Kraton Mataram Surakarta Kehilangan Banyak Pejuang Paugeran Adat (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:February 3, 2023
  • Post category:Budaya
  • Post comments:1 Comment
  • Reading time:7 mins read
Para wanita pendekar
MASIH RUKUN : Para wanita pendekar (minus Gusti Timoer) saat masih utuh dan rukun dengan Sinuhun PB XIII, pada kesempatan sehabis merayakan tingalan jumenengan di tahun 2005. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Lebih Tujuh Tokoh Mendahului Periode 2004-2023

IMNEWS.ID – KABAR duka meninggalnya seseorang, menjadi hal yang biasa dalam kehidupan ini, karena memang begitulah sifat kehidupan dan di situlah batas kehidupan. Sekalipun, seseorang itu tokoh penting terpandang yang punya pangkat, jabatan, status sosial bahkan punya kedudukan sosial di lingkungan masyarakat adat seperti Kraton Mataram Surakarta. Sebab itu, walaupun yang meninggal adalah “raja” di Kraton Mataram Surakarta (1945-2004) Sinuhun PB XII, juga biasa karena semua ciptaanNya pasti akan kembali kepadaNya, Sang Maha Pencipta.

Tetapi, ada semacam suasana yang sangat manusiawi ketika seseorang yang meninggal itu sudah dikenal luas sebagai seorang pemimpin masyarakat adat, pemimpin peradaban, punya jasa, punya andil dalam sejarah peradaban apalagi masih punya hubungan darah, panutan, sesembahan, pepunden dan berbagai posisi relasi lain dalam bingkai “kekerabatan”. Apalagi tokoh yang meninggal itu adalah bagian dari sebuah kelompok yang berada dalam garis perjuangan yang sama, seperti sejumlah nama tokoh di Kraton Mataram Surakarta yang sudah mendahului dalam periode 2004-2023.

DITUNGGUI SESEPUH : Bahagia sekali Sinuhun PB XIII dan semua anggota faksi yang mendukungnya sebagai pengganti Sinuhun PB XII, karena masih ditunggui satu di antara beberapa sesepuhnya, yaitu GPH Haryo Mataram, mantan Rektor I UNS di tahun 1970-an, saat jumenengan nata tahun 2004. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Di saat sebuah kelompok yang sedang gigih berjuang menegakkan sistem tata-nilai yang disebut “paugeran adat” untuk menghadapi sebuah kekuatan yang ingin merusak “tatanan adat” di antara tahun 2004 hingga 2023 itu, ada tokoh-tokoh pejuang adat di dalam kelompok itu yang harus mendahului “gugur”. Maka, pantas saja kalau Gusti Moeng selaku pemimpin “perjuangan” itu benar-benar merasa kehilangan dengan gugurnya empat kakak kandung, seorang kakak ipar, seorang saudara lain ibu, tiga orang tokoh sesepuh yang selalu membimbing arah perjuangan dan beberapa yang lain.

GKR Galuh Kencana bersama suami, GKR Sekar Kencana, KGPH Kusumo Yudo, GKR Retno Dumilah, KPH Satryo Hadinagoro (suami GKR Galuh Kencana), GPH Nur Cahyaningrat, KPH Broto Adiningrat, BPH Kusumo Wijoyo dan KP Winarno Kusumo adalah sederet nama tokoh pejuang  
yang “gugur” selama masa perjuangan menghadapi (faksi) tokoh yang akan merebut tahta (2004-2010). Bahkan, sebagian besar tokoh “pejuang” itu “gugur” pada masa “krusial” antara 2010-2017 yang memuncak antara 2017-2022, karena faksi yang dihadapi para pejuang berubah komposisi dan tambah satu atau dua faksi lagi (iMNews.id, 2/1/2023).

ENAM PENDEKAR : “Enam Wanita Pendekar” penegak paugeran adat ketika masih utuh pada acara ritual Garebeg Mulud sebelum 2017, begitu solid, kuat dan kompak menghadapi begitu besarnya tantangan dari faksi-faksi pesaing.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

KGPH Kusumo Yudo adalah tokoh pejuang lelaki yang terlahir bersama empat saudara lelaki dan lima saudara perempuan, dari seorang ibu yaitu KRAy Pradapaningrum yang juga ibu kandung Gusti Moeng dan ibu kandung Sinuhun PB XIII. “Gugurnya” pejabat Pengageng Kusuma Wandawa pada bebadan kabinet 2004 itu, memang menjadi pukulan berat di saat kabinet Sinuhun PB XIII bersama Pengageng Sasana Wilapa. Karena, baru berjalan beberapa tahun tetapi menghadapi tekanan sangat berat dari faksi kolaborasi “Tiga Pengageng” dengan BRA Mooryati Sudibyo, yang justru didukung pemerintah untuk “mengeliminasi” tahta Sinuhun PB XIII (KGPH Hangabehi).

