Sultan Agung adalah Raja yang Memiliki Kapasitas Lengkap, Berada di Jalan Allah

  • Post author:
  • Post published:August 20, 2023
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Sultan Agung adalah Raja yang Memiliki Kapasitas Lengkap, Berada di Jalan Allah
BANGSAL MARCUKUNDA : Barisan para abdi-dalem ulama yang terdiri dari "Kanca Kaji", "Kethib dan juru suranata menjadi bagian dari prosesi yang mengarak uba-rampe ritual khol ke-390 wafat Sultan Agung, ketika melewati halaman depan bangsal marcukunda, pagi tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Islam Masuk ke Jawa di Saat Peradaban Jawa Sudah Sangat Tinggi

SURAKARTA, iMNews.id – Kyai Ahmad Muwafiq menjadi tokoh intelektual Islam, sejarawan sekaligus budayawan Jawa yang peduli terhadap keberadaan kraton Mataram dan tokoh-tokoh penting pemimpin kerajaan, serta dengan jujur mengungkapkan pengakuannya terhadap kebesaran dan jasa-jasa para tokoh bersama kelembagaan Mataram. Dalam tausyiah yang diberikan di acara ritual khol ke 390 tahun (kalender Jawa) wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma yang digelar Kraton Mataram Surakarta, Minggu (20/8/2023) siang tadi, Gus Muwafiq asal Sleman, DIY itu  asal Sleman, DIY itu bahkan menguraikan peran kraton, Jawa dan Islam yang sudah membangun peradaban di Nusantara ini, jauh sebelum ada NKRI.

“Peradaban Jawa saat Islam mulai masuk, sudah sangat tinggi. Sementara, peradaban Islam juga sangat tinggi. Lalu, bagaimana dua peradaban yang sudah sama-sama tinggi ini bisa ketemu?. Caranya, ya seperti yang dilakukan para Wali Sanga itu. Jadi, penyebaran Islam di tanah Jawa, ya para Wali itu. Bukan para saudagar, karena kasta mereka Sudra. Yang punya kemampuan memahami agama dan menyebarkan secara baik, ya kalangan (kasta) Brahmana itu. Maka yang menyebarkan agama di Jawa, ya para Wali itu. Sedangkan tokoh yang bisa mempertemukan Islam dan Jawa dalam kapasitasnya secara lengkap, ya Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma itu,” tandas Gus Muwafiq yang disebut-sebut KP Siswanto Adiningrat punya keunikan karena berambut “gondrong”.

PIAGAM PENGHARGAAN : Gusti Moeng menyerahkan piagam penghargaan kepada Gus Muwafiq yang telah memberi pencerahan dalam tausyiyahnya di sela-sela ritual khol ke-390 wafat Sultan Agung yang digelar di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, Minggu (20/8) siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Penjelasan Gus Muwafiq seakan menjadi pencerahan bagi publik secara luas, khususnya yang hadir dalam ritual yang digelar di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa itu. Ada seribuan warga keluarga besar masyarakat adat Mataram Surakarta dari berbagai elemen yang hadir dalam ritual yang diinisiasi Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat, siang tadi. Acara spiritual religi memperingati 390 tahun wafat Sultan Agung itu, dikemas dengan prosesi kirab membawa uba-rampe yang akan didoakan, dengan simbol perwakilan trah darah-dalem mulai dari Sinuhun Amangkurat hingga Sinuhun PB XIII.

Dalam kesempatan memberi tausyiyah itu, Gust Muwafiq juga menunjukkan salah satu ciri peradaban Jawa yang sudah sangat tinggi ketika Islam masuk, yaitu adanya karya kriya gamelan yang bahan utamanya adalah logam. Menurutnya, karya seni yang menggunakan bahan baku logam pada masa Islam masuk ke tanah Jawa, jelas membuktikan adanya teknologi pengolahan logam yang sudah dikenal masyarakat Jawa. Sementara, peradaban China dan di kawasan Arab, waktu itu justru masih mengenal batu. Intinya, peradaban Jawa waktu itu sudah lengkap secara budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.

ATUR PAMBAGYAHARJA : Putra mahkota KGPH Hangabehi menyampaikan “atur pambgyaharja” atau ucapan selamat datang kepada semua yang hadir dalam ritual khol ke-390 wafat Sultan Agung yang digelar di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, Minggu (20/8) siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kata Agung di belakang nama Sultan, Raja Mataram ke-3 itu, bukan sembarangan. Beliau pantas menyandang nama itu, karena benar-benar Agung ketokohan dan kekaryaannya. Bahkan, beliau punya kelengkapkan nama Khalifatullah, Ngabdurrahman, Sayiddin Panetep, Panatagama. Itu karena beliau memang pemimpin yang benar-benar lengkap kapasitasnya. Cerdas dan berani menghadapi saudagar Eropa yang masuk lewat pelabuhan Sunda Kelapa. Keberanian ini yang menginspirasi perlawan-perlawanan terhadap penjajah di wilayah lain di Nusantara. Tetapi hebatnya, beliau tetap di jalan Allh SWT. Itu yang tak dimiliki para pemimpin lain,” tunjuk Gus Muwafiq.

