Karena Sudah Membawa Nama Kraton, Punya Kewajiban Menjalankan Tugas Pengabdian

  • Post author:
  • Post published:September 6, 2023
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Karena Sudah Membawa Nama Kraton, Punya Kewajiban Menjalankan Tugas Pengabdian
TUGAS "PEGAWAI" : Para abdi-dalem prajurit Kraton Mataram Surakarta, selain sebagai "pegawai" yang punya tugas utama sesuai tupoksinya di bidang keamanan dan penjagaan seperti saat mendampingi putra mahkota KGPH Hangabehi ini, juga punya tugas "tugur" bergilir tiap malam, tiap kelompok 2-5 orang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Salah Satunya Tugas “Tugur”, Berjaga Selama 8 Jam di Kraton

SURAKARTA, iMNews.id – Karena organisasi Pakasa sudah menjadi organisasi kemasyarakatan yang khusus bergerak di bidang pelestarian budaya Jawa demi kelangsungan Kraton Mataram Surakarta, sejak “Bebadan Kabinet 2004” terbentuk dan dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah memberikan ruang pengabdian kepada seluruh warga Pakasa cabang sesuai tugas dan kewajiban di bidang pelestarian. Di antara tugas itu, adalah berjaga atau “tugur” yang durasi waktunya sekitar 8 jam, dari 3 “shift” dalam 24 jam, tetapi rata-rata hanya “shift” malam mulai pukul 16.00 WIB hingga pukul 00.00 WIB yang diperuntukkan Pakasa cabang.

“Waktu jaga untuk warga Pakasa cabang, kebanyakan diberikan shift sore-malam, terutama yang dari luar kota dan jauh. Karena, setelah pukul 00.00 WIB, bisa tetap berjaga atau tidur di situ menunggu saat tepat untuk kembali ke daerah masing-masing. Di luar shift itu, sudah ada yang bertugas rutin dan tetap, baik prajurit maupun petugas jaga lain. Para abdi-dalem lain, sentana dan elemen lain di luar Pakasa, juga bisa bergabung, mendaftar dan memilih shiftnya. Kurang-lebih yang saya ketahui seperti itu. Yang jelas, itu kewajiban dilakukan sesuai ‘gawa-gawene’ sebagai abdi-dalem,” tandas KP Budayaningrat.

TUGAS “TUGUR” ” Salah seorang anggota abdi-dalem prajurit Kraton Mataram Surakarta yang bernama Prihadi, selain menjalankan tugas utamanya di bidang keamanan dan penjagaan, juga menjalankan tugas “tugur” di teras Nguntarasana di malam hari, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/dok)

Ditemui iMNews.id saat mengikuti upacara adat khol ke-390 tahun (Jawa) wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, beberapa waktu lalu, dwija (guru) Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta itu selanjutnya menjelaskan, semua warga masyarakat ada di Kraton Mataram Surakarta ini secara prinsip punya hak dan kewajiban. Yang masuk kategori sentana dan abdi-dalem garap, mendapat haknya penghargaan (honor) dan gelar kekerabatannya, sekaligus mendapat tugas/kewajiban untuk mencurahkan dharma-bhaktinya untuk suwita di kraton, termasuk tugas “tugur”.

Hal serupa juga dimiliki warga dari elemen lain dari Lembaga Dewan Adat Kraton Mataram Surakarta, termasuk Putri Narpa Wandawa, Sanggar Pasinaon Pambiwara dan sanggar-sanggar lain, para lulusan sanggar pambiwara yang tergabung dalam Pasipamarta serta Pakasa cabang yang warganya sangat banyak dan tersebar di berbagai daerah di Jateng, DIY dan Jatim itu. Semua sudah mendapat atau membawa atau “gawa” nama kraton yang terletak pada “asma sesebutan” dan gelar kekerabatan yang dimiliki, tetapi sekaligus mendapat tugas/kewajiban atau “gawe” yang antara lain tugas “tugur” yang belum tentu sekali dalam sebulan.

MERASAKAN SENSASI : Sejumlah abdi-dalem utusan Pakasa Cabang Jepara ini, sampai Selasa malam (5/9) sudah dua kali merasakan sensasi bertugas “tugur” di malam hari di teras Nguntarasana, yang berada di samping kanan Pendapa Sasana Sewaka. (foto : iMNews.id/dok)

“Di situlah letak kewajiban melekat yang disebut ‘gawa-gawene’ itu. Bahkan, secara lengkap juga ada elemen ‘labuh-labet’ atau jasa dan pengorbanan, yang sebenarnya menyertai setiap orang yang suwita di kraton. Intinya, ‘kan kesadaran setiap warga masyarakat adat, baik yang berada dalam organisasi elemen maupun di luar itu untuk menjalankan tugas dan kewajiban pengabdiannya. Lahir dari kesadaran bahwa budaya Jawa yang bersumber dari kraton punya manfaat bagi kehidupan diri dan keluarganya, lalu sadar punya kewajiban untuk melestarikan budaya yang telah memberi pedoman dalam kehidupannya,” jelas KP Budayaningrat.

