Surakarta Dijadikan Pedoman, Karena Membawa Kalender Jawa Karya Sultan Agung
SURAKARTA, iMNews.id – GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat sudah tidak bisa diam saja dan membiarkan kesalahan terus terjadi yang dilakukan orang-orang di sekitar Sinuhun PB XIII, khususnya tim kreatif yang memproduksi baliho publikasi agenda kegiatan adat di Kraton Mataram Surakarta. Karena sudah definitif kembali menduduki otoritas jabatan selaku pimpinan “Bebadan Kabinet 2004” dan mulai efektif bekerja kembali sejak 17 Desember 2022, pihaknya terpaksa mengoreksi publikasi yang selama lima tahun selalu salah, seperti isi baliho yang terpasang diberbagai lokasi sejak beberapa hari ini.
Baliho berisi publikasi tentang agenda upacara adat hajad-dalem Garebeg Mulud atau Sekaten 2023 bertuliskan kata dengan huruf besar “Mangayubagya” yang disebut Pengageng Sasana Wilapa sudah salah persepsi dan gagal paham, masih ditambah kesalahan fatal menuliskan tanggal dalam kalender Jawa. Menjawab pertanyaan iMNews.id saat dia “berkantor” di teras Nguntarasana, siang tadi ditegaskan, Sinuhun PB XIII atau atas nama Kraton Mataram Surakarta adalah pemilik/penyelenggara upacara adat itu yang seharusnya menerima ucapan “mangayubagya” dari pihak lain atau pihak di luar kraton yang menyambut atau memeriahkan.
“Kalau sebelum saya masuk (kembali bekerja-Red) di kraton, saya biarkan saja kesalahan-kesalan itu. Jadi, biar masyarakat luas tahu sebenarnya siapa yang tidak mudeng. Selama 5 tahun saya di luar, baliho publikasi ukuran besar besar kegiatan kraton dipasang di mana-mana. Jadi, ya selama 5 tahun saya di luar itu kesalahan fatal telah terjadi. Kami diam saja, tetapi masyarakat di luar tentu banyak yang tahu, dan pasti menertawakan. Sekarang, saya sudah berada di dalam, kesalahan yang diulang seperti itu tidak bisa saya biarkan,” tandas GKR Wandansari Koes Moertiyah yang akrab disapa Gusti Moeng,
Kesalahan fatal yang bisa mengundang penilaian negatif masyarakat luas, menurutnya terletak pada kata “Mangayubagya” dan penulisan tanggal dimulainya upacara adat hajad-dalem Sekaten sampai puncaknya pada peristiwa prosesi hajad-dalem gunungan Garebeg Mulud. Karena, pada bulan Mulud tahun Jimawal 1957 ini, tanggal kelahiran Nabi Muhammad yang diperingati dengan ritual tradisi Jawa itu jatuh pada tanggal 12 Maulud/Mulud tahun Jimawal 1957 yang tepat pada Kamis, 28 September, sedangkan dalam semua baliho itu tertulis Rabu, 27 September.
“La wong lahirnya jelas tanggal 12 Mulud, kok dimajukan tanggal 11 Mulud. Apa tumon…? Tadi sudah saya peringatkan untuk mengganti penulisan yang salah itu. Ngisin-isine wae. Ternyata, mereka tidak sadar dan tidak mudeng kalau yang ditulis itu salah. Kebangeten tenan, berarti selama ini mereka memang tidak ada yang mudeng. Makanya salah terus. Padahal, lembaga Kraton Mataram Surakarta, yang selalu dijadikan pedoman (kraton) Jogja dan yang lain. Karena mereka yakin, Kraton Surakarta yang membawa/meneruskan perhitungan yang benar kalender Jawa Sultan Agung,” jelas Gusti Moeng lagi.
Saat Gusti Moeng berbicara dengan iMNews.id dan seorang awak media lain, kebetulan KRMH Suryo Kusumo Wibowo (Wakil Pengageng Sasana Prabu) juga baru saja dan langsung ditanya soal revisi hal penting dan esensial dalam media publikasi itu. Kepada Pengageng Sasana Wilapa, KRMH Suryo yang banyak ditugasi sebagai koordinator lapangan (korlap) setiap upacara adat di kraton yang menggunakan prosesi kirab itu langsung melaporkan, bahwa baliho publikasi dimaksud akan dilepas dan diganti baru yang sudah sesuai bahasa publikasi dan pedoman penaggalannya secara tepat dan benar.
Sementara itu, selesai membahas soal baliho, Gusti Moeng langsung bergegas menuju gedhong Sasana Handrawina, karena Kamis siang tadi merupakan agenda kegiatan ritual “ngisis ringgit” atau mengangin-anginkan wayang yang tersimpan dalam kotak melalui sebuah upacara adat. Karena sesaji dan uba-rampe datang agak terlambat, maka seisi kotak wayang Dupara yang sebagian berasal dari kotak wayang Kiai Banjed Nem (PB VII) itu, agak terlambat hingga menjelang saat Dhuhur. Tetapi karena jumlah isi kotak hanya sedikit, begitu adzan Dhuhur terdengar, ritual “ngisis” segera diakhiri.
“Kotak ke-18 yang berisi wayang Para (Dupara-Red) ini, adalah kotak terakhir yang mendapat giliran dikeluarkan untuk ‘diisis’ dalam upacara adat ini. Isinya sebenarnya wayang Gedhog. Tetapi ternyata bercampur dengan wayang Purwa dan Madya. Ini mungkin karena saat ada yang direparasi, tetapi langsung dimasukkan kotak sekenanya saja, bukan kotak asalnya. Jadi, satu kotak wayang Para, bercampur dengan wayang dari kotak lain. Ini ada yang asalnya dari kotak Kiai Banjed. Nanti akan kami pilahkan, untuk dikembalikan ke kotak asalnya,” jelas Ki RT Suluh Juniarsah Adi Carito, menjawab pertanyaan iMNews.id, siang tadi.
Sementara itu, jalannya prosesi upacara adat “ngisis ringgit” atau “ngisis wayang” siang tadi termasuk sangat singkat, karena jumlah anak wayang kurang dari 200 buah, sementara kotak-kotak wayang lainnya memiliki isi sedikitnya 300 buah. Karena jumlahnya sedikit, untuk “ngisis” tak perlu dibentangkan tali yang diikat di empat saka-guru “gedhong” Sasana Handrawina, melainkan cukup dikuas di atas dua meja dan disimping di dua gawang berukuran kecil. Beruntung jumlahnya sedikit, karena durasi “ngisis” sangat pendek, akibat sesaji dan uba-rampe terlambat datang, kunci kotakpun sempat “ketelisut”.
Selain Gusti Moeng, Wakil Pengageng Mandra Budaya KPP Wijoyo Adiningrat dan Sekretaris Pengageng KP Taruwinoto menunggui sejumlah abdi-dalem yang bertugas dengan “tindhih” Ki RT Suluh Juniarsah Adi Carito. Aktivitas lain di kraton pada hari-hari ini, mulai dihiasi dengan persiapan pemasangan segala peralatan dan prasarana kegiatan Pasar Malam pemeriah Sekaten 2023 atau “Maleman Sekaten”, baik di Alun-alun Lor maupun Alun-alun Kidul. Tetapi, aktivitas lain seperti “tugur”, juga terus berjalan, seperti yang dilakukan rombongan dari Pakasa Cabang Nganjuk yang dipimpin KRAT Sukoco dan bertugas, Rabu malam (6/9). (won-i1)