Secara umum, yang disebutkan Gus Muwafiq banyak kesamaan dengan hasil penelitian sejarah dan kajian yang dilakukan Dr Purwadi, Ketua Lokantara Pusat (Jogja) tentang tokoh Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma dan tokoh-tokoh penerusnya, berikut terhadap kelembagaan “nagari” Mataram, sejak dari Kutha Gedhe, Plered hingga Surakarta. Meski begitu, ada sebuah analisis yang dilakukan Gus Muwafiq yang bisa menjernihkan keraguan publik terhadap banyak faktor permasalahan antara Kraton Pajang (1550-1587) dengan Mataram (Panembahan Senapati), yang bisa diselesaikan dengan cerdas oleh Sultan Agung.

NGESTI SWARA JATISOBO : Grup seni Santiswaran “Ngesti Swara” dari Desa Jatisobo, Polokarto, Pakasa Sukoharjo tampak sedang keluar dari Kori Kamandungan, karena menjadi bagian prosesi kirab uba-rampe ritual khol ke-390 wafat Sultan Agung yang digelar di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, Minggu (20/8) siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Saya sempat merasa tidak percaya dan tidak habis pikir. Katanya, ada persoalan serius yang sudah sulit diselessikan. Karena, wong Jawa kalau sudah benci sampai titik kritis, yang diucapkan ‘dadiya godhong ora bakal nyuwek. dadiya banyu ora bakal nyawuk’. Sampai segitunya kebencian itu. Tetapi, mengapa terjadi sebuah perkawinan yang dilakukan Sultan Agung, dan semua permasalahan itu selesai begitu saja. Oleh sebab itu saya berkeyakinan, kalau ada perselisihan di kalangan kerabat, sebaiknya diselesaikan dengan cara itu. Sebuah resolusi yang cerdas,” seloroh Gus Muwafiq menggoda.

Sayang, pencerahan yang diberikan dalam format tausyiyah itu tidak berubah menjadi forum tanya-jawab yang bisa memahamkan seribu-an orang yang hadir siang tadi. Selain waktunya terbatas, warga masyarakat adat yang hadir sudah merasa terlalu lama mengikuti ritual sejak pukul 09.00 WIB, mengingat tausyiyah itu baru diberikan mundur sekitar sejam, karena kedatangan Gus Muwafiq terlambat, dari yang dijawalkan tiba pukul 11.00 WIB, baru datang pukul 12.00 WIB. Pencerahan dari tokoh yang punya kapasitas selengkap Gus Muwafiq sangat langka didapat di masa kini, padahal kelengkapan informasi dan kebenaran sejarah yang meyakinkan macam itu sangat dibutuhkan masyarakat adat Mataram Surakarta.

SUASANA RITUAL : Suasana ritual khol ke-390 wafat Sultan Agung yang digelar di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, Minggu (20/8) siang tadi. Separo pendapa hampir dipenuhi warga masyarakat adat yang datang dari berbagai cabang Pakasa, meski jumlahnya sudah mencapai seribuan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Waktu sejam untuk menunggu hadirnya Gus Muwafiq, bukan waktu yang pendek, walau grup seni Santiswaran dari Pakasa Cabang Klaten dan Santiswaran Ngesti Swara dari Pakasa Jatisobo Cabang Sukoharjo bergantian menghibur dengan gending-gending penuh edukasi nilai-nilai ketuhanan dan bernafaskan Islam. Tetapi, secara keseluruhan jalannya acara sangat banyak memberi makna dan edukasi tentang banyak hal kepada semua yang hadir, terutama makna kepahlawanan dan makna berterima kasih serta mendoakan kepada siapa saja yang berjasa terhadap keberadaan peradaban ini, bukan hanya dari peristiwa 17 Agustus 1945 saja.

Tampilnya putra mahkota KGPH Hangabehi diapit dua saudaranya segenerasi untuk menyampaikan “atur pambagyaharja” terhadap semua yang “rawuh” (hadir), jadi perhatian publik. Terlebih, keterlibatan beberapa Ketua Pakasa cabang juga menarik, misalnya pembawa uba-rampe (Ketua Pakasa Jepara), abdi-dalem ulama (Ketua Pakasa Pati) dan dukungan Ketua Pakasa Ponorogo, Ketua Pakasa Nganjuk dan sebagainya. Di akhir acara, Gusti Moeng menyampaikan piagam penghargaan kepada Gus Muwafiq yang dilanjutkan dengan foto bersama berganti-ganti oleh sebagian yang hadir. (won-i1)