“Dua Pihak yang Berbeda Haluan”, Realitas yang Harus Dilalui Dalam “Perdamaian” (seri 3 – habis)

  • Post author:
  • Post published:February 2, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
Khataman Alqur'an yang diinisiasi Gusti Moeng
"MENGEMBALIKAN NYAWA" : Khataman Alqur'an yang diinisiasi Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa di Bangsal Smarakata tiap Rabu malam, ibarat "mengembalikan nyawa" bagi Kraton Mataram Surakarta. Terlebih, kegiatan spiritual religi itu juga dilakukan bersama putra mahkota tertua KGPH Hangabehi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dua “Faksi” Lahir di Tahun 2004, Tambah Satu Lagi Setelah Tahun 2017

IMNEWS.ID – “Soul” dan spirit yang pelan-pelan mulai kembali ke Kraton Mataram Surakarta, sedikit demi sedikit mulai menampakkan cahaya, sehingga membuat tidak “pucat” seperti yang tampak selama lima tahun sebelumnya, pelan-pelan pula mulai mengembalikan kewibawaan kraton. Apa yang dilakukan Gusti Moeng dengan segenap elemennya mulai 17 Desember 2022 hingga melangkah ke tahap “perdamaian”, sebagai bagian yang sangat penting dan menentukan proses perjalanan selanjutnya dari “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton”, yang bisa disebut sebagai langkah awal mulai kembalinya harkat dan martabat kraton.

Berbagai aktivitas seni, adat, tradisi dan budaya sudah kembali menggelinding, ibarat lampu yang energinya berasal dari sebuah kumparan dinamo yang digerakkan berputar oleh berbagai aktivitas itu, kembali bersinar memancarkan cahaya ke berbagai arah. Aktivitas Khataman Alqur’an disertai shalat berjamaah di topengan Maligi, jelas memberi power cahaya kraton secara spiritual religi, terlebih ditambah aktivitas “tugur” atau “wungon” tiap malam yang semuanya didukung penuh Pakasa cabang berbagai daerah secara bergiliran, tentu akan memberi power lengkap yang dibutuhkan kraton untuk kembali “bercahaya”.

TIAP SELASA KLIWON : Ritual yang digelar tiap datang Selasa Kliwon atau Anggara Kasih, bahkan dilakukan sendiri oleh Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa saat “ngesis wayang” di gedhong Sasana Handrawina, menjadi bagian dari simbol-simbol kehidupan kraton hadir kembali. (foto : iMNews.id/dok)

Kembali menggelindingnya berbagai aktivitas adat yang menjadi simbol bahwa kraton masih yang “hidup” dan memberi manfaat banyak bagi masyarakat peradaban secara luas, juga sudah mulai ditunjukkan. Upacara adat tingalan jumenengandalem Sinuhun PB XIII yang diagendakan berlangsung 16 Februari mendatang, di satu sisi dijadikan momentum dan simbol “perdamaian” dan di sisi lain dijadikan momentum untuk menyatukan power guna meningkatkan intensitas tugas pelestarian seni budaya (Jawa), kerja menjaga kelangsungan kraton dan kerja mengembalikan kewibawaan, harkat dan martabat kraton secara penuh.

Peristiwa “Sinuhun sowan Wali Kota” di Rumah Dinas Loji Gandrung, tak perlu dianggap sebagai noda “perjuangan” dan “perdamaian” yang telah dicapai, karena tergantung dari mana atau dengan kacamata apa melihatnya. Yang jelas, spirit positifnya adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap NKRI, bahkan bentuk sikap konsisten untuk tetap menghormati NKRI, karena Kraton Mataram Surakarta-lah yang pertama menyatakan bergabung ke NKRI, kemudian diikuti 250-an kraton di Nusantara pada 17 Agustus 1945.

DENGAN KURSI RODA : Dengan kursi roda, aktivitas bisa dilakukan Sinuhun PB XIII lebih luas dan lebih jauh. Walau di atas kursi roda atau duduk di kursi bersandaran, kehadirannya sangat diharapkan di upacara adat tingalan jumenengan, 16 Februari. Karena peristiwa itu akan menjadi momentum bersama, menunjukkan simbol “perdamaian” kepada publik secara luas.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Persepsi berbeda yang bisa lahir dari peristiwa “Sowan Loji Gandrung”, bisa dilewati, tetapi persepsi yang akan lahir dari upacara adat tingalan jumenengan nanti kemungkinan besar juga bisa dilewati, tetapi pasti penuh kalkulasi sekalipun yang akan dijadikan perangkat seleksi sistem tata-nilai paugeran adat. Sebab, yang sudah mulai teratasi bukan hanya posisi “dua seberang” yang “berbeda haluan” antara Sinuhun PB XIII dengan Gusti Moeng, tetapi masih ada orang-orang di sekitar Sinuhun yang masing-masing membawa misi pribadi/kelompok ditambah sisa-sisa faksi lama, yang bisa berkumpul menjadi “faksi” yang sama atau faksi baru sama sekali.