Pemahaman atas penjelasan seperti yang diungkap KP Budayaningrat itu, sudah berjalan baik dan terus menunjukkan perkembangan positif sejak “Bebadan Kabinet 2004” terbentuk saat mendukung KGPH Hangabehi menjadi Sinuhun PB XIII. Namun, sejak 2017 justru ada peristiwa yang menyedihkan dan memalukan, karena ada tindakan “pengusiran” terhadap semua “Bebadan Kabinet 2004” yang datang dari pihak Sinuhun PB XIII berkolaborasi dengan 2.400 personel polisi dan TNI. Pengusiran itu membuat Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilpa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat) keluar dari kraton dan tugas “tugur” berhenti total sampai Desember 2022.

GENERASI MUDA : Rombongan petugas “tugur” yang dikirim pengurus beberapa Pakasa cabang, rata-rata masih berusia muda dan punya energi serta semangat luar biasa. Seperti utusan Pakasa Cabang Ponorogo (Jatim) yang merasakan sensasi berjaga malam di teras Nguntarasna, belum lama ini. (foto : iMNews.id/dok)

Catatan iMNews.id selama mengikuti perjalanan peristiwa dan perkembangannya sejak 2004 menyebutkan, tanggal 17 Desember 2022 muncul peristiwa “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” yang diikuti secara berangsur-angsur dengan kembalinya berbagai kegiatan adat seperti yang sudah berjalan sejak 2004 hingga 2017. Salah satu kegiatan itu adalah tugas “tugur” bagi semua elemen yang mengirim kelompok perwakilan sesuai jadwal yang sudah diterbitkan kantor Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat, yang harus dilakukan secara bergilir tetapi tetap mempertimbangkan faktor jarak daerah asal Pakasa cabang.

Pakasa cabang yang berkembang pesat sebagai hasil pendekatan “Bebadan Kabinet 2004” bersama semua elemen selama lima tahun berada di luar kraton itu, telah mengundang kesadaran warga Pakasa cabang dan semua elemen untuk mewujudkan “gawa-gawe” bersamaan dengan antusias “eforia” warga Pakasa untuk merasakan sensasi menikmati suasana di dalam kraton. Antusias sekaligus “eforia” itu sudah ditunjukkan Pakasa Cabang Jepara, Magelang, Klaten, Ponorogo, Trenggalek dan cabang Nganjuk termasuk Dr Purwadi yang mewakili Pakasa Cabang Jogja yang sering bergabung dalam tugas “tugur”.

BATAS KRATON : Pakasa Cabang Klaten masih sempat membangun taman batas kraton di Desa Burikan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten yang dilakukan kerjabhakti warga Pakasa dari dua kecamatan dari luar Kecamatan Cawas, Minggu (3/9). (foto : iMNews.id/dok)

Pakasa Cabang Jepara, sudah dua kali “sowan” ke kraton untuk menjalankan tugas “tugur”, termasuk yang dilakukan enam orang utusan yang berjaga Selasa malam (5/9). Selain tugas “tugur”, Pakasa Jepara di bawan pimpinan KRA Bambang S Adiningrat (Ketua), nyaris tak pernah melewatkan sejumlah upacara adat besar di kraton untuk hadir mengikuti “pisowanan”. Hal serupa juga dilakukan Pakasa Cabang Trenggalek yang dipimpin KRAT Seviola (Ketua), yang selalu hadir dengan beberapa motor berboncengan dengan rombongannya, menempuh jarak ratusan kilometer, melintasi rute ekstrem di lereng Gunung Lawu.

Upaya untuk mewujudkan “gawa-gawe” dalam tugas “tugur”, juga dilakukan utusan pengurus Pakasa cabang Ponorogo, rombongan Pakasa Cabang Magelang yang dipimpin KRT Bagiyono Rumeksanagoro (Ketua) dan rombongan beranggota 8 orang Pakasa Cabang Nganjuk yang siang tadi masih dalam perjalan menuju kraton. Rombongan yang dipimpin KRAT Sukoco selaku Ketua Pakasa Nganjuk itu, saat dihubungi iMNews.id membenarkan bahwa mereka mendapat tugas “tugur” Rabu malam (6/9/203) ini. Pakasa Cabang Klaten yang rajin “tugur”, masih sempat membangun taman batas kraton di Desa Burikan, Kecamatan Cawas, Klaten, Minggu (3/9). (won-i1).