Upacara Adat Garebeg Syawal “Perdamaian” Perdana Sudah Dilewati (seri 3-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 26, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:10 mins read
You are currently viewing Upacara Adat Garebeg Syawal “Perdamaian” Perdana Sudah Dilewati (seri 3-bersambung)
PRAJURIT BERDEDIKASI : Beberapa Bregada Prajurit Kraton Mataram Surakarta yang dipimpin KRMH Joyo Adilogo selaku Manggala kirab yang tampil di Festival Kraton Nusantara, Kota Padang (Sumbar) 2018, adalah para prajurit berdedikasi dan terlatih serta tuluikhlas mengabdi bukan karena uang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Makna Sebuah Pengabdian Terselip di Balik Atraksi Prosesi Kirab

IMNEWS.ID – PROSES meleburnya dua “kesatuan” atau “kekuatan” prajurit dari “dua pihak” sebagai konsekuensi logis dari peristiwa “perdamaian” (iMNews.id, 25/4) sampai pada pelaksanaan upacara besar dan penting ketiga, yaitu hajad-dalem Garebeg Sawal, ternyata ada cerita menarik yang tidak mungkin dilihat publik secara luas. Proses penyatuan atau “peleburan” itu menjadi pekerjaan yang berat, karena menggabungkan antara “kesatuan” prajurit pengikut Gusti Moeng yang rela mengabdi bukan karena “dibayar” atau uang, sementara “kesatuan” prajurit yang satunya karena “dibayar”.

Sekali lagi, pada “kasus” (case-Red) proses penggabungan dua kesatuan prajurit ini, sangat sulit dilihat dari permukaan atau citra visual yang tampak, apalagi oleh publik secara luas di luar kraton. Bagi kalangan internalpun mungkin tidak banyak yang “ngeh” tentang proses yang terjadi. Ada lebih 100-an prajurit yang tampil dengan kostum warna-warni itu, sebenarnya gabungan dari dua “kesatuan” prajurit yang sejak sebelum 2017 tulus ikhlas rela mengabdi walau honornya “sangat kecil”, dengan prajurit yang tidak terlatih tetapi mau datang kalau ada honornya.

PRAJURIT TERLATIH : Selama lebih 5 tahun, semua Bregada Prajurit Kraton Mataram Surakarta yang mengikuti jejak Gusti Moeng dan aktif berdefile dua minggu sekali di depan kraton, merupakan prajurit yang terlatih dan berdedikasi serta bukan karena uang kesetiaan pengabdiannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Menyangkut soal honor, memang menjadi sangat manusiawi kalau ada prajurit yang menuntut imbalan karena mereka merasa sudah bekerja dan merasa harus dihargai keringatnya, apalagi dalam kerangka urusan ketenagakerjaan dunia industri sekarang ini. Sebelum Kraton Mataram Surakarta menyerahkan “kedaulatannya” kepada NKRI, urusan ketenagakerjaan yang dalam hal ini pegawai pemerintah “nagari” Mataram, pasti ada penghargaan/imbalan yang setimpal dengan pekerjaan dan tanggungjawabnya.

Dalam perkembangan geososial, politik, ekonomi dan sebagainya di dunia, memang semakin berbeda antara imbalan yang didapat para pegawai pemerintah “negara monarki” dengan pegawai swasta (perusahaan/dunia insutri), maupun pegawai pemerintah republik/demokrasi atau non-monarki seperti yang terjadi di Amerika (USA) sejak terbentuk di tahun 1779. Ketika “negara monarki” Mataram Surakarta telah berubah menjadi lembaga masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, jelas tidak mungkin menerapkan sistem imbalan/gaji yang setara dengan regulasi yang berlaku dari waktu ke waktu.