Dalam perjalanan setelah “gugurnya” KGPH Kusumo Yudo hingga tahun 2010, ada sesepuh pendukung “perjuangan” menegakkan paugeran adat juga menyusul, antara lain BKPH Prabuwinoto (Pengageng Mandra Budaya) dan GPH Haryo Mataram (putra PB X) mantan rektor UNS. Selepas 2010, beruntun sejumlah nama di atas yang “berguguran” di sekitar 2017. Bahkan di antara yang “berguguran” itu ada nama seorang abdidalem jurusuranata yang banyak mendukung Gusti Moeng selama “berjuang”, yaitu KRT Joko Sugiyanto Pujodipuro.

PALING AWAL : KGPH Kusumo Yudo adalah tokoh pejuang penegak paugeran adat yang paling awal mendahului meninggal, beberapa tahun setelah mendukung kakak kandungnya jumeneng nata sebagai Sinuhun PB XIII di tahun 2004. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Gugurnya” beberapa nama tokoh wanita yaitu GKR Galuh Kencana, GKR Sekar Kencana dan GKR Retno Dumilah, sempat bikin Gusti Moeng nyaris kehilangan semangat, mengingat ketiga tokoh itu adalah anggota barisan “Enam Wanita Pendekar” penegak paugeran adat bersama Gusti Moeng, Gusti Ayu (GKR Ayu Koes Indriyah) dan GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani (putri Sinuhun PB XIII). Enam wanita itu benar-benar pejuang yang gigih dalam menegakkan paugeran adat, karena berusaha menghadang kalangan saudaranya sendiri, dibantu beberapa “petualang” dari kalangan sentana, kerabat bahkan pemerintah yang hendak “merusak paugeran adat” untuk berbagai kepentingan.

Hanya ada satu nama yaitu GPH Nur Cahyaningrat yang setia mendukung perjuangan menegakkan paugeran adat sejak 2004, di antara belasan bersaudara yang di antaranya tergabung dalam faksi-faksi “lawan”, ikut “gugur” di akhir-akhir perjuangan di luar kraton antara 2017-2022. Tetapi, ada nama KGPH Puger yang tidak lain adalah kakak kandung dinyatakan Gusti Moeng “ketelisut”. Sedang dua kakak kandung lain yaitu GPH Benowo dan GPH Madu Kusumonagoro, juga belum tampak di ruang publik untuk menunjukkan bagaimana sikapnya sejak ada peristiwa “perdamaian” antara Sinuhun PB XIII dengan Gusti Moeng, 3 Januari 2023 (iMNews.id, 3/1).

SATU-SATUNYA : GPH Nur Cahyaningrat adalah satu-satunya dari belasan anak yang lahir dari seibu garwadalem Sinuhun PB XII, yang memilih bergabung dengan faksi Gusti Moeng, berjuang menegakkan paugeran adat di luar kraton sampai akhir hayat, antara 2017-2022. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Masih banyak nama saudara lain ibu di luar faksi Gusti Moeng yang berada di faksi-faksi berbeda, yang sudah sejak 2004 atau baru mulai periode-periode meruncingnya friksi yang terjadi antara 2010, 2017 hingga kini belum nampak. Karena, dari enam istri Sinuhun PB XII, terlahir 35 putra/putridalem yang kini sangat dimungkinkan jumlahnya kurang dari 30-an, dan sudah banyak yang meninggal. Dari putra/putri seibu dengan Gusti Moeng yang lahir dari KRAy Pradapaningrum, sudah 4 orang meninggal dan 6 sisanya termasuk Sinuhun PB XIII (sulung) dan si bungsu Gusti Ayu.

Terhadap mereka yang berada di luar “faksi para pejuang penegak paugeran adat” dan faksi-faksi lain, Gusti Moeng berulang-ulang menegaskan akan menjadi prioritas kedua dan seterusnya, karena prioritas utama adalah “perdamaian” antara dirinya dengan Sinuhun PB XIII. Semua yang berada di faksi-faksi di luar faksinya, banyak yang sudah menyatakan diri “tidak mau menginjak kraton kalau yang jadi raja KGPH Hangabehi atau Sinuhun PB XIII”, tetapi akan tetap diterima kalau kembali masuk kraton dan mau bergabung untuk bekerja melestarikan budaya dan menjaga kelangsungan kraton dengan menegakkan paugeran adat. “Bila tidak mau, ya tidak usah masuk kraton,” tandas Gusti Moeng. (Won Poerwono-bersambungi1)  

This Post Has One Comment

  1. [email protected]

    Jika terpeliharanya adat merupakan posisi tawar politis yang kuat, baiknya diupayakan adanya regenerasi ahli adat. Khususnya yang berlaku di Keraton Solo. SMP Kasatriyan saat ini dalam kondisi kritis, padahal sejarah sekolah ini sarat dengan muatan pengetahuan adat.

Leave a Reply