehari menjelang puncak upacara adat hajad-dalem Garebeg Mulud Sekaten 2023 berupa prosesi mengarak Gunungan pada Kamis siang (28/9), juga di tengah suasana yang sudah hangat. Kehangatan yang mulai bikin gerah itu, di satu sisi karena “efek samping” proses “perdamaian” 3 Januari 2023 yang berjalan tidak sesuai harapan hingga kini, dan “kontestasi” menuju puncak suksesi kepemimpinan di Kraton Mataram Surakarta di sisi lain.

Sampai di sini, ada dua inti pesan yang secara tersirat disampaikan yaitu soal kesiapan Kraton Mataram Surakarta menyambut era dunia digitalisasi berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi kraton yang sangat kaya aset seni budayanya, yang bermanfaat untuk kepentingan industri pariwisata, untuk edukasi publik secara luas dan generasi bangsa serta lahirnya aktivitas yang mendatangkan nilai ekonomis sebagai pendukung kemandiran, swadaya dan berdikarinya kraton untuk bisa membiayai segala kebuthannya sendiri. Pesan-pesan dan isyarat ini sangat penting untuk secepatnya diwujudkan, karena menjadi pendukung NKRI selama 78 tahun, kraton justru lebih menderita dibanding saat berada di alam penjajahan sebelum 1945.
Pesan dan isyarat berikutnya, adalah rintisan dan kepeloporan beberapa tokoh muda seperti putra mahkota KGPH Hangabehi, GKR Timoer dan GRAy Devi yang berusaha mengajak dan menggerakkan kalangan generasi muda wayah-dalem Sinuhun PB XII, segara bangkit, melangkah dan berkarya. KRMH Suryo Manikmoyo dan KRMH Cici Suryo Triyono juga mulai nampak dan aktif mengikuti jejak sang kakak, KGPH Hangabehi. Begitu pula KRMH Joyo Adilogo yang selalu tampil menjadi “Manggala” (komandan) pasukan semua Bregada Prajurit kraton, dan KRMH Suryo Kusumo Wibowo di posisinya sebagai koordinator lapangan, juga sudah semakin kompak bersinergi.

Ada saudara kandung KRMH Cici Suryo Triyono yang pasti ditunggu kiprahnya untuk bergabung bersama kebangkitan generasi ketiga dari Sinuhun PB XII, untuk merintis gerakan dan menyatukan langkah menuju puncak untuk menggantikan generasi kepemimpinan yang kini rata-rata sudah menginjak usia 60-an tahun. Karena, seorang wayah-dalem Sinuhun PB XIII yang notabene generasi keempat Sinuhun PB XII yang bernama BRM Yudistira, justru sudah muncul lama dan sangat aktif di berbagai kegiatan dan gerakan penegakan paugeran adat yang lebih lima tahun diperjuangkan Gusti Moeng.
Seorang putri dari KGPH Madu Kusumonagoro yang bernama BRAy Arum, justru sering banyak muncul dan membantu kesibukan dan kerepotan Gusti Moeng dalam menjalankan posisinya sebagai Pengageng Sasana Wilapa yang juga Pangarsa Lembaga Dewan Adat. Karena situasi dan kondisi yang urgen dan mendesak, dua pemuda gagah putra GKR Retno Dumilah (alm) yaitu BRM Suryo Herjuno dan BRM Suryo Harbanu, juga pasti ditunggu kehadirannya untuk memperkuat barisan generasi muda kraton. Selain pertimbangan waktu, situasi dan kondisi, pekerjaan pelestarian budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton, perlu banyak tenaga untuk mengurus dan mengelolanya.

Pekerjaan adat yang menyangkut pelestarian seni budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta dan menjaga kelangsungan kraton dengan mengembalikan kewibawaan, harkat dan martabatnya, sangatlah luas dan memerlukan kehadiran dan tentu uluran tangan langsung dari tokoh-tokoh di garis yang paling berhak untuk semua tugas, kewajiban dan tanggungjawab itu. Sebab, kerja pelestarian dan menjaga kelangsungan, tak bisa dipercayakan sepenuhnya kepada orang luar yang tidak punya hak secara adat. Mengingat, sudah banyak contoh dari tempat lain yang memperlihatkan rusaknya hubungan kekeluargaan, mandegnya kegiatan, vakumnya kegiatan dan matinya kelembagaan internal, ketika diurus oleh orang luar yang tak memiliki hak secara adat.
“Benar. Karena saya mengalami sendiri bagaiman mengelola dan merawat segala kekayaan seni budaya dan adat di kraton. Jadi, perlu ditangani kalangan yang punya hak secara adat, yaitu kalangan putra/putri dan wayah-dalem. Kalau ditangani orang luar, kecil kemungkinannya mau tombok. Mungkin, yang terjadi malah memanfaatkan untuk kepentingan sendiri. Contohnya, nggak usah jauh-jauh di tempat lain, di kraton sendiri ‘kan sudah banyak terjadi. Malah sampai merusak tata-nilai paugeran adat dan memecah-belah persaudaraan,” papar Gusti Moeng dalam suatu percakapan dengan iMNews.id, beberapa waktu lalu. (Won Poerwono-bersambung/i1).