PRAJURIT PROFESIONAL : Semua Bregada Prajurit Kraton Mataram Surakarta yang mengikuti jejak Gusti Moeng, tetap bisa tampil profesional dan setia pada pengabdiannya, walau selama 5 tahun lebih di luar kraton dan tak ada uang yang layak untuk jerih-payah dan kesetiaannya itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Berkaca dari realitas itu semua, maka sangat masuk akal apabila upaya menjaga kelangsungan lembaga masyarakat Kraton Mataram Surakarta sejak titik awal 17 Agustus 1945 hingga kini dan di masa depan sampai zaman berakhir, landasan idealnya adalah sikap mengabdi tanpa pamrih, tulus-ikhlas, rela berkorban. Perubahan sikap itu menjadi paradigma baru bagi masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, dan bagi siapa saja yang merasa punya tugas dan tanggungjawab menjaga melestarikan seni budaya Jawa yang bersumber dari kraton, termasuk menjadi bagian dari prajurit kraton.

Dengan memahami paradigma baru itu, maka ketika mendengar ada penggabungan dua kesatuan prajurit sebagai konsekuensi logis dari proses “perdamaian”, tentu akan ada pertanyaan bagaimana proses penyesuaian itu terjadi dan hasilnya bisa dilihat pada akhir proses, cepat atau lambat. Di satu sisi, kesatuan prajurit pengikut Gusti Moeng yang sudah teruji mengalami pahit-getir perjuangan dan sudah tertanam jiwa pengabdian yang sangat loyal, tulus-ikhlas, tahan banting, punya punya etos kerja tinggi dan punya militansi yang tinggi, itu sudah terbukti hingga sekarang.

TENGAH MALAM : Mengikuti kirab event Grebeg Suro yang digelar Pemkab Ponorogo di waktu tengah malam dan berjalan kaki belasan KM hingga tahun 2022 lalu, tentu juga bukan karena uang. Tetapi karena profesional, dedikasi dan kesetiaan pada pengabdiannya di Kraton Mataram Surakarta yang menjadi ciri kepribadian mereka. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sementara, kesatuan prajurit yang bermodalkan beberapa gelintir prajurit lama yang “sudah tidak tahan” berjuang, lalu dikembangkan menjadi kesatuan prajurit dan “digembleng jiwa etungan honornya”, dan dalam 5 tahun (2017-2022)  menghasilkan kesatuan prajurit yang sangat tergantung pada ketersediaan imbalan. Seragam atau kostum memang menjadi cirikhas yang tampak mengesankan, tetapi pengetahuan keprajuritan boleh dikatakan sangat minim, karena rata-rata direkrut tanpa ada proses pendidikan dan pelatihan yang sistematis dan terukur.

“Saya tadinya hanya dengar-dengar saja. Setelah benar-benar digabung pada kirab Garebeg Sawal kemarin itu (iMNews.id, 23/4), saya baru tahu betul. La wong prajurit kraton kok tidak tahu aba-aba ‘walik mangiring’, itu ‘kan sangat parah ta? Tapi ya maklum. La wong direkrut tanpa dilatih dan dididik. Asal dibungkus seragam (kostum), lalu disuruh baris. Prajurit Panyutra kok ‘lembehan’ sing siji ngiwa, ning sijine nengen. Pakai gendhewa (busur), yang satu di kanan, sebelahnya di kiri,” jelas KRAT Alex Pradnjono Reksoyudo, yang dihubungi iMNews.id, kemarin.

MENDAPAT “BALASAN” : Kesetiaan para abdidalem prajurit Kraton Mataram Surakarta, banyak memetik kebaikan, seperti “balasan” KRAT Sunarso Suro Agul-agul (Ketua II Pakasa Cabang Ponorogo) yang rela menjadi “anak-buah” KRAT Alex Pradnjono Reksoyudo yang memimpin pasukan saat ritual tingalan jumenengan dan Malem Selikuran, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Manggala kesatuan prajurit “gabungan” dan Manggala kirab yang tinggal di Kelurahan Jayatakan, Kecamatan Serengan (Surakarta) itu, banyak mengisahkan selama pengabdiannya menjadi prajurit, sejak jauh sebelum 2017 hingga selama lima tahun berjuang mengikuti Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat di luar kraton. Dia menyatakan siap menerima “penggabungan” dua kesatuan prajurit dan melatihnya, tetapi tidak yakin semua prajurit kesatuan yang terbentuk antara tahun 2017-2022 itu, rela berjuang dan nyaris tanpa imbalan/gaji/honor.