Yang perlu dipahami, Sinuhun PB XIII yang mulai tahun 2004 berada dalam satu “faksi” dengan seluruh bebadan dan jajaran “kabinet 2004”, sejak 2010 justru lepas bergabung dengan tokoh pesaing yang melakukan “jumenengan nata Sinuhun PB XIII” di Sasana Purnomo, Mangkubumen, menjadi satu faksi. Sinuhun PB XIII yang lepas dari kabinetnya dan Lembaga Dewan adat yang telah mendukungnya dalam rivalitas suksesi 2004, melakukan kolaborasi dengan dengan “eks Sinuhun PB XIII”, dengan membentuk faksi baru hasil kolaborasi lintas faksi ditambah orang-orang di sekitar Sinuhun, termasuk mantan abdidalem yang menjadi orang sangat dekat.

MENYONGSONG TUGAS: Di zona habitatnya, langkah sang putra mahkota tertua KGPH Hangabehi bergerak maju, mempersiapkan diri dan menyongsong hadirnya tugas dan tanggungjawab untuk meneruskan pelestarian budaya (Jawa) dan menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta DI MASA DEPAN.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sinuhun PB XIII tahun 2004 yang berkolaborasi dengan “eks pesaingnya” di tahun 2010, telah meninggalkan hampir semua bebadan “Kabinet 2004” atau satu faksi yang dipimpin Gusti Moeng selaku Ketua LDA, yang bertahan di dalam kraton hingga 2017 dan dalam “insiden mirip operasi militer 2017 itu, bertahan bersama para pengikutnya di luar kraton dalam satu faksi. Sementara, faksi yang terdiri dari Pengageng Parentah Kraton (GPH Dipokusumo), Pengageng Keputren (GKR Alit) dan Pengageng Kusuma Wandawa (GPH Hadi Prabowo) masih menjadi satu faksi ketika ditinggal “mantan Sinuhun PB XIII” untuk berkolaborasi dengan Sinuhun PB XIII di tahun 2010.

Friksi kraton terpanjang dalam sejarah Mataram (2004-2022) atau bahkan sejarah kraton-kraton di Jawa, memuncak pada tahun 2017 yang ditandai dengan “insiden mirip operasi militer”. Tokoh-tokoh yang pada tahun 2004 menjadi satu faksi mendukung bebadan kabinet 2004, berturut-turut meloncat ke faksi kolaborasi antara Sinuhun PB XIII dan “mantan Sinuhun”. Mereka itu adalah GPH Benowo, GPH Madu Kusumanagoro, GRAy Koes Sapardiyah ditambah beberapa tokoh dari faksi yang pernah ditinggal “mantan Sinuhun”, misalnya GPH Neno, GPH Djani, GPH Dipokusumo, GPH Hadi Prabowo, GKR Alit bahkan GPH Puspo Hadi Kusumo yang tadinya pasif tidak mendukung siapapun sejak 2004, mulai 2017 bergabung menjadi satu faksi.

SATU GARIS FAKSI : Para kerabat sentana yang selalu tampak di teras Nguntarasana di saat datang ritual tingalan jumenengandalem, adalah para tokoh yang setia pada penegakan paugeran adat di Kraton Mataram Surakarta. Mereka berada dalam satu garis faksi yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua LDA. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena “faksi” yang bergabung pada Sinuhun PB XIII pada 2017 didukung penguasa, maka terkesan faksi itu merasa seolah-seolah “subur makmur” dan “murah sandang-murah pangan” hingga terkesan “yakin mendapat jaminan bisa bertahan lama”. Karena, mereka yakin beberapa lembaga kementerian dan APBD Jateng, terkesan begitu mudah menggelontorkan dana yang nyaris tanpa ada kejelasan soal “LPJ” atau laporan pertanggungjawabannya. Mungkin karena para tokoh pejabat yang bertanggungjawab soal pelepasan dana pemerintah itu sudah masuk “teropong bidikan” KPK, maka berkuranglah atau bahkan berhentilah “pelepasan dana” itu, hingga membuat satu faksi kolaborasi berbagai “kepentingan pribadi” itu tiarap atau “setengah bubar”.

Jadi, setelah dan antara 2017 hingga 17 Desember 2022, yang ada tinggal faksi Gusti Moeng, faksi orang-orang di sekitar Sinuhun PB XIII dan “faksi bayangan” yang bisa berjumlah satu, dua atau lebih, tergantung kesepakatan mereka capai untuk menyatukan kepentingan apa ketika bergabung. Lahirnya faksi, jelas karena kesepakatan bergabungnya kepentingan yang biasanya “kepentingan pribadi” yang kebetulan bisa sama, terutama kepentingan materi/ekonomi. Dan itu sudah terbukti, kondisi kraton yang “remuk” selama 5 tahun sejak 2017, karena menjadi korban faksi yang memanfaatkan atau mencatut nama “Sinuhun”. Perbedaan haluan faksi-faksi, termasuk faksi bayangan itu, menjadi tantangan besar setelah “perdamaian” dicapai. Momentum tingalan jumenengan menjadi pemandangan bagaiman proses perdamaian bisa berlanjut baik, mulus, final dan tuntas. (Won Poerwono-habis/l1)