“Betul mas. Itu bukan prajurit Panyutra yang pernah saya bawa (selama 5 tahun di luar kraton-Red). Itu prajurit (Panyutra-Red) baru. Ya memang kelihatan sekali dari gerakannya. Tapi ‘kan banyak yang tidak tahu itu. Apalagi masyarakat di luar kraton, saya yakin tidak paham. Yang saya ketahui, sejak dulu prajurit Panyutra selalu dibentuk dari para penari Wireng. Agar dapat dua-duanya, gerak tari dan pengetahuan keprajuritannya,” jelas Gusti Moeng.

BIMBINGAN GUSTI MOENG : Profil abdidalem prajurit Kraton Mataram Surakarta di semua bregada, punya ciri profesional, terlatih dan berdedikasi selain rasa tulus-ikhlas berkorban/mengabdi. Itu semua adalah hasil bimbingan Pengageng Sasana Wilapa/Ketua LDA dan sejumlah tokoh yang selama ini sangat pro-penegakan paugeran adat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pengageng sasana Wilapa yang juga Ketua LDA yang dihubungi iMNews.id, siang tadi menyebut, kini sedang mempersiapkan untuk mengaktifkan sepenuhnya Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta. Di situ, ada kelompok penari lelaki yang masih aktif dan memiliki kemampuan dan penguasaan beberapa repertoar tari pria, di antaranya tari “Wireng”. Dari para penari Wireng ini, akan dilatih dan dibekali pengetahuan keprajuritan, termasuk baris-berbaris versi prajurit kraton, untuk membentuk Bregada Prajurit Panyutra.

Ketika mencermati satu hal di balik peristiwa ritual hajad-dalem Garebeg Sawal itu saja, sudah tampak perbedaan yang mencolok tentang sikap, daya juang dan berbagai hal yang menjadi ciri paradigma baru perjalanan Kraton Mataram Surakarta setelah 1945. Kata kunci paradigma baru itu adalah setia, tulus dan ikhlas berkorban tetapi tetap “profesional” di bidangnya dan ditambah dengan sikap konsisten menjaga tegaknya paugeran adat, adalah modal utama untuk menjaga kelangsungan kraton, serta modal pelestarian seni budaya Jawa yang bersumber dari kraton.

ASAS KEPANTASAN : Para prajurit Panyutra yang disuguhkan Gusti Moeng selaku Sekjen FKIKN pada event FKN ke-12 di Padang (Sumbar) tahun 2018, tentu saja dilandasi asas kepantasan. Karena, prajurit jenis itu sangat dipahami benar harus punya basis tari Wireng serta terlatih betul kebutuhan pengetahuan keprajuritannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Soal prajurit “gabungan” sebagai bagian dari proses “perdamaian”, sekarang sudah mulai tampak ke permukaan profilnya. Saat tingalan jumenengan memang belum tampak, karena peran prajurit berupa apel pengormatan yang bisa dilakukan kesatuan prajurit pengikut Gusti Moeng, dan acara “mendadak ada kirab” bisa dilakukan kesatuan prajurit “upahan”. Meski soal upah bisa dikesampingkan, tetapi proses penyelesaian “pentas gabungan” tari Bedaya Ketawang lebih mudah diatasi, karena ukurannya bukan hanya pengabdian, melainkan kepatuhan terhadap regulasi paugeran adat.

Di upacara adat Malem Selikuran, tidak bisa diketahui kelebihan dan kekurangannya, karena kedua kesatuan tidak disandingkan alias tidak ada “kirab gabungan”. Dan satu hal lagi yang tak bisa dilihat publik, adalah kesetiaan para pengurus dan warga Pakasa cabang dari beberapa daerah yang mengikuti pisowanan hajad-dalem Garebeg Sawal itu. Mereka datang jauh-jauh dari Kabupaten Pati, Jepara, Trenggalek (Jatim) dan beberapa cabang lagi, dengan biaya sendiri berusaha memenuhi “gawa-gawene” dan “labuh-labete” kepada kraton, demi lestarinya budaya Jawa dan sebagainya. (Won Poerwono-bersambung/i1)